Oleh: Pizaro Gozali Idrus
Haji Agus Salim merupakan tokoh kenamaan dalam sejarah diplomasi Indonesia yang berjuang untuk melawan penjajahan global.
Cendekiawan Muslim kelahiran Koto Gadang, Sumatera Barat, pada 8 Oktober 1884 adalah pendiri bangsa yang sangat kritis merespons kepongahan Barat terhadap umat Islam di mancanegara, termasuk Palestina.
Bahkan jika kita tengok sejarah, pejuang kemerdekaan asal Minang tersebut bahkan telah mengadvokasi Palestina dalam pikiran-pikirannya jauh sebelum Indonesia merdeka.
Dalam tulisannya “Soal Yahudi dan Palestina” pada 1939, Pahlawan Nasional Indonesia itu menyoroti upaya mobilisasi bangsa Yahudi untuk mencaplok tanah Palestina.
Agus Salim, yang kelak menjadi Menteri Luar Negeri pada periode 1947-1949, menegaskan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, menjadi otak di balik gerakan tersebut.
Hal ini terjadi sangat massif paska Deklarasi Balfour yang memberi kesempatan warga Yahudi mencuri Tanah Palestina. Seperti diketahui, pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur James Balfour, mengeluarkan Deklarasi Balfour yang isinya adalah “Pemerintah Britania Raya melihat dengan simpati pendirian tanah air nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina”.
Deklarasi ini ditujukan kepada tokoh Yahudi Inggris, Lord Lionel Walter Rothschild, yang juga merupakan pendukung kuat gerakan Zionisme. Substansi dari Deklarasi Balfour adalah memberikan dukungan dari Pemerintah Britania Raya terhadap pendirian tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina. Deklarasi ini menciptakan legitimasi politik bagi gerakan Zionis yang berupaya untuk mendirikan negara Israel di tanah Palestina.
Agus Salim lalu dengan sangat detail mengungkapkan bagaimana taktik gerakan Yahudi internasional untuk memuluskan rencana Zionisme untuk menggusur bangsa Palestina dan menciptakan legitimasi demografinya di Baitul Maqdis.
Awalnya, kata Agus Salim, warga Yahudi berkebangsaan Amerika menyuntikkan modal USD 50 juta untuk membangun segala proyek di tanah jajahan agar pemukim illegal Yahudi bisa berkembang.
Saat itu, kata Agus Salim, bangsa Arab umumnya masih hidup dengan cara Badui yang berpindah-pindah tempat dari musim ke musim, mengikutI hajat hewan ternak mencari makan.
“Untuk perusahaan kemodalan baru itu, perusahaan tanah dan kerajinan, beratus ribu didatangkan Yahudi dari berbagai negeri. Di masa permulaan itu terutama dari Rusia, yang memang banyak pelarian politiknya disebabkan oleh berdirinya kerajaan Bolsyewik. Demikianlah berjuta-juta uang luar negeri terutama modal Yahudi masuk dan beratus ribu orang Yahudi, diatur oleh organisasi internasional daripada bangsa itu,” tulis Agus Salim. (Lihat Agus Salim, Soal Yahudi dan Palestina, Pandji Islam, 9 Januari 1939).
Imbasnya, kata Agus Salim, bangsa Arab, yang sudah berada 14 abad bermukim di Palestina
terdesak dan terhina oleh bangsa Yahudi, yang datang dengan perilaku dan gaya sebagai tuan tanah, hendak menguasai negeri.
“Tidak suka mereka dipersamakan dengan bangsa Arab, rakyat yang asli, mengadakan bersama pemerintah atas asas demokrasi. Melainkan mereka menghendaki tujuan pergerakan Zion, kerajaan Yahudi belaka dan merdeka, yang menurut keyakinan agama mereka itulah yang telah menjadi perjanjian Tuhan kepada Bani Israel. Berlawanan dengan keyakinan agama Islam dan agama Nasrani pun juga, bahwa Tuhan dengan kekuasaannya telah mengeluarkan bangsa Yahudi dari tanah suci itu bertebar di seluruh muka bumi. Demikianlah Perjanjian Balfour itu seolah-olah hendak menyalahkan firman Allah yang menjadi keyakinan umat Islam,” tulis Agus Salim.
Merespons massifnya gerakan Yahudi, bangsa Arab di Palestina tidak berdiam diri. Saat itu bangsa Arab di Palestina bahu-membahu mempertahankan hak bangsanya dan keyakinan Islam tentang Palestina serta Bait-al-maqdis. Menurut Agus Salim, walau mereka harus berhadapan dengan kekuatan global, bangsa Palestina memiliki keyakinan kuat atas legitimasi tanah airnya.
“Sudah bertahun-tahun bangsa yang “segenggam” saja orangnya dan sangat berkekurangan kelengkapannya, tetapi kuat karena keyakinannya dan kesucian cita-citanya menentang kekuasaan Inggris,” terang Agus Salim.
Akibatnya peperangan antara Bangsa Palestina yang berusaha mempertahan diri dengan Yahudi yang mencoba melakukan agresi. Banyak kaum Muslimin berguguran. Orangtua, anak muda, para perempuan, dan lain sebagainya. Bagi Haji Agus Salim, mereka semua adalah syuhada.
“Tidak sunyi berita pertempurannya tiap-tiap hari. Sudah beribu orang menjadi korban, menjadi syahid mati terbunuh di dalam jihadnya atau kena bom udara atau tembak balasan Inggris sedang di ladang atau di kampungnya, tidak dalam peperangan. Beribu-ribu pula orangnya, orang tua, perempuan dan anak-anak; beratus-ratus janda dan yatim, hidup sengsara di dalam negeri yang menderitakan bencana perang bertahun-tahun itu,” tulis Agus Salim.
Saat itu, Agus Salim pun menyerukan bantuan dari umat Islam untuk menolong saudaranya di Palestina dan memperjuangkan hak warga Palestina dan Baitul Maqdis. Umat Islam tidak boleh hanya menjadi penonton dari arogasi yang dilakukan Yahudi. Sebab organisasi internasional juga menggalang bantuan demi mengulurkan tangan terhadap kelompok Yahudi.
“Sedunia orang mengatur-menyusun organisasi untuk menolong Yahudi, yang kena bencana dan aniaya dengan tidak salahnya. Memang begitu kehendak kemanusiaan. Tetapi sebaliknya harus pula sedikitnya umat Islam menyusun organisasi menyokong hak bangsa Arab dan hak umat Islam di Palestina dan Bait-al-Maqdis, dan menolong kaum yang sengsara di negeri itu,” terang Agus Salim.