Setelah bertemu dengan Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS), Mike Walsh dan Utusan Khusus untuk Timur Tengah Steve Witkoff, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bertemu dengan Presiden Donald Trump di Gedung Putih dalam pertemuan yang menentukan.
Para pengamat Israel menganggap ini sebagai pertemuan terpenting antara pemimpin Israel dengan presiden AS selama beberapa dekade, karena sensitifitas isu yang dibahas di dalamnya, mulai dari masa depan Gaza dan Hamas hingga normalisasi dengan Arab Saudi dan Iran.
Kantor Netanyahu menyatakan bahwa pertemuannya dengan Witkoff dan Mike Walsh berlangsung “positif dan bersahabat”. Selanjutnya delegasi Israel akan berangkat ke Doha akhir pekan ini untuk membahas detail teknis terkait penyelesaian kesepakatan.
Pernyataan kantor Netanyahu juga menyebutkan bahwa setelah kembali ke negara tersebut pada Sabtu malam, akan diadakan pertemuan kabinet politik-keamanan untuk membahas posisi Israel dalam kesepakatan tahap kedua, yang akan menentukan kerangka negosiasi masa depan.
Menurut bocoran media, kesepakatan tahap kedua akan berbeda dari negosiasi tahap pertama yang melibatkan pengiriman tim Israel ke Doha dan Kairo. Namun, delegasi akan tetap dikirim ke Doha dalam beberapa hari.
Negosiasi tahap kedua akan bergantung terutama pada kunjungan Witkoff ke Tel Aviv, Doha, dan Kairo.
Nasib Hamas di Jalur Gaza adalah salah satu pertanyaan utama yang diajukan menjelang dimulainya pembicaraan kesepakatan kedua. Pertanyaan tentang masa depan Gaza akan dibahas dalam pertemuan Netanyahu-Trump, dan kemungkinan jawabannya akan tercermin dalam kesepakatan politik yang lebih besar, termasuk normalisasi dengan Arab Saudi.
Empat Opsi
Menurut surat kabar Yedioth Ahronoth seperti diolah Al Quds Arabi, ada empat model yang memungkinkan untuk mengendalikan Gaza di “hari berikutnya”. Masing-masing memiliki karakteristik atau implikasi kompleks bagi Israel dan penduduk Gaza, yaitu: kemungkinan Hamas tetap berkuasa, meskipun ini tampaknya kurang mungkin menurut pandangan Israel.
Kemungkinan kedua menyatakan bahwa jika Hamas tetap berkuasa di Gaza, akan sulit untuk merekonstruksinya, karena pembangunan kembali membutuhkan waktu bertahun-tahun kerja dan bantuan asing.
Surat kabar Ibrani tersebut melanjutkan: “Dalam beberapa bulan terakhir, Hamas telah melakukan diskusi tentang komite sipil untuk mengelola Gaza yang dipimpin oleh teknokrat Palestina bersama dengan Otoritas Palestina. Namun, Hamas menolak untuk membubarkan sayap militernya dan mencoba meniru model Hizbullah di Lebanon di jalur Gaza, yang ditentang oleh Otoritas Palestina.”
Media Ibrani itu mengatakan bahwa kemungkinan Hamas tetap berkuasa bertentangan dengan tujuan perang yang dideklarasikan oleh Israel dan mengancam masa depan koalisi Netanyahu jika ia memutuskan untuk tidak menggunakan “jaring pengaman” milik oposisi.
Patut dicatat bahwa tentara pendudukan harus mundur dari poros Netzarim pada hari ke-22 setelah penandatanganan kesepakatan, yakni setelah beberapa hari, dan mundur dari poros Salahuddin (Philadelphia) pada hari ke-42, hari terakhir tahap pertama, dengan penarikan tersebut selesai dalam waktu delapan hari.
Sebaliknya, pembebasan sandera dan kemajuan menuju tahap kedua bergantung pada penarikan tersebut, yang sangat membebani keinginan Smotrich.
Oleh karena itu, kemungkinan ketiga menyatakan bahwa Israel tidak akan melanjutkan ke tahap kedua dan akan memulai kembali perang lagi hingga pendudukan penuh jalur Gaza, serta membangun pemerintahan militer untuk mengelola wilayah tersebut dan urusan sipilnya.
Menurut surat kabar Ibrani itu, pendudukan semacam itu akan membahayakan upaya Netanyahu menuju normalisasi dengan Arab Saudi, dan tampaknya akan membutuhkan dukungan Trump, yang meminta diakhirinya perang dan pembebasan semua sandera.
Otoritas Palestina
Kemungkinan keempat adalah melibatkan kembalinya Otoritas Palestina ke Gaza, yang dianggap sebagai satu-satunya alternatif untuk Hamas, tetapi tidak dapat diterima oleh Israel.
Surat kabar itu mencatat bahwa Netanyahu selalu berusaha menjauhkan diri dari pemerintahan Palestina di Gaza dan mengklaim bahwa pengelolaan perlintasan Rafah dilakukan oleh warga Palestina yang tidak berafiliasi dengan Otoritas Palestina, bertentangan dengan apa yang diungkapkan New York Times bahwa mereka sebenarnya berafiliasi dengannya.
