Wednesday, April 2, 2025
HomeBeritaAdam Boehler: Utusan AS pertama dan mungkin terakhir dalam berkomunikasi dengan Hamas

Adam Boehler: Utusan AS pertama dan mungkin terakhir dalam berkomunikasi dengan Hamas

Tanggal 9 Maret 2025 menjadi titik puncak sekaligus kejatuhan Adam Boehler dengan cara yang tak terduga.

Pada hari itu, Boehler tampil dalam berbagai acara bincang-bincang utama di Amerika, termasuk di jaringan Fox News dan CNN, serta dalam wawancara dengan empat jaringan berita Israel.

Sejumlah pengamat berpendapat bahwa kenaikan Boehler, yang didukung oleh Presiden Donald Trump, membuatnya berani keluar dari konsensus Washington mengenai konflik Arab-Israel.

Sejak serangan 7 Oktober 2023, tidak ada lagi ruang bagi perbedaan pendapat dalam dukungan penuh dan tak terbatas Amerika Serikat (AS) terhadap Israel.

Namun, pada akhir hari itu, posisi Boehler mulai merosot. Ia menyadari bahwa langkahnya berisiko setelah bertemu langsung dengan perwakilan Hamas dan berbicara secara positif mengenai pertemuan tersebut.

Ia pun harus kembali ke realitas politik Washington, terutama terkait hubungan dengan Israel, nasib para sandera, serta masa depan—atau ketiadaan masa depan—hubungan dengan Hamas, yang dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh Departemen Luar Negeri AS.

Kurang dari 2 minggu kemudian, Boehler muncul bersama George Gleizman, seorang warga Amerika yang ditahan oleh Taliban di Afghanistan.

Kasus Gleizman menjadi pembebasan sandera besar kedua yang berhasil diperantarai Boehler bulan itu. Hal itu setelah ia juga membantu pembebasan Mark Fogel dari Rusia, yang ditahan sejak Agustus 2021.

Boehler menjadi satu-satunya pejabat Amerika yang secara terbuka bertemu dengan para pemimpin Hamas dan Taliban. Meskipun secara resmi AS tidak memiliki hubungan diplomatik dengan keduanya.

Kedekatan dengan Trump dan peran dalam kesepakatan Abraham

Adam Boehler mengenal Donald Trump melalui Jared Kushner, suami Ivanka Trump. Mereka bertemu saat berkuliah di University of Pennsylvania pada akhir 1990-an dan menjadi teman dekat, disatukan oleh keyakinan agama Yahudi serta ambisi akan kekayaan dan kekuasaan. Setelah Kushner menikahi Ivanka, hubungan Boehler dengan keluarga Trump semakin erat.

Ketika Trump memenangkan pemilu 2016, Boehler bergabung dengan pemerintahan AS berkat rekomendasi Kushner.

Ia ditunjuk sebagai Direktur Pusat Inovasi dan Layanan Medis di Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS (HHS).

Di sana, ia memainkan peran penting dalam mengembangkan model layanan kesehatan berbasis nilai yang bertujuan meningkatkan kualitas perawatan pasien sekaligus menekan biaya.

Kemudian, Boehler diangkat sebagai CEO dari U.S. International Development Finance Corporation (DFC), lembaga investasi AS di negara-negara berkembang.

Namun, peran terpentingnya datang ketika ia menjadi salah satu penasihat utama Kushner dalam perundingan Abraham Accords. Yaitu kesepakatan normalisasi hubungan Israel dengan beberapa negara Arab.

Boehler ikut serta dalam delegasi tinggi yang mengunjungi Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Akhirnya, menghasilkan kesepakatan normalisasi serta penyelesaian konflik diplomatik antara negara-negara Teluk.

Ia juga berpartisipasi dalam pertemuan antara Israel dan Maroko serta lawatan ke Bahrain untuk membahas kerja sama ekonomi di bawah Abraham Accords.

Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya dalam diplomasi AS, Trump menganugerahinya medali sipil tertinggi dari Departemen Pertahanan.

Boehler dan kampanye pemilu Trump

Menjelang pemilu 2024, Trump menunjuk Boehler sebagai Utusan Khusus untuk Urusan Sandera. Trump memujinya karena pengalaman dalam bernegosiasi dengan beberapa pihak yang paling sulit di dunia.

