Hamas menuding Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu merusak perjanjian gencatan senjata Gaza, dengan mengatakan bahwa Israel tidak terlibat dalam negosiasi untuk fase kedua perjanjian yang dijadwalkan berakhir pada 1 Maret mendatang.
Kelompok tersebut juga menyatakan siap untuk meninggalkan peran pemerintahan di Gaza.
“Permainan kotor” Netanyahu
Basem Naim, anggota senior biro politik Hamas, mengatakan kepada Al Jazeera pada Sabtu (24/2), bahwa pemerintah sayap kanan Israel mencoba menggagalkan kesepakatan tersebut dan mengirimkan pesan tentang kesediaan untuk kembali berperang.
Fase pertama dari perjanjian yang dimulai pada 19 Januari lalu telah melihat pelepasan sandera Israel dengan imbalan tahanan Palestina, penarikan sebagian pasukan Israel dari Gaza, dan pengiriman bantuan kemanusiaan.
Fase kedua, yang jika disepakati, akan mencakup pelepasan semua sandera Israel dan gencatan senjata permanen.
Naim menegaskan bahwa kelompok Palestina yang memerintah Gaza tetap berkomitmen pada kesepakatan tersebut dan telah memenuhi kewajibannya.
Netanyahu mengancam akan melanjutkan serangan ke Gaza dan mengungkapkan komitmennya terhadap proposal AS untuk “mengambil alih” wilayah tersebut dan memindahkan penduduk Palestina. Ia juga menyatakan bahwa kabinetnya belum memutuskan apakah kondisi untuk melanjutkan ke fase kedua telah dipenuhi.
Pelanggaran Israel
Naim menuduh Israel telah melanggar syarat perjanjian tersebut. “Lebih dari 100 warga Palestina tewas pada fase pertama, sebagian besar bantuan kemanusiaan yang dijanjikan tidak diizinkan masuk, dan penarikan dari Koridor Netzarim ditunda,” kata Naim.
Israel dijanjikan untuk mengizinkan 60.000 rumah mobil dan 200.000 tenda masuk ke Gaza, namun hal ini belum dipenuhi. Lebih dari 90 persen dari 2,4 juta warga Palestina di Gaza telah mengungsi, dan banyak bagian dari Gaza telah hancur.
Hamas juga menanggapi penangguhan pelepasan 602 tahanan Palestina sebagai bagian dari pertukaran tahanan, dengan mengatakan bahwa tuduhan Israel tentang “upacara penghinaan” tidak berdasar dan hanya merupakan alasan untuk menghindari kewajiban mereka.
Pemerintahan Gaza
Naim menyatakan bahwa Hamas siap untuk meninggalkan peran pemerintahan di Gaza. “Kami sudah beberapa kali mengatakan, bahkan sebelum 7 Oktober 2023, bahwa kami siap untuk segera meninggalkan posisi pemerintahan di Gaza dan menyerahkannya kepada pemerintahan persatuan Palestina atau pemerintahan teknokratik,” ujarnya.
Hamas menyambut baik proposal Mesir untuk membentuk komite yang bertugas mengatur berbagai aspek kehidupan di Gaza dengan koordinasi bersama Pemerintah Otoritas Palestina di Ramallah.
Naim menegaskan bahwa Hamas didirikan sebagai gerakan perlawanan nasional Palestina dengan tujuan yang jelas, termasuk “menghilangkan penjajahan, mencapai negara Palestina, dan hak untuk kembali.”
Namun, untuk urusan kehidupan sehari-hari seperti kesehatan, pendidikan, dan urusan sosial, mereka siap menyerahkan kepada solusi berbasis konsensus.