Patut dicatat bahwa pihak pendudukan telah mencoba membentuk otoritas lokal di Gaza selama perang tetapi gagal.
Surat kabar Ibrani melihat bahwa pengelolaan penyeberangan Rafah oleh pihak-pihak yang berafiliasi dengan Otoritas Palestina menimbulkan spekulasi bahwa Netanyahu, di bawah tekanan Trump dan pemimpin Arab, mungkin bergerak untuk mengizinkan staf Presiden Abbas memainkan peran besar dalam mengelola wilayah tersebut, bekerja sama dengan badan atau kontraktor Internasional.
Patut dicatat beberapa bulan terakhir telah diselesaikan usulan dan ambisi Israel untuk mendatangkan pasukan internasional ke Gaza untuk mengelola urusannya dan melakukan tugas-tugas administratif, dan mungkin pasukan Arab juga akan berpartisipasi dalam mengelola wilayah tersebut jika Otoritas Palestina menyetujuinya.
Trump akan Terus Dikte Langkahnya
Analis militer di surat kabar Haaretz, Amos Harel, setuju dengan perkiraan banyak analis lokal bahwa pertemuan Netanyahu-Trump pada Selasa malam sangat menentukan, bahkan ia mengatakan ini adalah yang terpenting dari semua pertemuan puncak AS-Israel dalam beberapa dekade.
Sejalan dengan kemungkinan yang disebutkan, Harel memperkirakan bahwa Trump, sesuai dengan pernyataannya, tertarik untuk menyelesaikan kesepakatan dan mengakhiri perang serta mendorong kesepakatan besar antara AS dan Arab Saudi yang mencakup perjanjian normalisasi.
Harel menunjukkan niat Netanyahu untuk mengubah tim negosiasi untuk mengendalikan tempo dan isi negosiasi tahap kedua dan mendorong tujuan politik ke garis depan: masa depan Gaza dan “Hamas”.
“Jika Netanyahu bekerja untuk mencapai tahap kedua atau memelihara koalisi, Trump akan terus mendikte langkahnya”, tambahnya.
Perlu dicatat bahwa Trump, meskipun pernyataan terakhirnya bahwa ia tidak yakin tentang kemungkinan gencatan senjata berlanjut, ia menginginkan Hamas mundur dari garis depan seperti yang diinginkan Israel, tetapi banyak indikator mengatakan bahwa ia tidak tertarik untuk melanjutkan perang, dan mungkin melihat perlunya mencoba menekan Hamas dengan pengepungan dan menghubungkan rekonstruksi dengan pengunduran dirinya.
Yang Terlihat dan Tersembunyi dari Pertemuan
Dalam konteks ini, mantan Perdana Menteri Kependudukan, Ehud Barak, mengajak warga Israel, dalam artikel yang diterbitkan Haaretz hari Selasa ini, untuk mendukung kesepakatan dengan Arab Saudi, seolah-olah tidak ada upaya kudeta politik dan peradilan di Israel.
Untuk melawan kudeta ini seolah-olah kesepakatan itu tidak ada. Barak menegaskan bahwa Trump tidak dapat diprediksi, dan ini adalah bagian dari kekuatannya yang menyiratkan bahwa pemikiran orang Israel dalam dua minggu akan berbeda dari sekarang.
“Sekarang perayaan Amerika untuk menyambut Netanyahu akan tampak besar, sampulnya dan penampilannya ramah dan bersahabat, tetapi isinya di dalam ruang tertutup akan jelas dan tegas. Selain kunjungan Witkoff yang memaksa Netanyahu untuk menerapkan perjanjian (perjanjian yang sama dari bulan Mei yang dihindari Netanyahu dengan harga kematian sandera dan tentara),” imbuhnya.
Barak yakin bahwa Trump akan menuntut Netanyahu untuk menyelesaikan kesepakatan tersebut, bahwa tidak mungkin melanjutkan perang dengan skala penuh di Gaza, dan bahwa kemudian pasukan Arab akan dikerahkan, dengan persetujuan dan kerja sama Otoritas Palestina, dukungan Liga Arab, Amerika Serikat dan Dewan Keamanan.
“Dengan demikian, alternatif untuk Hamas secara bertahap sedang diproduksi. Adapun isu deportasi warga Gaza akan menguap dengan cepat, dan tidak akan ada persetujuan untuk aneksasi di Gaza atau di Tepi Barat, sementara Israel akan mendapatkan peralatan dan ancaman akan diarahkan ke Iran, tetapi Trump kemudian akan mencari kesepakatan nuklir yang lebih baik dari kesepakatan sebelumnya dengan Iran,” tambah Barak.
Perlu dicatat bahwa editor Haaretz, Aluf Benn, percaya bahwa Netanyahu akan bergerak menuju normalisasi, dan menyadari bahwa koalisinya akan runtuh. Karena itu ia akan meluncurkan kampanye pemilihannya dari Washington bersama Trump, dengan mengangkat slogan penerapan ide transfer. (Ali Muhtadin)