Dalam sebuah opini yang diterbitkan pada Agustus 2024, Boehler menyerukan pendekatan yang lebih agresif dalam upaya pembebasan sandera Amerika di Gaza.

Ia bahkan menyarankan kemungkinan operasi militer AS di wilayah tersebut.

“Pemerintahan Biden kembali ke filosofi penyelamatan sandera yang melihat aksi militer sebagai opsi terakhir. Pendekatan ini memberi keuntungan bagi penculik, yang merasa tidak perlu takut menahan warga Amerika tanpa konsekuensi serius,” tulis Boehler.

Pernyataan Boehler sejalan dengan sikap Trump yang keras terhadap Hamas.

“Semua orang berbicara tentang para sandera yang ditahan dengan kekerasan dan tidak manusiawi di Timur Tengah, tetapi tidak ada tindakan nyata!” tulis Trump pada September 2024 di media sosial.

Trump juga memperingatkan agar sandera dibebaskan segera.

“Pastikan ini dicatat: Jika para sandera tidak dibebaskan sebelum 20 Januari 2025, yaitu hari saya dengan bangga menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, akan ada neraka yang harus dibayar di Timur Tengah!” tegas Trump.

Boehler pun tampak berdiri di sisi Trump dalam berbagai kesempatan. Termasuk saat pertemuan dengan mantan sandera di hari pelantikannya sebagai presiden, serta dalam upacara di Capital One Arena di Washington, D.C.

Boehler dan Hamas

Adam Boehler bertemu dengan pejabat Hamas dalam upaya mengamankan pembebasan 5 sandera Amerika yang masih ditahan di Gaza. Termasuk Aidan Alexander, satu-satunya sandera Amerika yang masih hidup.

Pertemuan ini merupakan pertama kalinya seorang pejabat AS secara terbuka bertemu dengan pemimpin Hamas.

Meskipun tujuan utama pertemuan ini adalah membebaskan sandera, langkah tersebut menuai kritik dari pemerintah Israel dan memicu kontroversi besar. Akibatnya, pencalonan Boehler untuk posisi utusan presiden ditarik.

Israel menganggap pernyataan Boehler tentang tahanan Palestina di penjara-penjaranya sebagai “sandera” sebagai tindakan tidak bertanggung jawab. Terutama setelah ia menyebut warga Israel yang ditahan oleh Hamas sebagai “tahanan” alih-alih “sandera,” istilah yang digunakan oleh Israel dan AS.

Dalam wawancara televisinya, Boehler mengatakan bahwa tujuannya berbicara langsung dengan Hamas adalah untuk membuka pembicaraan yang lebih luas mengenai semua tahanan.

Karena, Presiden Trump telah menegaskan bahwa AS tidak hanya fokus pada sandera Amerika (yang juga berkewarganegaraan Israel), tetapi juga pada warga Israel secara keseluruhan.

Saat diwawancarai oleh Jake Tapper di CNN, ia ditanya bagaimana perasaannya sebagai seorang Yahudi Amerika saat duduk bersama “pembunuh anti-Semit.”

“Bagaimanapun juga, lebih baik “menyadari bahwa Anda sedang berhadapan dengan manusia seperti Anda,” jawab Boehler.

Namun, Boehler memberikan jawaban yang bertentangan ketika ditanya apakah Trump secara pribadi telah menyetujui pertemuannya dengan Hamas.

Ketika ditanya oleh Tapper apakah ia mendapat izin langsung dari Trump sejak awal, Boehler mengangguk 3 kali dan berkata, “Tentu saja.”

Namun, ketika ditanya hal yang sama oleh seorang reporter Israel pada hari yang sama, jawabannya berbeda.

Boehler juga secara terbuka mengkritik cara pemerintah Israel menangani krisis ini hingga awal Maret, serta secara jelas membedakan kepentingan Amerika dan Israel.

“Kami adalah Amerika Serikat, kami bukan agen Israel. Kami memiliki kepentingan sendiri dalam masalah ini,” tegasnya dalam wawancara dengan CNN.

Setelah wawancara Boehler, mantan Duta Besar AS untuk Israel, David Friedman, menulis di X (Twitter) pada malam 9 Maret.

“Presiden Trump dengan cerdik memberi Hamas dua pilihan: membebaskan semua sandera dan menyerah, atau dihancurkan. Itu satu-satunya cara untuk mengakhiri perang,” tulisnya.

