Tuesday, April 22, 2025
HomeBeritaFatima Hassouna, "mata Gaza" yang dibungkam genosida

Fatima Hassouna, “mata Gaza” yang dibungkam genosida

Bagi Fatima Hassouna, seorang jurnalis foto asal Palestina berusia 25 tahun, fotografi bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa.

Di tengah situasi penuh kekerasan di Jalur Gaza, ia menjadikan kameranya sebagai alat untuk merekam kenyataan pahit yang dialami rakyatnya.

Selama 18 bulan masa perang yang terus bergulir, Fatima menyusuri lorong-lorong sempit Kota Gaza, mendokumentasikan kehancuran, kesedihan, serta sisa-sisa harapan yang tetap menyala dalam mata anak-anak di antara puing-puing.

Melalui ribuan jepretan, karya Fatima menampilkan wajah asli dari penderitaan sekaligus keteguhan. Mengisahkan kisah manusia yang sering luput dari sorotan.

“Fatima membangun hubungan emosional yang dalam dengan mereka yang ia potret,” ujar Asma Abo, sahabat karibnya, kepada The New Arab.

Menurutnya, Fatima berbicara kepada para ibu seperti kepada ibunya sendiri, dan memperlakukan setiap anak seperti anaknya sendiri.

“Empatinya tulus, bukan sekadar formalitas,” tambah Asma.

Di kalangan jurnalis lokal, Fatima dijuluki “Mata Gaza”. Julukan itu kini tinggal kenangan. Sebuah serangan udara Israel menghantam kediamannya di kawasan Tuffah, Kota Gaza.

Fatima tewas bersama sembilan anggota keluarganya. Kedua orangtuanya selamat, namun masih dalam kondisi kritis.

Dedikasi seorang saksi

Fatima tidak mengejar ketenaran. Ia hanya ingin dunia melihat kebenaran.

“Ia percaya bahwa setiap foto punya tujuan—untuk menyuarakan yang bisu, untuk menceritakan kisah yang perlu didengar,” kata Asma.

Lulusan program multimedia di University College of Applied Sciences, Gaza, Fatima dikenal lewat gaya visual yang menyentuh dan jujur.

Ia pernah bekerja sama dengan berbagai lembaga lokal dan internasional seperti Untold Palestine, Tamer Institute for Community Education, dan Mondoweiss yang berbasis di Amerika Serikat (AS).

Karyanya sempat dimuat di The Guardian dan dipamerkan dalam berbagai forum internasional, termasuk pameran bertajuk Gaza, My Beloved dan SAFE.

“Ia tak pernah menunggu berita datang kepadanya. Ia selalu mendatangi pusat-pusat krisis, bahkan saat bom berjatuhan,” kenang Asma.

Fatima juga baru saja menyelesaikan sebuah film dokumenter pendek mengenai perempuan dan anak-anak Gaza, yang rencananya akan ditayangkan di Festival Film Cannes bulan Mei ini, sebuah mimpi besar yang nyaris terwujud.

Di tengah gempuran perang, Fatima tetap memupuk harapan. Ia merencanakan pernikahan pada Agustus mendatang.

“Ia ingin merayakannya di ruang terbuka, di atas tanah hijau, bersama keluarga dan anak-anak. Sebuah kebahagiaan kolektif yang menentang pengepungan,” ujar jurnalis Palestina, Lama Abu Asi.

Ia juga menyatakan bahwa Fatima mengejar kebahagiaan seperti menangkap kupu-kupu.

“Bahkan ketika dunia sekelilingnya terbakar, Fatima tetap memimpikan kegembiraan,” terangnya.

Kehilangan yang mendalam

Fatima tetap bekerja meski dihantam duka pribadi. Ia kehilangan nenek dan beberapa kerabatnya dalam serangan sebelumnya.

“Saya pernah memohon agar ia beristirahat,” kata Asma.

Namun, lanjut Asma, Fatima menolak dan menganggap bahwa jika ia berhenti, suara mereka akan hilang..

Saat kabar duka datang, Asma berlari ke rumah sakit, mencari sahabatnya.

“Seorang tetangga berkata Fatima telah dimakamkan tanpa kepala. Saat itulah saya runtuh,” ujarnya.

Keduanya tengah menggarap proyek bersama berjudul The Story Remains, sebuah dokumentasi visual untuk menjaga memori budaya Palestina.

“Kami ingin membawanya ke luar negeri. Tapi sekarang, saya tidak tahu apakah bisa melanjutkannya. Rasanya waktu berhenti sejak kepergiannya,” tuturnya.

Bagi Asma dan Lama, Fatima bukan sekadar jurnalis. Ia adalah saksi, pencerita, dan simbol perlawanan. Lewat lensanya, dunia dapat melihat apa arti menjadi manusia di tengah pengepungan.

Fatima tewas saat gelombang baru serangan Israel menyasar permukiman warga di Gaza City.

Meski militer Israel mengklaim hanya menargetkan infrastruktur militan, laporan dari berbagai lembaga hak asasi manusia menyatakan bahwa korban sipil terus berjatuhan, termasuk keluarga yang terkubur di rumah mereka sendiri.

“Kasus Fatima menunjukkan betapa nyawanya terancam setiap hari bagi jurnalis di Gaza. Pekerja media harus dilindungi, bukan dijadikan sasaran,” demikian pernyataan Kantor Media Pemerintah Gaza.

Sejak dimulainya perang pada 7 Oktober 2023, sekitar 212 jurnalis Palestina telah terbunuh, sebagian besar akibat serangan udara langsung, menurut data dari Pusat Perlindungan Jurnalis Palestina.

“Kematian Fatima merupakan kehilangan besar bagi komunitas media Gaza. Ia mendedikasikan hidupnya untuk menangkap dimensi kemanusiaan dari perang ini,” tulis pusat tersebut dalam pernyataannya.

Mereka menyoroti Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) No. 2222 yang menegaskan pentingnya perlindungan terhadap jurnalis dalam konflik bersenjata.

Namun, di Gaza, ketentuan itu kerap diabaikan.

“Setiap nama dalam daftar jurnalis kami adalah suara yang dibungkam. Nama Fatima Hassouna tak akan dilupakan—oleh Gaza, dan oleh dunia,” pungkasnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular