Monday, March 3, 2025
HomeAnalisis dan OpiniAnalis: Hamas tak akan tunduk dengan tekanan Netanyahu

Analis: Hamas tak akan tunduk dengan tekanan Netanyahu

Beberapa analis menganggap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, tengah berusaha memanfaatkan situasi dengan menggunakan strategi berbahaya—blokade dan kelaparan—untuk menggagalkan perjanjian tukar tahanan dan gencatan senjata.

Meski begitu, kelompok perlawanan Palestina, terutama Hamas, diyakini tidak akan tunduk pada tekanan tersebut dan akan tetap berpegang pada kesepakatan yang telah dicapai.

Netanyahu memerintahkan penghentian pasokan barang dan bantuan ke Gaza mulai Ahad pagi ini.

Langkah ini diambil setelah ia menghalangi dimulainya perundingan tahap kedua yang seharusnya dimulai pada hari ke-16 kesepakatan pertama, yang sudah ditandatangani sejak 3 Februari lalu.

Dalam perundingan terakhir yang terungkap, Netanyahu meminta Hamas untuk membebaskan lima tahanan hidup dan sepuluh jenazah sebagai ganti dari tahanan Palestina yang akan dibebaskan serta tambahan bantuan.

Namun, permintaan ini ditolak oleh Hamas yang tetap berpegang pada kesepakatan yang sudah disetujui bersama para mediator.

Menurut analis politik Mohammad Al-Akhras, Netanyahu berusaha memanfaatkan kebijakan ini untuk menekan warga Gaza dan masyarakat Palestina dengan mengontrol bantuan kemanusiaan, sekaligus kembali menggunakan kekerasan.

Meski demikian, Al-Akhras menegaskan bahwa Hamas dan kelompok perlawanan lainnya tetap fokus mempertahankan perjanjian yang sudah ada dan mencegah Netanyahu melanggar kesepakatan tersebut. “Kembali ke perang bukan pilihan bagi perlawanan, yang lebih memilih untuk mempertahankan kesepakatan ini,” ujarnya.

Di sisi lain, Hamas menolak rencana gencatan senjata yang diajukan oleh utusan Amerika untuk Timur Tengah, Steven Witkoff. Rencana tersebut mengusulkan jeda selama bulan Ramadan dan Paskah Yahudi antara 12 hingga 20 April mendatang. Namun, rencana ini tidak diumumkan sebelumnya oleh Witkoff.

Jurnalis dan pakar isu Israel, Wadi’ Awada, berpendapat bahwa Netanyahu memiliki agenda tersembunyi. Ia ingin menghentikan kesepakatan yang mencakup penghentian perang di Gaza, penarikan pasukan dari jalur Philadelphi, dan penarikan total dari Gaza. “Ini bisa mengancam masa depan politik Netanyahu,” kata Awada.

Awada juga menekankan bahwa Netanyahu berusaha menambah ketegangan dengan pemerintah AS, dengan menggambarkan Hamas sebagai pihak yang tidak menghormati otoritas AS. Selain itu, ia mencoba meredam protes domestik di Israel yang menentang lanjutan perang dan pembatalan kesepakatan tersebut.

Meskipun Netanyahu mengancam akan kembali ke jalur perang, Awada meyakini hal itu tidak akan terjadi karena warga Israel menentangnya. “Melanjutkan perang berarti lebih banyak tentara yang akan jatuh, dan Hamas sudah siap menghadapi segala kemungkinan,” ujarnya.

Sementara itu, pakar isu Israel Shadi al-Sharfa menilai bahwa Netanyahu tengah menggunakan segala cara untuk meraih keuntungan pribadi dan politik.

Ia menyebut situasi ini sebagai hal yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah, di mana blokade dan kelaparan dipaksakan kepada suatu bangsa demi keuntungan pribadi seorang pemimpin.

Al-Sharfa juga mengungkapkan adanya dukungan dari Amerika Serikat terhadap kebijakan Israel ini, yang menggunakan taktik kelaparan dan blokade sebagai alat tekanan. “Taktik ini, yang menyebabkan penderitaan luar biasa bagi wanita dan anak-anak, hanya pernah digunakan pada masa Nazi,” tegasnya.

Al-Sharfa mengingatkan bahwa menurut hukum internasional, penggunaan kelaparan sebagai senjata terhadap kelompok tertentu adalah kejahatan perang dan bahkan bisa dikategorikan sebagai genosida. Ia mendesak agar Pengadilan Internasional mengambil langkah tegas untuk menghentikan kebijakan tersebut.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular