Meta menghadapi peringatan serius dari Amnesty International terkait kebijakan konten terbaru yang dapat memicu kekerasan massal, bahkan genosida, lansir Quds Media Network.
Dalam laporan terbarunya, organisasi hak asasi manusia tersebut menyatakan bahwa perusahaan ini sudah berperan dalam tragedi kemanusiaan sebelumnya, termasuk kekerasan terhadap etnis Rohingya di Myanmar pada tahun 2017.
Sebuah keluhan dari whistleblower yang diajukan kepada Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC) menuduh Meta mengabaikan hak asasi manusia dan menyesatkan pemegang saham mengenai perannya dalam memicu kekerasan.
Pada 7 Januari 2025, CEO Meta, Mark Zuckerberg, mengumumkan perubahan besar dalam kebijakan konten perusahaan.
Kebijakan baru tersebut mencakup pencabutan larangan terhadap ujaran kebencian dan pelecehan yang menargetkan minoritas rasial.
Meta juga akan mengurangi moderasi konten otomatis, langkah yang diprediksi akan meningkatkan penyebaran konten berbahaya. Meskipun kebijakan ini saat ini hanya berlaku di AS, Meta telah menunjukkan niat untuk memperluasnya ke seluruh dunia.
Para pembela hak asasi manusia khawatir kebijakan ini akan memperburuk ujaran kebencian online. Seorang mantan karyawan Meta mengatakan kepada Platformer, “Saya benar-benar berpikir ini adalah awal dari genosida. Nyawa orang sungguhan akan terancam.”
Algoritma Meta sudah terbukti sering memperburuk konten berbahaya. Amnesty International dan organisasi lain telah mendokumentasikan bagaimana Facebook menyebarkan ujaran kebencian anti-Rohingya di Myanmar.
Pada tahun 2017, retorika online ini berkontribusi pada kekerasan massal, termasuk pembunuhan dan pemindahan paksa. Sebuah penyelidikan PBB pada 2018 menyimpulkan bahwa militer Myanmar harus diadili atas genosida, dengan Facebook memainkan peran penting dalam menyebarkan hasutan.
Meski demikian, Meta menolak untuk mengambil tanggung jawab penuh. Komunitas Rohingya telah meminta kompensasi, termasuk dana untuk program pendidikan di kamp pengungsi. Meta, yang memperoleh keuntungan sebesar 134 miliar dolar AS pada 2023, menolak permintaan dana sebesar 1 juta dolar AS—hanya 0,0007% dari laba tahunan perusahaan.
Meta juga telah melakukan sensor digital terhadap pengguna Palestina. Pusat Arab untuk Kemajuan Media Sosial (7amleh) merilis laporan berjudul “Erased and Suppressed: Palestinian Testimonies of Meta’s Censorship”.
Laporan ini mendokumentasikan 20 kasus jurnalis dan influencer Palestina yang mengalami penghapusan konten, penangguhan akun, dan pembatasan jangkauan. Tindakan ini telah menimbulkan konsekuensi finansial, sosial, dan politik.
Menurut penelitian 7amleh, lebih dari 15 juta postingan media sosial berbahasa Ibrani yang menghasut kekerasan terhadap Palestina tidak dimoderasi sejak Oktober 2023. Sementara itu, konten Palestina secara sistematis ditekan.
Pada 23 Januari 2025, Amnesty International, bersama dengan Open Society Justice Initiative dan Victim Advocates International, mengajukan keluhan whistleblower kepada SEC.
Keluhan tersebut menyatakan bahwa Meta mengabaikan berbagai peringatan antara 2013 dan 2017 tentang peran platform-nya dalam menghasut kekerasan terhadap Rohingya. Selain itu, perusahaan ini juga dituduh menyesatkan investor mengenai risiko terkait kebijakan kontennya.