Hamas meningkatkan intensitas serangan terhadap pasukan Israel di Jalur Gaza, saat militer Israel bersiap memperluas operasi darat.
Para analis menilai langkah ini sebagai strategi untuk mendorong Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump agar menghentikan perang, atau setidaknya menekan Israel agar menghentikan blokade yang menyebabkan kelaparan massal.
Pada Sabtu (11/5), militer Israel melaporkan sembilan tentaranya terluka, termasuk komandan Batalion 6310 dan wakil komandan Batalion 252, dalam sebuah ledakan bom di lingkungan Shujaiyah, Gaza Utara.
Insiden ini terjadi tidak lama setelah diumumkannya kematian dua prajurit Israel dalam pertempuran di Gaza Selatan.
Eskalasi yang dilakukan perlawanan Palestina ini terjadi seiring perubahan nada dari Washington.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa perang dan pembantaian massal bukanlah solusi.
Sikap ini menandai pergeseran dalam pendekatan Amerika terhadap konflik Gaza, terlebih menjelang kunjungan Trump ke kawasan Timur Tengah dalam beberapa hari ke depan.
Sementara itu, di dalam negeri Israel, tekanan untuk menghentikan perang semakin menguat.
Survei terbaru menunjukkan dukungan publik dan politik terhadap kebijakan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di Gaza terus menurun.
Para pengamat menilai, gelombang kritik ini menjadi tanda bahwa legitimasi politik atas kelanjutan perang kian melemah.
Perlawanan tunjukkan kesiapan
Koresponden Al Jazeera di Palestina, Elias Karam, melaporkan bahwa para analis Israel melihat rangkaian operasi terbaru sebagai indikasi kesiapan perlawanan menghadapi invasi darat.
Dalam sepekan terakhir, pasukan Israel kehilangan delapan personel dan sekitar 40 lainnya terluka.
Perlawanan dinilai mampu menggagalkan banyak rencana militer Israel dan membuat pasukannya kehilangan inisiatif di lapangan.
Di dalam negeri, oposisi menuduh pemerintah menyeret militer ke dalam perang tanpa arah dan semata-mata demi kepentingan politik Netanyahu.
Elias Karam mencatat bahwa perluasan operasi militer saat ini tidak lagi didukung secara luas oleh publik maupun oleh kekuatan politik di parlemen.
Dalam acara televisi Masar al-Hadath, Karam mengungkapkan hasil survei yang menunjukkan bahwa koalisi pemerintahan Netanyahu kehilangan sekitar 20 kursi dari total 68 kursi yang mereka kuasai di Knesset (parlemen Israel).
Ini mengindikasikan melemahnya mandat politik untuk melanjutkan perang.
Laporan dari lembaga keamanan nasional Israel mengungkap bahwa 71 persen warga tidak lagi mempercayai Netanyahu.
Sementara itu, 56 persen menganggap perang ini telah dipolitisasi. Sementara itu, 69 persen menyuarakan keinginan agar konflik segera dihentikan demi mencapai kesepakatan.
Terutama mengingat Netanyahu sedang mendorong rancangan undang-undang yang membebaskan komunitas ultra-Ortodoks (Haredi) dari wajib militer.
Target utama: Korban jiwa
Dari sisi militer, pensiunan jenderal Elias Hanna menilai bahwa penyergapan di Shujaiyah merupakan bagian dari strategi eskalasi berkelanjutan oleh perlawanan.
Tujuannya adalah menciptakan kerugian besar di pihak Israel, khususnya dalam bentuk korban jiwa.
Menurut Hanna, penyergapan tersebut menyasar satuan yang tengah menjalankan operasi pengintaian, yang mengindikasikan persiapan untuk operasi lanjutan di wilayah tersebut.
Ia menambahkan bahwa insiden ini bertolak belakang dengan pernyataan Kepala Staf IDF Eyal Zamir, yang sebelumnya menyebut keterlibatan pasukan cadangan dalam operasi akan bersifat terbatas.
Hal ini menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam perencanaan keamanan dan intelijen militer Israel.
Jika Israel melanjutkan serangan daratnya, perlawanan memiliki daftar target yang luas. Mereka telah beradaptasi dalam hal taktik tempur dan mampu memusatkan serangan pada titik-titik lemah utama Israel—yakni korban manusia.
Hanna menyimpulkan bahwa meningkatnya korban dan memburuknya moral pasukan Israel dapat memperkuat keyakinan di kalangan prajurit bahwa perang ini tak lagi memiliki tujuan jelas dan lebih bersifat politis.
Masyarakat Israel ingin hidup normal
Sementara itu, pengamat politik Israel, Dr. Muhannad Mustafa, mencatat bahwa sejak pelanggaran gencatan senjata, konsensus publik dan politik Israel terhadap operasi militer di Gaza mulai goyah.
Berdasarkan berbagai survei, mayoritas warga Israel ingin kembali ke kehidupan normal dan mulai meragukan manfaat perang, baik untuk pembebasan sandera maupun pemulihan kepercayaan antara rakyat dan negara.
Menurut Mustafa, masyarakat Israel kini melihat pemerintah bergerak berdasarkan kepentingan pribadi dan ideologi sempit yang tidak lagi disepakati secara luas.
Bahkan, gagasan pengungsian massal warga Gaza pun tidak lagi mendapat dukungan luas.
Sentimen untuk membalas dan berkorban yang menguat setelah peristiwa 7 Oktober 2023, kini kian menipis.
Dalam pandangan Mustafa, keputusan menghentikan perang kini berada di tangan Presiden Trump.
Namun, hal itu hanya bisa terjadi bila Trump mau memberi tekanan serius kepada Netanyahu dan menyampaikan bahwa Israel tidak akan menjadi bagian dari tatanan baru Timur Tengah jika tetap melanjutkan invasi ke Gaza.
Apalagi, jika kesepakatan damai nantinya mencakup penarikan pasukan Israel dari Gaza tanpa syarat perlucutan senjata Hamas.
Maka, bukan hanya pemerintahan Netanyahu, melainkan seluruh kekuatan politik sayap kanan bisa runtuh.
Momentum kunjungan Trump
Peneliti politik Sa’id Ziyad menilai bahwa eskalasi terbaru dari perlawanan Palestina ditujukan untuk menyampaikan pesan langsung kepada Trump.
Perang tidak akan menghasilkan kemenangan bagi Israel. Ia menilai bahwa kunjungan Trump dan perubahan nada Amerika memberikan peluang emas untuk menekan Israel agar menghentikan operasi militer atau setidaknya membuka jalur kemanusiaan bagi warga Gaza.
Meski secara strategis AS dan Israel tetap sejalan, Ziyad melihat adanya celah diplomatik. Ketidakhadiran Trump di Tel Aviv dan dibatalkannya kunjungan Menteri Pertahanan AS menjadi sinyal bahwa tekanan diplomatik bisa meningkat.
Menurutnya, ini juga membuka ruang bagi negara-negara Arab untuk meyakinkan Trump agar mengambil keputusan menghentikan perang tanpa prasyarat pelucutan senjata Hamas.