Israel, pada Selasa (02/12), mengumumkan bahwa pihaknya menerima bagian dari sisa jasad salah seorang tawanan yang masih tersisa di Jalur Gaza.
Sisa jasad tersebut segera dikirim ke institut forensik dekat Tel Aviv untuk dilakukan identifikasi.
Dalam pernyataan yang dirilis kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, disebutkan bahwa aparat Israel sedang mempersiapkan proses penerimaan sampel melalui Palang Merah.
Sampel tersebut telah dipindahkan dari Jalur Gaza, sebelum kemudian diperiksa di lembaga forensik nasional.
Sebelumnya pada hari yang sama, Hamas menyatakan akan menyerahkan sisa jasad salah satu dari dua tawanan terakhir yang masih mereka tahan di Gaza.
Pemerintah Israel menyebut tengah “menunggu hasilnya.”
Kedua tawanan yang telah meninggal itu adalah perwira polisi Israel, Ran Gvili, serta warga negara Thailand, Sudthisak Rinthalak, yang ditawan Hamas pada peristiwa Operation Al-Aqsa Flood pada 7 Oktober 2023.
Namun seorang pimpinan Hamas menegaskan bahwa “tidak ada konfirmasi” bahwa sampel yang ditemukan benar-benar milik salah satu dari dua tawanan tersebut.
Menurutnya, tim dari Brigade Al-Qassam, dibantu kelompok Saraya Al-Quds dan didampingi tim Palang Merah, melakukan pencarian selama beberapa hari terakhir di sejumlah lokasi, terutama di Jabalia dan Beit Lahiya.
Ia menambahkan bahwa tim menemukan sejumlah jenazah di bawah reruntuhan dan proses pemeriksaan masih berlangsung.
“Belum ada kepastian bahwa salah satu tubuh yang ditemukan adalah milik tawanan Israel,” ujarnya, sambil meminta agar identitasnya tidak dipublikasikan.
Israel menetapkan bahwa pembukaan tahap kedua perundingan gencatan senjata hanya akan dilakukan setelah seluruh jasad para tawanan diserahkan.
Sebagai imbalan untuk setiap jasad tawanan, Israel melepaskan 15 jenazah warga Palestina yang tewas dalam serangan di Gaza dan ditahan oleh pihak Israel.
Laporan menunjukkan bahwa sebagian besar jenazah warga Palestina yang dikembalikan menunjukkan tanda-tanda penyiksaan berat, selain kelaparan, pengabaian medis, dan dalam beberapa kasus, kematian akibat cekikan.
Pemerintah Gaza juga mencatat sekitar 9.500 warga Palestina hilang yang diyakini tewas akibat serangan Israel, namun jasad mereka masih tertimbun reruntuhan akibat perang yang disebut otoritas Gaza sebagai “Hiroshima modern” di abad ini.
Selain itu, lebih dari 10.000 warga Palestina masih mendekam di penjara-penjara Israel—termasuk anak-anak dan perempuan—yang menurut lembaga HAM mengalami penyiksaan, kelaparan, serta perawatan medis yang sangat minim. Banyak dari mereka yang kemudian meninggal.
Dalam insiden lain, sebuah serangan udara Israel menewaskan seorang pria Palestina yang telah diidentifikasi otoritas kesehatan lokal sebagai jurnalis independen Mahmoud Wadi, di Khan Younis, Gaza bagian selatan.
Seorang jurnalis Palestina lainnya juga dilaporkan terluka dalam serangan yang sama.
Serangan tersebut terjadi meskipun perjanjian gencatan senjata telah berlaku sejak 10 Oktober tahun lalu.
Berdasarkan perjanjian itu, militer Israel menarik ulang posisi pasukannya ke belakang “garis kuning,” yang memberikan Israel kendali lebih dari separuh wilayah Gaza.
Namun dalam praktiknya, gencatan senjata ini hampir setiap hari dilanggar oleh serangan-serangan Israel ke berbagai wilayah di Gaza.
Warga sipil yang tersisa di Gaza menghadapi krisis kemanusiaan yang sangat berat akibat kehancuran infrastruktur dan blokade yang terus berlangsung.
Upaya distribusi bantuan pun tersendat karena akses yang terbatas dan situasi keamanan yang tidak stabil.
Lebih dari dua tahun sejak dimulainya ofensif besar Israel di Gaza, dampaknya menjadi salah satu bencana kemanusiaan terbesar di abad ini.
Perang tersebut telah menewaskan lebih dari 70.000 warga Palestina, melukai sekitar 171.000 orang, yang sebagian besar merupakan perempuan dan anak-anak.
Kerusakan fisik yang ditimbulkan sangat luas. PBB memperkirakan biaya rekonstruksi Gaza mencapai 70 miliar dolar AS.
Angka yang mencerminkan skala kehancuran yang luar biasa dari serangan udara, darat, dan artileri yang dilancarkan Israel.


