Thursday, March 6, 2025
HomeBaitul MaqdisIsrael larang wartawan masuk Masjid Al-Aqsa untuk tutupi kejahatannya

Israel larang wartawan masuk Masjid Al-Aqsa untuk tutupi kejahatannya

Menjelang dan saat bulan suci Ramadan, penjajah melancarkan operasi terhadap pekerja media di Yerusalem dengan melarang mereka masuk Masjid Al-Aqsa sebagai senjata.

Tujuannya adalah untuk menutupi pelanggaran harian yang dilakukan oleh polisi dan pemukim di kompleks masjid.

Selain itu, untuk menghalangi penyebaran suasana spiritual Ramadan yang luar biasa melalui lensa para fotografer, yang biasanya mendominasi platform media sosial selama bulan suci ini.

Karena dokumentasi serangan terhadap Al-Aqsha, para penjaga, dan jamaah sering menjadi pemicu gelombang perlawanan rakyat serta beberapa perang dengan Gaza.

Menurut para ahli urusan Yerusale, penjajah tahun ini secara khusus menargetkan jurnalis dan fotografer dalam kampanye pengusiran preventif.

Sejumlah dari mereka telah menerima pelarangan masuk sejak sebelum Ramadan dan terus bertambah setiap hari setelahnya.

Tuduhan lemah

Jurnalis Yerusalem, Bassem Zaidani, yang bekerja secara independen dengan beberapa media, termasuk di antara mereka yang dipaksa menerima hukuman ini.

Dalam wawancara dengan Al Jazeera Net, ia mengungkapkan bahwa tidak seperti biasanya. Ia diberitahu tentang keputusan pelarangannya melalui telepon pada Sabtu malam, yang bertepatan dengan hari pertama Ramadan.

Ia diminta untuk datang pada hari Senin ke pusat polisi penjajah “Al-Qishla” di Kota Tua Yerusalem untuk menerima keputusan tersebut.

“Petugas polisi yang bertanggung jawab atas Kota Tua menyerahkan surat pengusiran kepada saya, dengan alasan bahwa ada berkas rahasia di kepolisian dan badan keamanan (Shin Bet) yang menyatakan bahwa kehadiran saya di dalam Masjid Al-Aqsha dapat menimbulkan masalah,” ungkap Zaidani.

Ia menerima larangan masuk masjid dan jalur yang mengarah ke sana selama 1 minggu.

Ia diperintah untuk kembali bertemu dengan petugas setelah periode itu, di mana hukumannya kemungkinan akan diperpanjang menjadi 3 hingga 6 bulan.

Mengenai dampaknya terhadap pekerjaannya sebagai jurnalis, Zaidani menegaskan bahwa hukuman ini sangat membatasi ruang geraknya.

Terutama karena mereka yang diusir dapat ditangkap kapan saja jika mereka berada di dalam Kota Tua Yerusalem.

Ia juga mencatat bahwa ini adalah tahun kedua berturut-turut ia menghadapi pengusiran selama bulan Ramadan.

12 Kasus pengusiran dalam beberapa hari

Fotografer jurnalis Saif Al-Qawasmi juga menerima larangan masuk Masjid Al-Aqsha beberapa minggu lalu. Hal itu menjadikannya pengusiran ke-6 yang ia terima.

Sejak tahun 2020, ia telah menerima larangan tersebut setiap tahun.

Dalam wawancara dengan Al Jazeera Net, Al-Qawasmi menceritakan bahwa polisi penjajah menghentikan kendaraannya di wilayah barat Yerusalem.

Setelah menahannya selama 1 jam, mereka memintanya untuk datang ke pusat polisi “Al-Qishla” keesokan harinya.

Ia kemudian dilarang masuk Masjid Al-Aqsa selama 1 minggu. Namun, kali ini ia beruntung karena hukumannya tidak diperpanjang.

“Area utama tempat saya bekerja setiap hari adalah Masjid Al-Aqsha dan Kota Tua. Dengan pengusiran ini, pekerjaan saya hampir sepenuhnya terhenti dan saya kehilangan sumber penghasilan saya,” ungkap Al-Qawasmi mengenai dampak yang ia rasakan.

Pada bulan Februari lalu, dinas intelijen penjajah memanggil puluhan warga Yerusalem, terutama mereka yang dibebaskan dalam kesepakatan pertukaran tahanan terakhir, dan memberi mereka perintah pengusiran dari kiblat pertama umat Islam.

Beberapa jurnalis juga menjadi sasaran pengusiran, termasuk Nadine Jaafar, yang ditangkap Selasa malam dari depan Musala Al-Qibli di dalam Masjid Al-Aqsha dan langsung menerima surat pengusiran.

Al Jazeera Net mencatat bahwa setidaknya 12 kasus pengusiran dari Masjid Al-Aqsha telah terjadi sejak awal Ramadan.

Namun, jumlah sebenarnya mungkin lebih tinggi karena beberapa warga Yerusalem memilih untuk tidak mengungkapkan informasi ini kepada media demi menghindari pengejaran lebih lanjut.

Tindakan Balas Dendam

Pengacara yang menangani kasus-kasus Yerusalem, Khaled Zabarqa, mengatakan kepada Al Jazeera Net bahwa ia tidak melihat pelarangan ini sebagai sesuatu yang sah, melainkan sebagai keputusan sewenang-wenang yang tidak memiliki dasar hukum.

“Ini tidak lain hanyalah tindakan balas dendam oleh otoritas Israel terhadap warga Palestina, terutama mereka yang merupakan mantan tahanan,” tegasnya.

Sementara itu, akademisi dan pakar hukum Munir Nuseibeh menegaskan bahwa pengusiran dari Al-Aqsha adalah pelanggaran.

“Pelanggaran terhadap hak beribadah dan akses ke tempat suci sebagaimana yang dijamin oleh hukum internasional,” katanya.

Selain itu, tindakan ini membatasi kebebasan bergerak warga Palestina di dalam tanah air mereka sendiri tanpa adanya alasan yang sah.

“Setiap kali penjajah ingin mengubah status quo di Masjid Al-Aqsha dan melaksanakan rencana Yudaisasi, mereka semakin banyak mengusir para pemuda dari tempat suci ini,” pungkasnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular