Donald Trump kembali menjadi sorotan setelah melontarkan pernyataan yang mengejutkan terkait posisi Israel di Amerika Serikat (AS).
Mantan presiden itu mengakui bahwa kritik terhadap Israel kini bukan lagi sebuah “pantangan politik”, bahkan menyebut pengaruh Tel Aviv di Washington mengalami kemunduran akibat perang berkepanjangan di Gaza.
Dalam wawancara dengan situs Daily Caller setelah beberapa hari absen dari pemberitaan, Trump menegaskan bahwa perang di Gaza telah merusak citra Israel di mata publik AS.
Menurutnya, kekuatan lobi Israel di Kongres dan lingkaran politik Washington tidak lagi sekuat dulu.
“Zaman ketika politisi harus menjaga kariernya dengan cara tidak mengkritik Israel sudah berakhir,” ujarnya.
Pernyataan ini bertepatan dengan hasil survei Universitas Harvard dan lembaga Harris yang memperlihatkan 60 persen anak muda AS berusia 18–24 tahun menyatakan dukungan kepada Hamas dalam perang melawan Israel.
Angka tersebut menguatkan temuan survei lembaga Pew pada Maret lalu yang mencatat turunnya simpati publik AS terhadap Israel, dengan penurunan hingga 11 poin.
Pengakuan bersejarah
Menyikapi pernyataan Trump, sejumlah analis menilai ini sebagai pengakuan bersejarah atas surutnya pengaruh Israel di jantung politik Amerika.
“Trump tidak sekadar beropini. Ia mendapat laporan intelijen harian, sehingga pernyataannya bisa dipahami sebagai refleksi atas kondisi faktual,” ujar jurnalis Al Jazeera, Wajd Waqfi, dalam program Behind the News.
Menurutnya, Trump seakan membeberkan sesuatu yang selama ini hanya jadi perbincangan di media sosial: Israel tak lagi menjadi “sapi suci” yang tak boleh disentuh.
Kini, kritik terhadap Tel Aviv mulai terbuka di Kongres.
“Yang paling penting, perubahan sikap generasi muda AS terhadap Israel akan sangat menentukan arah kebijakan Washington di masa depan. Mereka inilah yang kelak akan menjadi politisi dan pemimpin,” kata Waqfi.
Meski begitu, perubahan opini publik dan pengakuan Trump bukan berarti AS akan bergeser dari posisinya yang mendukung Israel.
Sebaliknya, sebagian analis melihat pernyataan itu justru bisa dibaca sebagai dorongan untuk segera menuntaskan perang di Gaza melalui jalan militer.
Abdullah al-Shaiji, guru besar ilmu politik di Universitas Kuwait, menilai langkah Trump lebih banyak dipengaruhi kalkulasi politik dalam negeri.
Trump, katanya, sedang menghadapi tekanan di dalam Partai Republik maupun gerakan Make America Great Again (MAGA) yang dua kali mengantarnya ke Gedung Putih.
“Pernyataan ini bisa disebut sebagai manuver atau bahkan upaya untuk menata ulang posisinya,” ujarnya.
Dalam lingkaran MAGA sendiri, tindakan Israel di Gaza sudah disebut sebagai “genosida”.
Pernyataan serupa dilontarkan anggota Kongres dari Partai Republik, Marjorie Taylor Greene, yang bahkan sempat dipertimbangkan Trump sebagai calon wakil presiden.
Pernyataan Greene bukan suara tunggal. Tokoh konservatif Steve Bannon menegaskan bahwa pandangan tersebut mendapatkan resonansi luas di tubuh Partai Republik dan gerakan MAGA.
“Artinya, posisi Israel di Amerika tidak lagi sekuat dulu,” kata Shaiji.
Pesan untuk Israel
Menurut Abdullah al-Shaiji, sikap Trump bisa dibaca sebagai pesan langsung kepada Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu—yang kini berstatus buronan di Mahkamah Pidana Internasional—bahwa ia sedang menghadapi krisis di dalam partainya sendiri, ditambah tekanan progresif dan sebagian anggota Kongres dari Partai Republik.
James Robbins, peneliti senior di Dewan Kebijakan Luar Negeri AS, mengakui bahwa popularitas Israel memang menurun di kalangan Partai Republik.
Namun, ia menegaskan Trump tetap menjadi figur yang paling keras mendukung Israel.
“Trump berbicara sebagai mantan presiden. Ucapannya tidak bisa diperlakukan sebagai pandangan pribadi, tapi lebih pada pernyataan politik. Namun itu bukan berarti perubahan kebijakan luar negeri Amerika,” katanya.
Robbins berpendapat, tujuan Trump dari pernyataannya lebih kepada mendesak agar perang di Gaza segera diakhiri, tanpa peduli cara apa yang ditempuh.
Ia tidak sedang mendorong kesepakatan politik dengan Palestina, melainkan mendorong Israel untuk meraih kemenangan militer yang cepat dan menentukan.
“Di saat ada pihak yang berbicara soal kesepakatan parsial atau pengakuan negara Palestina yang sebenarnya belum ada, Trump justru sibuk membayangkan masa depan Gaza pascaperang, mengembangkannya, dan menjadikannya tempat yang indah,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Robbins juga mengecilkan peran American Israel Public Affairs Committee (AIPAC).
Menurutnya, ada kecenderungan berlebihan dalam menilai kekuatan politik lobi pro-Israel itu.
“AIPAC hanyalah salah satu dari sekian banyak kelompok lobi yang ada di Washington,” katanya.
Namun, bagi Shaiji, analisis Robbins justru tampak seperti upaya untuk meredam guncangan akibat pernyataan Trump.
Ia menilai Robbins menutup mata terhadap sikap gerakan MAGA, yang jelas-jelas melihat Israel kehilangan simpati publik karena tindakan brutalnya di Gaza.
Shaiji juga merespons pernyataan Robbins mengenai visi Trump untuk Gaza.
“Trump sosok yang inkonsisten. Ia tidak punya rencana jelas. Ucapannya sering sekadar pantulan dari orang-orang di sekitarnya. Hari ini ia menyerukan gencatan senjata, besok tetap memasok senjata bagi Israel,” katanya.
Dengan melihat kontradiksi tersebut serta perubahan opini dunia yang semakin tajam terhadap Israel, Shaiji berkesimpulan bahwa Trump bisa saja melakukan kalkulasi ulang.
“Ada kemungkinan ia akan sampai pada titik untuk mengakhiri tragedi di Gaza—meskipun justru dengan cara yang selama ini didukungnya,” ujar Shaiji.