Sunday, July 6, 2025
HomeBeritaGaza didera krisis air, warga alami penghausan massal

Gaza didera krisis air, warga alami penghausan massal

Krisis air bersih di Kota Gaza telah mencapai titik kritis. Dalam kondisi perang yang terus berlanjut, penduduk di wilayah terkepung ini menghadapi kondisi “penghausan massal”.

Kondisi tersebut tak mungkin ditanggulangi tanpa bantuan internasional, demikian disampaikan juru bicara Pemerintah Kota Gaza, Assem Al-Nabih, kepada Al Jazeera.

Menurut Al-Nabih, kekurangan air bukanlah permasalahan baru di Gaza. Namun, agresi militer Israel sejak Oktober 2023 telah memperburuk situasi secara drastis dan menciptakan kondisi yang, menurut laporan PBB, membahayakan nyawa penduduk, khususnya anak-anak.

Pada Sabtu (6/7), pasukan Israel kembali menargetkan infrastruktur air dengan menyerang stasiun desalinasi di kawasan Rimal, Gaza.

Serangan ini menewaskan 3 warga sipil dan melukai sedikitnya 15 lainnya.

Serangan sistematis

Sejak dimulainya perang, Israel telah melakukan serangan sistematis terhadap sumur air dan stasiun desalinasi di seluruh Gaza.

Menurut Al-Nabih, sekitar 75 persen sumur air telah hancur dalam 20 bulan terakhir.

Salah satu stasiun utama yang biasa menyuplai air harian untuk 10 persen penduduk Gaza juga menjadi sasaran serangan.

Laporan dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) menunjukkan bahwa pasokan air bersih kini hanya tersisa 7 persen dari kapasitas sebelum perang.

Selain itu, 97 persen air tanah di Gaza telah terkontaminasi dan tidak layak minum, memaksa warga bergantung pada air desalinasi dalam jumlah sangat terbatas, atau bahkan air yang tidak aman dan berisiko menularkan penyakit.

Israel juga disebut telah menghancurkan lebih dari 100.000 meter pipa air di Kota Gaza, dan lebih dari 2.260 meter di seluruh Jalur Gaza.

Ini memperparah krisis air bersih dan memutus akses ribuan keluarga terhadap sumber kehidupan dasar.

Dehidrasi yang semakin parah

Sumber-sumber air yang masih bertahan pun hanya mampu memenuhi 50 persen kebutuhan penduduk, belum termasuk puluhan ribu pengungsi internal yang kini menetap di Kota Gaza.

Pemerintah kota menegaskan bahwa mereka tak lagi memiliki kapasitas maupun bahan bakar untuk mengoperasikan sisa-sisa infrastruktur air.

Upaya perbaikan yang dilakukan selama beberapa bulan terakhir sebagian besar bersifat pribadi dan menggunakan peralatan seadanya, yang tidak memadai untuk mengembalikan sistem air ke kondisi sebelum perang.

Suku cadang dan peralatan teknis yang dibutuhkan tak tersedia akibat blokade ketat yang diberlakukan Israel.

“Tanpa dukungan internasional, mustahil bagi kami untuk memulihkan akses air minum harian bagi warga,” ujar Al-Nabih.

Kondisi ini diperburuk oleh blokade total sejak Maret 2025, yang telah menyebabkan krisis kemanusiaan menyeluruh di wilayah tersebut.

Menurut kantor media pemerintah Gaza, lebih dari 20.000 anak telah meninggal selama perang, termasuk 66 yang wafat akibat kekurangan gizi.

Laporan dari UNICEF, Palang Merah, dan UNRWA sepakat menyatakan bahwa Gaza sedang menghadapi “darurat air” penuh.

Para pakar PBB menegaskan bahwa Gaza kini menjadi wilayah dengan akses air aman terendah di dunia, yakni di bawah 10 persen dari ambang batas minimum yang ditetapkan.

Rosalía Pollen, pejabat UNICEF di Gaza, menyatakan bahwa pada Oktober 2024, sekitar 600.000 orang sempat mendapatkan kembali akses terhadap air bersih, namun layanan itu kembali terputus akibat serangan dan pemadaman listrik total.

Hingga kini, sekitar 1,8 juta orang—lebih dari setengahnya anak-anak—memerlukan bantuan mendesak dalam bentuk air bersih, sanitasi, dan layanan kesehatan dasar.

Pemadaman listrik yang berlangsung sejak awal tahun ini juga menyebabkan penghentian penuh operasi instalasi desalinasi.

Para petugas kesehatan memperingatkan bahwa situasi tersebut membuka jalan bagi mewabahnya penyakit menular seperti kolera dan infeksi saluran pencernaan, terutama di kalangan anak-anak yang paling rentan.

Dalam kondisi yang kian memburuk ini, seruan untuk intervensi global kian mendesak.

“Tidak bisa dibayangkan seorang manusia tidak mampu memperoleh air minum untuk anak-anaknya setiap hari,” tegas Al-Nabih.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular