Thursday, August 28, 2025
HomeBeritaANALISIS - Setelah pertemuan di gedung putih, apa rencana AS dan Israel...

ANALISIS – Setelah pertemuan di gedung putih, apa rencana AS dan Israel terhadap Gaza?

Meningkatnya tekanan internasional terhadap pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, memunculkan pertanyaan serius mengenai kesungguhan Washington menghentikan perang di Gaza.

Kecurigaan ini kian menguat setelah AS menolak menandatangani pernyataan Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera serta pembukaan jalur bantuan kemanusiaan tanpa syarat.

Sikap tersebut muncul di tengah maraknya manuver diplomasi berbagai pihak untuk mencari jalan keluar dari krisis Gaza yang telah berlangsung berbulan-bulan.

Dalam tayangan program Masar al-Ahdats (27/8/2025), sorotan diarahkan pada pertemuan penting di Gedung Putih.

Pertemuan yang melibatkan pejabat tinggi AS dan Israel itu membahas apa yang disebut sebagai “hari setelah perang” di Gaza.

Fokusnya adalah penyusunan rencana menyeluruh mengenai pengelolaan Gaza pascaperang—hal yang menimbulkan keraguan mengenai niat sesungguhnya Washington dan Tel Aviv.

Thomas Warrick, mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS, menilai pertemuan itu bukanlah hal mengejutkan.

Menurut dia, para peserta sedang memikirkan cara untuk segera mengakhiri perang melalui gencatan senjata, lalu menata situasi pascaperang.

“Posisi Presiden Trump sudah jelas: Hamas tidak mungkin dilibatkan dalam pemerintahan Gaza. Pertanyaannya, siapa yang akan memimpin Gaza dan dengan cara apa?” ujar Warrick.

Ia menambahkan, berbagai krisis di Gaza berpangkal pada satu hal: Israel berusaha membatasi bantuan kemanusiaan dengan mekanisme pengganti yang tidak memadai, sehingga menciptakan bencana kemanusiaan.

Momentum ini, menurutnya, bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan Gaza secara lebih menyeluruh.

Peran terselubung Tony Blair

Namun, analis politik Ahmed al-Hila menafsirkan pertemuan itu secara berbeda. Ia mengaitkannya dengan upaya mencari formula pengelolaan Gaza di bawah kendali keamanan Israel.

Kehadiran mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair disebut-sebut sebagai indikasi adanya wacana penunjukan dirinya sebagai “mandataris tinggi” dengan dukungan AS dan Israel, guna mengawasi administrasi Gaza.

Selain itu, hadir pula Jared Kushner, mantan penasihat Trump yang dikenal sebagai arsitek berbagai skema ekonomi.

Menurut al-Hila, keikutsertaan Kushner mengisyaratkan adanya rencana menjadikan Gaza sebagai zona ekonomi internasional dengan orientasi investasi—termasuk eksploitasi gas di pesisir Gaza serta proyek Kanal Ben Gurion yang digadang-gadang sebagai alternatif bagi Terusan Suez.

Pandangan berbeda dikemukakan pengamat Israel, Ihab Jabarin. Ia menilai belum ada kejelasan sejauh mana Gedung Putih serius menjalankan rencana tersebut.

Faktor lain yang ia soroti adalah posisi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Dengan statusnya sebagai tersangka di Mahkamah Pidana Internasional, Netanyahu tidak lagi leluasa berkonfrontasi dengan Washington.

Kondisi ini mendorongnya untuk memilih strategi manuver politik demi mendapatkan perlindungan politik atas operasi militernya.

Menurut Jabarin, meski terdapat perbedaan taktik, terdapat konsensus di kalangan elite Israel bahwa Gaza harus tetap berada di bawah kendali penuh Israel.

“Bagi sebagian, jalannya lewat kesepakatan. Bagi yang lain, jalannya lewat operasi militer langsung,” katanya.

Di sisi lain, Hamas menghadapi dilema besar. Tidak adanya respons jelas dari Israel terhadap berbagai proposal negosiasi membuat gerakan tersebut berada dalam posisi sulit.

Hamas dituntut untuk menavigasi situasi yang kian rumit, antara tekanan diplomatik, krisis kemanusiaan, dan ancaman militer yang masih berlangsung.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular