Monday, September 22, 2025
HomeBeritaANALISIS - Trump dan Bagram: Antara kecemasan Kabul dan sikap acuh Washington

ANALISIS – Trump dan Bagram: Antara kecemasan Kabul dan sikap acuh Washington

Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump tak lagi dipandang sebagai tokoh yang cenderung mengedepankan isolasionisme dalam kebijakan luar negeri.

Sejumlah pernyataannya justru mengisyaratkan langkah ekspansionis.

Mulai dari keinginannya untuk mengembalikan kendali atas Terusan Panama, menyebut Kanada seharusnya menjadi salah satu negara bagian Amerika, hingga menegaskan kembali ambisinya membeli Pulau Greenland.

Trump juga melancarkan serangan terhadap Iran dengan membombardir fasilitas nuklirnya, sekaligus mengulangi niatnya untuk merebut kembali Pangkalan Udara Bagram di Afghanistan.

Rangkaian pernyataan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai arah dan tujuan sebenarnya dari strategi luar negeri Trump.

Di Kabul, ucapan Trump tentang “usaha merebut kembali” Pangkalan Bagram, yang terletak di utara ibu kota Afghanistan, langsung memicu perdebatan luas.

Isu ini membuka kembali luka lama yang sensitif sejak penarikan penuh pasukan asing dari Afghanistan pada 2021.

Bagi rakyat Afghanistan, Bagram adalah simbol kembalinya kedaulatan setelah dua dekade pendudukan. Kini, wacana kembalinya AS ke pangkalan itu dipandang sebagai ujian baru dalam hubungan Kabul–Washington.

Lebih jauh, setiap kemungkinan hadirnya kembali pasukan AS akan mengundang sorotan dari kekuatan regional yang selama ini mengamati dengan cermat perkembangan keamanan di kawasan perbatasan mereka.

Histeria Trump

Dari Washington, sejumlah pengamat politik Amerika berusaha meredam kesan serius atas pernyataan Donald Trump.

Mereka menilai, pernyataan itu lebih sebagai serangan terhadap warisan Presiden Joe Biden, sekaligus bagian dari strategi politik domestik menjelang pemilu paruh waktu Kongres tahun depan.

“Trump memang ingin merebut kembali pangkalan itu, tetapi kecil kemungkinan ia akan benar-benar melakukan langkah nyata,” kata analis politik Partai Republik, Peter Roff, dalam wawancara dengan Al Jazeera Net.

Menurut Roff, tujuan utama Trump dalam terus menggaungkan isu Bagram tidak lain untuk mengirimkan pesan ganda.

Pertama, mengingatkan Tiongkok bahwa ia masih memandang Beijing sebagai ancaman keamanan regional terhadap kepentingan Amerika.

Kedua, membangkitkan kembali ingatan publik Amerika pada buruknya pengelolaan penarikan pasukan dari Afghanistan oleh pemerintahan Biden.

“Trump ingin membuat Biden dan timnya tampak lemah. Di sisi lain, ia berupaya membangun kembali citra Amerika di mata dunia dengan menekankan penggunaan kekuatan militer untuk melindungi kepentingan nasional di luar negeri. Ia ingin pemilih mengingat hal ini menjelang pemilu paruh waktu tahun depan,” ujar Roff.

Sementara itu, Charles Dunne, mantan pejabat Gedung Putih sekaligus Departemen Luar Negeri AS, menyebut pernyataan Trump sekadar “omong kosong tanpa tindak lanjut nyata.”

Menurutnya, wacana Trump tentang Pangkalan Bagram tidak lebih dari obsesi lama yang sama absurdnya dengan idenya mengenai Terusan Panama dan Pulau Greenland.

“Kalau memang serius, seharusnya pada masa jabatan pertamanya Trump tidak menandatangani kesepakatan penarikan yang bencana dengan Taliban,” tegas Dunne.

Pentingnya pangkalan Bagram

Bagram, yang terletak di utara ibu kota Kabul, pernah menjadi pangkalan udara terbesar di Afghanistan sekaligus pusat operasi militer AS selama hampir dua dekade setelah serangan 11 September 2001.

Sejak penarikan pasukan asing pada Juli 2021 dan pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban, Bagram menjelma menjadi simbol kemampuan Afghanistan mengelola urusan dalam negerinya sendiri.

Padahal, sebelumnya pangkalan itu dilengkapi dengan landasan pacu sepanjang dua mil, kompleks helikopter dan jet tempur, serta penjara, fasilitas logistik, hingga layanan khusus bagi ribuan prajurit Amerika.

Namun, pernyataan Trump kembali menyoroti arti strategis lokasi pangkalan tersebut.

Letaknya yang dekat dengan perbatasan Tiongkok membuat Bagram tak sekadar situs militer, tetapi juga menjadi titik sentral dalam perdebatan mengenai perebutan pengaruh Amerika di kawasan Asia Tengah.

Penolakan resmi

Pemerintah Afghanistan menolak tegas pernyataan Donald Trump terkait rencana merebut kembali Pangkalan Bagram. Kabul menegaskan komitmennya terhadap kedaulatan nasional.

Kepala Urusan Politik Kementerian Luar Negeri Afghanistan, Zakir Jalali, dalam pernyataannya kepada Al Jazeera Net, mengatakan bahwa Afghanistan dan Amerika Serikat seharusnya membangun interaksi bersama yang sehat.

Menurut dia, kedua negara masih bisa mengembangkan hubungan ekonomi dan politik berbasis kepentingan bersama, tanpa perlu kehadiran militer Amerika di wilayah Afghanistan.

“Trump bukan hanya seorang politisi, ia juga pebisnis ulung. Pernyataannya mengenai Bagram sebaiknya dipahami dalam konteks tawaran kesepakatan yang mungkin ia bayangkan,” ujar Jalali.

Ia menegaskan, kehadiran militer asing sejak dulu tidak pernah diterima rakyat Afghanistan. Penolakan itu bahkan ditegaskan kembali dalam perundingan Doha.

Namun, pintu kerja sama tetap terbuka di bidang lain, seperti ekonomi maupun hubungan politik.

Sebelumnya, pada akhir Juli lalu, Menteri Luar Negeri Afghanistan Amir Khan Muttaqi juga menepis klaim Trump terkait dugaan keberadaan militer Tiongkok di Bagram.

Ia menegaskan bahwa Afghanistan tidak akan mengizinkan kehadiran militer asing di wilayahnya, apa pun alasannya.

Kecemasan regional

Di tingkat kawasan, perkembangan isu Bagram diawasi ketat oleh sejumlah negara. Tiongkok menekankan pentingnya menghindari eskalasi militer di dekat perbatasannya.

Rusia, yang kini menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Kabul, juga memperhatikan setiap langkah AS yang berpotensi mengubah keseimbangan kekuatan di Asia Tengah.

Mantan diplomat Afghanistan, Omar Samad, dalam wawancara dengan Al Jazeera Net, menilai setiap upaya mengembalikan kehadiran militer Amerika di Afghanistan tidak akan mudah.

Menurutnya, wacana tersebut lebih banyak berhubungan dengan agenda politik domestik Trump ketimbang rencana nyata di lapangan.

Pandangan serupa disampaikan pakar militer Afghanistan, Brigadir Matin Hashimi. Ia menegaskan, setiap kemungkinan intervensi militer akan menghadapi kerumitan besar, baik dari sisi logistik maupun strategi.

Setelah bertahun-tahun dikelola secara lokal, pangkalan itu memerlukan perombakan menyeluruh jika ingin dioperasikan kembali.

“Langkah semacam ini justru bisa memicu ketegangan dalam negeri dan membangkitkan kembali trauma konflik bersenjata. Afghanistan saat ini tidak lagi bisa dijajah seperti masa lalu,” katanya.

Dengan demikian, setiap wacana untuk merebut kembali Pangkalan Bagram tetaplah sensitif.

Isu ini menyentuh aspek kedaulatan nasional, keamanan regional, sekaligus menimbulkan pertanyaan mendasar.

Apakah Afghanistan akan terus menjadi arena persaingan geopolitik, atau justru mampu menapaki jalan menuju kemandirian dalam mengelola urusan politik dan pertahanannya?

Sejumlah pakar Afghanistan menekankan, apa pun langkah yang diambil AS ke depan, hal itu akan menjadi ujian nyata bagi ketahanan pemerintah Kabul dalam menjaga stabilitas di tengah tekanan regional maupun internasional.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular