Friday, February 28, 2025
HomeBeritaBeginilah guru dan siswa Gaza gambarkan kembalinya ke sekolah

Beginilah guru dan siswa Gaza gambarkan kembalinya ke sekolah

Begitu mendengar kabar tentang persiapan dimulainya kembali pendidikan di Gaza, Diana Abu Za’roura, seorang guru yang sebelumnya mengajar di Sekolah Rosary Sisters, segera mendaftar sebagai relawan di salah satu sekolah di bagian barat Kota Gaza.

Diana, yang terpaksa mengungsi dari satu tempat ke tempat lain demi mencari keselamatan selama perang, kini merasa antusias dapat kembali mengajar.

Ia mengajar di ruang kelas bawah tanah di Sekolah Model Al-Nasr, yang dipilih oleh Kementerian Pendidikan Palestina sebagai salah satu titik pendidikan utama untuk melanjutkan proses belajar-mengajar.

“Rasa sedih dan kekhawatiran saya terhadap masa depan siswa mendorong saya untuk menjadi relawan. Mereka sangat menderita selama perang, dan masa depan pendidikan mereka terancam,” ungkap Diana.

Kementerian Pendidikan Palestina mengumumkan pada hari Minggu bahwa pendidikan akan dilanjutkan secara bertahap di puluhan titik pendidikan di seluruh Gaza. Hal itu tetap dilakukan meskipun banyak sekolah dan kantor kementerian hancur akibat serangan Israel.

Sejak pecahnya perang Israel di Gaza pada 7 Oktober 2023, semua kegiatan pendidikan di tingkat sekolah dan universitas terhenti sepenuhnya.

Hal itu membuat siswa kehilangan tahun ajaran 2023-2024, dan bahkan tahun ajaran 2024-2025 pun terancam hilang.

Dampak perang terhadap Pendidikan

Diana merasa terkejut saat menyadari penurunan kemampuan belajar siswa, terutama di tingkat sekolah dasar.

Banyak dari mereka mengalami kesulitan membaca, menulis, dan kehilangan berbagai keterampilan dasar akibat lamanya jeda pendidikan selama perang.

“Siswa-siswa ini pintar. Saya yakin mereka akan dengan cepat memulihkan kemampuan mereka dan mengejar ketertinggalan,” imbuh Diana dengan perasaan optimis.

Menurutnya, meski semangat yang dimiliki besar, namun, tantangan akan tetap ada. Sekolah-sekolah yang dulunya tempat belajar, kini berubah menjadi tempat pengungsian.

“Baik guru maupun siswa akan menghadapi tantangan ini bersama-sama dan mengatasi semua hambatan,” tegasnya.

Jalan panjang

Menurut Mahmoud Matar, Asisten Sekretaris Kementerian Pendidikan Palestina, bahwa keputusan untuk melanjutkan pendidikan hanyalah langkah kecil di jalur panjang yang penuh tantangan.

“Hari ini hanyalah inisiatif awal. Masih banyak rintangan yang harus dihadapi, tetapi kami akan terus melanjutkan secara bertahap,” katanya.

Kementerian telah membuka 100 titik pendidikan di seluruh Gaza dan berencana menambah jumlahnya secara bertahap.

Namun, Matar tidak memberikan angka pasti tentang jumlah siswa yang akan kembali belajar, sambil menunggu situasi lebih stabil dan pendataan siswa yang hadir.

Karena, katanya, 93% sekolah di Gaza telah rusak akibat serangan Israel, ruang kelas darurat sedang diperbaiki, dan tenda akan digunakan sebagai pengganti ruang belajar yang hancur.

Proses belajar akan berlangsung 3 hari dalam seminggu, untuk memastikan lebih banyak siswa dapat mengikuti pelajaran.

Matar menambahkan bahwa kurikulum juga disesuaikan menjadi “paket pendidikan” yang dirancang untuk memudahkan siswa belajar di tengah kondisi sulit.

Pembelajaran daring melalui platform digital juga disediakan, meskipun pemadaman listrik dan gangguan internet menjadi tantangan besar.

Terkait siswa kelas 12 (Tawjihi) kelahiran 2006, Matar menyebut bahwa jadwal ujian akhir akan segera diumumkan, dengan kemungkinan ujian daring sebagai salah satu opsinya.

Pengorbanan

Menurut Khairi Attallah, Ketua Persatuan Guru Palestina, para guru, seperti warga Palestina lainnya harus membayar harga mahal akibat agresi Israel.

Ia mengungkapkan bahwa lebih dari 800 guru telah gugur, ribuan terluka, puluhan ditangkap, dan banyak rumah guru hancur.

Meskipun demikian, para guru tetap berdedikasi, dengan banyak yang menjadi relawan untuk mendukung siswa.

“Keputusan memulai kembali tahun ajaran ini adalah pencapaian besar bagi rakyat Palestina dan Kementerian Pendidikan, meski di tengah kehancuran,” kata Attallah, seraya memuji semangat para guru yang kembali mengajar meskipun dalam kondisi pribadi yang sulit.

Kegembiraan dan kesedihan

Dalam upacara pagi di Sekolah Al-Nasr, puluhan siswa terlihat bersemangat. Setelah menyanyikan lagu kebangsaan Palestina dan menyaksikan pertunjukan seni sederhana, mereka berbaris menuju ruang kelas, yang berhasil selamat dari serangan Israel.

Fajr Mahdi, siswa berusia 11 tahun, mengungkapkan kegembiraannya bisa kembali ke sekolah setelah berbulan-bulan belajar daring yang penuh tantangan akibat pemadaman listrik dan gangguan internet.

Sementara itu, Ahmad Al-Sharafa, siswa kelas 6, mengalami kesulitan besar selama perang, ketika keluarganya terperangkap di rumah mereka pada Maret 2024.

Tentara Israel menangkap anggota keluarga laki-lakinya, menghancurkan rumah mereka, dan mengakibatkan gugurnya beberapa anggota keluarga.

“Saya sangat senang bisa kembali ke sekolah. Saya ingin kembali ke kehidupan saya sebelum perang. Saya dulu siswa terbaik di kelas saya, dan saya ingin terus berprestasi hingga masuk universitas,” kata Ahmad.

Hatem Abu Arab, siswa lain yang memiliki bakat dalam pidato, juga menghadapi kesulitan besar, dengan keluarganya terpisah akibat pengungsian.

“Saya menghabiskan bulan-bulan perang dengan rasa sakit dan kesedihan. Mengapa kita tidak bisa seperti anak-anak di seluruh dunia? Mengapa mereka membunuh anak-anak kita dan menghancurkan sekolah kita?” ungkapnya.

Namun, seperti siswa lainnya, Hatem bersukacita atas kembalinya sekolah, dengan harapan bahwa pendidikan bisa menjadi titik awal untuk mengembalikan kehidupan normal di Gaza.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular