Beberapa hal memang jarang dibicarakan secara terbuka. Salah satunya adalah bagaimana sanksi Barat terhadap Iran serta isolasi terhadap rezim yang dinilai keras di negara itu, secara tidak langsung memberikan keuntungan bagi Turki.
Sebab, Iran yang makmur secara ekonomi—terintegrasi dengan sistem ekonomi dan pertahanan global, serta memiliki populasi muda yang berpendidikan tinggi—dapat menjadi pesaing serius bagi Turki, baik dalam sektor swasta maupun dalam pencapaian tujuan kebijakan luar negeri. Meski demikian, kondisi tersebut juga bisa membawa kawasan menuju stabilitas dan kerja sama yang berbasis kepentingan bersama.
Turki dan Iran memiliki sejarah panjang yang saling terkait. Kronik Kesultanan Utsmaniyah penuh dengan catatan tentang peperangan melawan Iran, khususnya ketika pasukan Iran menarik diri secara taktis dan membiarkan pasukan Utsmaniyah memasuki kota-kota kosong tanpa perlawanan berarti, sehingga konflik kerap berakhir dalam kebuntuan berdarah.
Sejarah ini juga tak bisa dilepaskan dari perbedaan mazhab Sunni-Syiah yang mendalam, yang menjadi latar belakang utama konflik antara Kesultanan Utsmaniyah dan Dinasti Safawi. Kini, rivalitas tersebut kembali muncul dalam bentuk konflik proksi di berbagai kawasan Timur Tengah, secara halus membentuk cara Turki dan Iran memandang keseimbangan kekuatan di wilayah tersebut.
Di Turki sendiri, khususnya di provinsi-provinsi timur seperti Iğdır dan Ağrı, terdapat komunitas Alevi dan Syiah yang cukup besar, dan pandangan historis maupun keagamaan mereka turut mewarnai dinamika politik regional.
Meski memiliki sejarah rivalitas yang panjang dan sengit, perbatasan antara kedua negara telah ditetapkan melalui Perjanjian Qasr-e Shirin pada tahun 1639. Perjanjian tersebut tetap berlaku hingga kini, bahkan setelah runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah dan berdirinya republik modern Turki.
Turki dan Iran telah belajar bagaimana hidup berdampingan.
Konflik meluas tidak sejalan dengan kepentingan strategis Turki
Bagi sebagian pengamat, Turki mendapatkan keuntungan tertentu dari persaingan politik antara Iran dan Israel. Ketegangan ini memberikan ruang manuver diplomatik bagi Turki terhadap kedua negara tersebut. Namun demikian, Turki sama sekali tidak menyambut baik kampanye militer yang bersifat destruktif di kedua belah pihak, seperti yang terjadi pada 13 Juni.
Konflik bersenjata semacam ini memiliki banyak kemungkinan terbuka, skenario yang sulit diprediksi, serta konsekuensi ekonomi bagi negara-negara tetangga, termasuk Turki. Setelah serangan terjadi, indeks bursa saham Turki tercatat anjlok hampir 4 persen.
Ada pula spekulasi bahwa Bank Sentral Turki akan menunda rencana pemangkasan suku bunga akibat lonjakan harga minyak dunia, yang dapat memberikan tekanan tambahan terhadap inflasi domestik. Dampak ini masih tergolong kecil dibandingkan potensi kerugian lebih besar apabila konflik meluas.
Konflik yang meningkat juga berpotensi memperburuk ketegangan internal di Iran, terutama di wilayah minoritas Sunni seperti Kurdi, Baluchi, dan Turkmen, banyak di antaranya tinggal di dekat perbatasan dengan Turki. Ketidakstabilan atau tindakan keras dari aparat di wilayah tersebut dapat berdampak langsung ke Turki, baik dalam bentuk arus pengungsi maupun kekerasan lintas batas.
Ketegangan dorong industri pertahanan Turki
Turki diperkirakan akan terus memantau dengan cermat unjuk kekuatan antara Iran dan Israel. Seperti negara-negara lainnya di kawasan, termasuk di Teluk, ketegangan militer ini dapat mendorong peningkatan investasi di sektor pertahanan Turki. Hal ini dapat memperkuat industri pertahanan nasional Turki yang masih berkembang.
Semakin militeristik kawasan ini, semakin besar pula potensi munculnya manuver, provokasi, serta konflik yang tak berkesudahan. Dalam situasi ini, ekspor produk pertahanan Turki—seperti drone, kendaraan lapis baja, dan sistem rudal—dapat menjangkau pasar-pasar baru di kawasan Teluk dan negara lainnya, memperluas pengaruh geopolitik Turki. Yang lebih penting lagi, Turki kemungkinan besar akan memperbesar kapasitas produksi senjata untuk kebutuhan pertahanan dalam negeri.
Menanggapi eskalasi konflik, Presiden Recep Tayyip Erdogan dengan cepat mengecam serangan militer besar-besaran Israel terhadap Iran. Ia menyebut serangan tersebut sebagai “provokasi terang-terangan” yang mengancam stabilitas kawasan, saat masyarakat internasional sedang berjuang menghadapi meningkatnya ketegangan di Timur Tengah.
Jika konflik ini terus berkembang, Presiden Erdogan dapat saja menyuarakan dukungan lebih kuat terhadap Iran. Sebagai seorang pemimpin Muslim yang religius, kejahatan perang Israel di Gaza bisa saja mendorongnya untuk secara terbuka berpihak dalam retorika politiknya. Namun hal tersebut tidak serta-merta berarti Turki akan memberikan dukungan konkret dalam bentuk militer ataupun tindakan langsung terhadap salah satu pihak.
*Analisis ini disadur dari opini redaksi Turkiye Today dengan judul Does Türkiye enjoy the fight between Iran and Israel?