Namun, Friedman melanjutkan bahwa Boehler tampaknya telah mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan bertemu Hamas untuk mencari alternatif ketiga.

“Apakah mungkin mencapai kesepakatan di mana Hamas tidak ikut serta dalam pemerintahan Gaza? Kesepakatan dengan Hamas adalah pemborosan waktu dan tidak akan pernah ditepati,” tanyanya.

Ia juga menasihati Boehler agar hanya mendengarkan dan melaksanakan perintah Trump.

Boehler dan Taliban

Beberapa hari sebelumnya, Boehler juga bertemu langsung dengan pejabat Taliban di Bandara Internasional Kabul.

Hal ini menandai pertama kalinya pemerintahan AS secara terbuka berinteraksi dengan “pemerintahan sementara” Afghanistan sejak Taliban mengambil alih kekuasaan pada 2021.

Pertemuan ini berlangsung setelah pembebasan George Gleizman, seorang sandera Amerika, yang menjadi keberhasilan besar kedua Boehler dalam negosiasi pembebasan sandera bulan itu, setelah ia juga membantu pembebasan Mark Fogel dari Rusia.

Boehler tiba di Kabul dari Doha dan mengadakan pertemuan di bandara dengan Menteri Luar Negeri Afghanistan serta pejabat Taliban lainnya.

Ini adalah pertemuan pertama antara pejabat Amerika dan Taliban di Kabul dan membuka pintu bagi dialog lebih lanjut mengenai berbagai isu, termasuk status tahanan.

Tidak jelas apakah pertemuan Boehler di Kabul menandakan bahwa pemerintahan Trump sedang mempertimbangkan hubungan resmi dengan Taliban.

Isu ini sangat sensitif di kalangan negara-negara Barat, yang selama ini menolak mengakui pemerintahan Taliban sejak penggulingan pemerintah Afghanistan yang didukung Barat.

Perjalanan yang belum berakhir

Setelah kemarahan Israel terhadap pertemuan langsung Boehler dengan Hamas, ia menarik pencalonannya sebagai Utusan Presiden untuk Urusan Sandera.

Namun, ia tetap mengelola negosiasi pembebasan warga Amerika yang ditahan secara tidak adil di seluruh dunia. Meskipun dari posisi yang lebih rendah yang tidak memerlukan persetujuan Senat.

Sumber di Washington menyebut bahwa Boehler sebenarnya telah bersiap untuk menarik pencalonannya beberapa minggu sebelum pertemuan dengan Hamas terungkap. Terutama karena alasan keuangan.

Laporan menyebut bahwa Boehler menarik diri dari posisi ini untuk menghindari pembekuan investasinya di pasar saham.

Hal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan karena statusnya sebagai pegawai pemerintah khusus yang berfokus pada negosiasi sandera.

Menurut pernyataan dari Wakil Sekretaris Pers Gedung Putih, Anna Kelly, Boehler tetap memainkan perannya. Tetapi dengan jabatan yang lebih rendah dan tanpa perlu konfirmasi dari Senat.

Kehidupan awal

Adam Boehler lahir pada 23 Juni 1979 di Albany, New York, dalam keluarga Yahudi. Ia tetap aktif di komunitas Yahudi Amerika dan menjabat sebagai anggota dewan di Museum Peringatan Holocaust di Washington.

Sejak muda, Boehler dikenal sebagai siswa berprestasi dengan minat besar di bidang keuangan dan hubungan internasional.

Ia lulus dengan predikat summa cum laude dari Wharton School di University of Pennsylvania, dengan jurusan keuangan dan minor dalam bahasa Prancis. Ia menikah dan memiliki 4 anak.

Karier awalnya dimulai di berbagai perusahaan investasi, dengan fokus pada sektor perangkat lunak dan teknologi. Boehler kemudian menjadi mitra operasional di Francisco Partners, perusahaan investasi yang berfokus pada sektor kesehatan.

Ia juga mendirikan Avalon Health Solutions, perusahaan yang menyediakan layanan manajemen laboratorium, serta beberapa perusahaan sukses lainnya di bidang kesehatan.

Perjalanan Boehler di pemerintahan dimulai pada 2016. Saat itu ia bergabung dengan administrasi Trump dan terus berperan dalam berbagai negosiasi diplomatik serta kebijakan hingga saat ini.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular