Monday, April 28, 2025
HomeAnalisis dan OpiniANALISIS - Mengapa Yordania larang Ikhwanul Muslimin?

ANALISIS – Mengapa Yordania larang Ikhwanul Muslimin?

 

Keputusan Yordania untuk secara resmi melarang aktivitas Ikhwanul Muslimin, kelompok oposisi paling vokal di negara itu, kemungkinan diambil setelah adanya tekanan terkoordinasi dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Israel.

Awal pekan ini, Yordania menuduh Ikhwanul Muslimin merencanakan serangan di dalam negeri. Pengumuman itu disampaikan satu minggu setelah dinas keamanan mengatakan mereka telah menangkap 16 orang yang memiliki senjata dan bahan peledak, lansir Middle East Eye.

Dalam beberapa minggu menjelang pengumuman pada hari Rabu tersebut, gelombang kampanye hasutan terhadap Ikhwanul Muslimin menyebar di seluruh Kerajaan Hashemite, terutama digerakkan oleh media pro-pemerintah dan akun media sosial yang dikaitkan dengan dinas keamanan yang kuat di negara itu.

Ketika pihak berwenang Yordania akhirnya mengumumkan penangkapan sel tersebut, para pengamat dan analis melihat nada dan waktu pengumuman tersebut sebagai puncak dari kampanye politik yang makin intensif terhadap Ikhwanul Muslimin.

Media pemerintah mengutip juru bicara pemerintah yang mengatakan bahwa para tersangka adalah anggota Ikhwanul Muslimin yang berencana untuk “menyebarkan kekacauan”.

Tak lama setelahnya, media pemerintah menyiarkan apa yang diklaim sebagai pengakuan dari delapan tersangka, enam di antaranya mengatakan mereka adalah anggota Ikhwanul Muslimin.

Hanya seminggu setelah itu, dan sebelum ada satu pun dari para tahanan yang dirujuk ke pengadilan, kementerian dalam negeri mengumumkan larangan total terhadap Ikhwanul Muslimin, dengan tuduhan memproduksi dan menyimpan senjata serta merencanakan untuk mengguncang stabilitas kerajaan.

Kementerian juga menambahkan bahwa pihaknya telah meluncurkan penyelidikan terhadap lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan kelompok tersebut.

Secara bersamaan, pasukan keamanan menyerbu markas besar Front Aksi Islam (Islamic Action Front/IAF), sayap politik Ikhwanul Muslimin. Banyak pengamat melihat ini sebagai langkah awal untuk mencabut izin operasi IAF secara keseluruhan.

IAF adalah partai oposisi terbesar di Yordania, dengan 31 anggota di parlemen. Partai ini meraih hampir sepertiga suara dalam pemilu tahun lalu, menandai kemenangan elektoral terbesar sejak didirikan pada tahun 1992.

Ikhwanul Muslimin membantah memiliki keterkaitan dengan sel tersebut dan dugaan rencana serangan, tetapi respons mereka justru memperdalam krisis internal kelompok tersebut.

Alih-alih menyatakan solidaritas terhadap para tahanan — yang juga membantah tuduhan dan mengklaim bahwa tindakan mereka hanya untuk mendukung Gaza — kelompok ini justru mengambil jarak dari mereka sepenuhnya.

Sikap ini membuat opini publik menjauh dan melemahkan kemampuan Ikhwanul Muslimin untuk melawan kampanye pemerintah yang bertujuan membongkar salah satu kekuatan politik paling berpengaruh di negara itu.

Pada 23 April, ketika Menteri Dalam Negeri Mazin al-Faraya secara terbuka mengonfirmasi pelarangan Ikhwanul Muslimin dan memperingatkan media agar tidak menerbitkan pernyataan mereka atau mewawancarai anggotanya, Raja Abdullah melakukan kunjungan mendadak ke Arab Saudi untuk bertemu Putra Mahkota Mohammed bin Salman.

Waktu kunjungan tersebut memicu spekulasi bahwa Riyadh berada di balik penindakan ini dan bahwa kampanye ini bisa diperluas ke Front Aksi Islam dan akhirnya melarangnya juga.

Dengan langkah ini, negara Yordania tampak memulai babak baru dalam hubungannya dengan Ikhwanul Muslimin.

Jelang kunjungan Trump

Arab Saudi dan UEA sejak lama memimpin upaya untuk melemahkan Ikhwanul Muslimin di kawasan.

Keduanya mendukung kudeta militer Mesir pada 2013 yang menggulingkan pemerintahan yang dipimpin Ikhwanul Muslimin dan terus mendukung penindakan terhadap kelompok tersebut, yang menyebabkan ribuan anggotanya dipenjara.

Beberapa analis percaya bahwa kampanye Yordania dilakukan di bawah tekanan terkoordinasi dari Arab Saudi, UEA, dan Israel.

“Kampanye ini terjadi menjelang kunjungan Presiden AS Donald Trump ke kawasan. Ini mungkin merupakan langkah pencegahan dari Yordania untuk meyakinkan Trump agar mengembalikan bantuan AS yang sebelumnya ditangguhkan,” kata seorang jurnalis Yordania kepada Middle East Eye dengan syarat anonim.

“Arab Saudi dan UEA tidak jauh dari apa yang terjadi di Yordania, dan pertemuan Raja Abdullah dengan Pangeran Mohammed bin Salman mengonfirmasi hal ini.

“Yordania mungkin berusaha menyenangkan Saudi demi mendapatkan dukungan finansial sebagai pengganti bantuan AS yang ditangguhkan,” tambah jurnalis tersebut.

Mendukung monarki

Banyak pengamat di Yordania mengatakan bahwa Ikhwanul Muslimin telah menjadi pilar stabilitas di kerajaan tersebut sejak berdirinya negara Yordania pada 1946.

Menghilangkan kelompok ini dari kehidupan politik mungkin akan menyenangkan negara-negara tetangga, tetapi juga bisa menjadi ancaman bagi stabilitas dalam negeri, mengingat kelompok ini telah menjadi bagian penting dari sistem politik negara selama delapan dekade.

Ikhwanul Muslimin didirikan di Yordania pada tahun 1945, dan Raja Abdullah I menghadiri upacara pembukaan markas pertamanya.

Sejak saat itu, kelompok ini mendapatkan lisensi resmi dan terus beroperasi secara legal. Ketika pemerintah Yordania membubarkan partai-partai politik pada tahun 1957, Ikhwanul Muslimin dikecualikan dan tetap aktif di bidang politik dan sosial.

Ikhwanul Muslimin sejak itu mendukung sistem politik dan berdiri di sisi raja selama beberapa krisis serius yang mengancam kelangsungan monarki.

Pada tahun 1957, kelompok ini berpihak kepada Raja Hussein melawan upaya kudeta oleh pemerintahan Suleiman al-Nabulsi dan gerakan “Perwira Bebas” yang dipimpin oleh Ali Abu Nuwar.

Para perwira ini didukung oleh Presiden Mesir saat itu, Gamal Abdel Nasser, tetapi upaya kudeta paling serius terhadap monarki Yordania tersebut gagal. Setahun kemudian, kudeta serupa berhasil menggulingkan monarki Hashemite di Irak.

Pada tahun 1970, konfrontasi militer terbesar terjadi antara tentara Yordania dan pasukan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang dikenal sebagai Perang September, yang menjadi salah satu ancaman terbesar terhadap monarki Yordania.

Meskipun Ikhwanul Muslimin memiliki satu batalyon yang ikut serta bersama pasukan perlawanan Palestina, mereka menurunkan senjata dan menolak terlibat dalam konfrontasi bersenjata dengan tentara Yordania, menurut pengacara sekaligus anggota parlemen Saleh al-Armouti dalam pidatonya baru-baru ini.

Ikhwanul Muslimin juga mendukung monarki selama “Pemberontakan April” pada tahun 1989 yang hampir menggulingkan kerajaan.

Krisis tersebut terjadi setelah nilai tukar dinar Yordania jatuh dan harga kebutuhan pokok melonjak, memicu kemarahan luas.

Krisis itu mencapai puncaknya dengan diumumkannya “transisi demokrasi” dan pemilu parlemen pada tahun yang sama, di mana Ikhwanul Muslimin memenangkan sepertiga kursi di parlemen.

Pada tahun 1996, Ikhwanul Muslimin kembali mendukung monarki selama “Pemberontakan Roti”, momen kerusuhan besar lainnya.

Protes tersebut dipicu oleh keputusan pemerintah untuk menaikkan harga roti dan menyebabkan jatuhnya pemerintahan Perdana Menteri Abdel Karim Kabariti. Selama protes, Raja Hussein memuji Front Aksi Islam dan mencatat bahwa mereka tidak ikut serta maupun menyetujui protes tersebut, yang membantu meredakan ketegangan.

Yordania kini tengah menjalani transformasi politik besar. Tampaknya, elite politik memandang Ikhwanul Muslimin sebagai beban, dan percaya bahwa penghapusan kelompok ini dapat membuka jalan bagi hubungan yang lebih baik dengan Arab Saudi, UEA, dan Israel.

Pemerintah juga berharap langkah ini akan meyakinkan pemerintahan Trump untuk melanjutkan kembali bantuan finansial kepada Yordania.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular