Komando Angkatan Udara Israel mengancam akan memberhentikan sekitar 970 personel, termasuk pilot, perwira, dan prajurit, jika mereka tidak menarik dukungan terhadap sebuah surat yang menuntut diakhirinya perang di Jalur Gaza. Demikian dilaporkan media lokal, Rabu (10/4/2025).
Surat kabar Haaretz melaporkan bahwa sekitar 970 anggota skuadron udara, sebagian di antaranya masih aktif dalam dinas cadangan, menandatangani surat tersebut. Kendati menentang perang, surat itu tidak secara eksplisit mengajak untuk menolak bertugas.
Dalam beberapa hari terakhir, pimpinan senior Angkatan Udara dilaporkan menghubungi langsung para penandatangan yang masih bertugas dalam cadangan, meminta mereka mencabut dukungannya. Jika tidak, mereka diancam akan diberhentikan, menurut laporan Haaretz.
Meski demikian, dari ratusan yang menandatangani, hanya 25 orang yang menarik kembali tanda tangannya, sementara delapan orang lainnya justru menambah dukungan.
Dalam surat tersebut, para penandatangan, termasuk perwira senior dan pilot, menyatakan bahwa “perang di Gaza lebih melayani kepentingan politik daripada keamanan.”
Kelompok oposisi Israel sejak lama menyatakan bahwa operasi militer di Gaza lebih ditujukan untuk mempertahankan kekuasaan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, dan bukan demi kepentingan keamanan nasional.
Beberapa hari sebelumnya, Komandan Angkatan Udara Mayjen Tomer Bar mengadakan pertemuan dengan sejumlah penandatangan utama. Dalam pertemuan itu, sejumlah perwira cadangan mengkritik keras ancaman pemecatan yang dilontarkan Bar, menyebutnya sebagai pelanggaran hukum dan etika serta merampas hak personel militer untuk menyampaikan pendapat politik.
Menanggapi kritik tersebut, Bar menegaskan bahwa langkah itu bukan bentuk hukuman. Ia menyatakan bahwa mereka yang menyatakan perang dilanjutkan demi kepentingan politik dan merugikan upaya pembebasan sandera, “tidak dapat menjalankan tugas cadangan mereka dengan layak.”
Ia juga menyebut penandatanganan surat tersebut selama masa perang sebagai tindakan yang “tidak sah.” Bar memprediksi kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera dapat segera tercapai.
Sebelumnya, pada 19 Maret, dua personel cadangan—satu dari unit intelijen dan satu dari Angkatan Udara—dipecat setelah menolak ikut serta dalam operasi militer ke Gaza pasca dimulainya kembali serangan. Salah satu dari mereka menyebut para menteri pemerintah dan Netanyahu sebagai “pengkhianat kotor,” menurut laporan media.
Militer Israel kembali melancarkan serangan ke Gaza pada 18 Maret lalu, yang telah menewaskan hampir 1.500 orang dan melukai sekitar 3.700 lainnya, serta menggagalkan perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang sebelumnya disepakati pada Januari.
Perdana Menteri Netanyahu pekan lalu kembali menyatakan niatnya untuk meningkatkan serangan ke Gaza. Hal ini dilakukan di tengah upaya mengimplementasikan rencana Presiden AS Donald Trump untuk memindahkan warga Palestina dari wilayah tersebut.
Sejak dimulainya serangan pada Oktober 2023, lebih dari 50.800 warga Palestina dilaporkan tewas, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak.
Pada November tahun lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya, Yoav Gallant, atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait operasinya di Jalur Gaza.