Sikap menahan diri yang ditunjukkan Hizbullah di tengah memanasnya konflik antara Iran dan Israel mencerminkan perubahan signifikan dalam keseimbangan kekuatan di kawasan.
Hizbullah, yang selama ini dikenal sebagai sekutu paling loyal dan responsif terhadap Iran, memilih tidak melakukan serangan balik meski mengalami kehilangan besar, termasuk terbunuhnya pemimpin mereka dan rusaknya infrastruktur militer dalam 18 bulan terakhir. Langkah ini dinilai sebagai bentuk penyesuaian strategi yang lebih didorong oleh pertimbangan politik dibanding ideologi, lansir The New Arab.
Setelah bertahun-tahun diwarnai ancaman dan konflik proksi, ketegangan antara Iran dan Israel kini meningkat tajam. Pada Jumat dini hari, Israel melancarkan serangan yang disebut sebagai “serangan pre-emptive” dengan target fasilitas nuklir Iran serta sejumlah pejabat tinggi yang terkait dengan program tersebut.
Iran, yang selama ini mengandalkan sekutu regional dan kelompok proksinya untuk membalas serangan Israel, kini menjadi sasaran dari serangkaian serangan langsung yang belum pernah terjadi sebelumnya, hingga ke wilayah teritorialnya yang paling dalam.
Hizbullah tahan diri, negara ambil alih
Di tengah saling serang rudal antara Israel dan Iran, perhatian tertuju pada sekutu utama Teheran, yaitu Hizbullah. Namun, dengan Pemerintah Lebanon yang kini mengontrol wilayah selatan, seorang pejabat Hizbullah mengatakan kepada Reuters bahwa kelompok tersebut tidak akan melakukan serangan sepihak terhadap Israel.
Purnawirawan Brigadir Jenderal Yaareb Sakher mengatakan kepada The New Arab bahwa sikap Hizbullah merupakan bentuk pragmatisme strategis.
“Jika Hizbullah ikut campur, maka Lebanon akan terseret ke dalam perang besar,” ujarnya, sambil mengingatkan bahwa Israel telah menyatakan tidak ada sasaran di Lebanon yang akan dikecualikan.
Menurutnya, Hizbullah saat ini lebih mempertimbangkan posisi politik yang telah mereka bangun melalui jabatan menteri dan kontrol administratif di pemerintahan.
“Jika Hizbullah memulai perang lagi dengan Israel sekarang, dukungan publik dan politik di Lebanon akan runtuh,” katanya.
“Negara kemungkinan besar akan mengambil langkah untuk melucuti senjata Hizbullah, bahkan sebelum menyentuh senjata milik kelompok Palestina.”
Dampak kesepakatan gencatan senjata
Konflik antara Iran dan Israel memuncak sejak serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober. Dalam lebih dari satu tahun terakhir, poros “Perlawanan” yang dipimpin Iran mengalami serangkaian kemunduran serius, terutama Hizbullah.
Menjelang kesepakatan gencatan senjata pada Januari lalu, Israel disebut telah membunuh Sekjen Hizbullah Hassan Nasrallah serta sejumlah pejabat tinggi lainnya. Serangan juga menyasar pangkalan militer al-Bijar dan menghancurkan infrastruktur militer Hizbullah di Lebanon selatan.
Sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata, Hizbullah menyerahkan posisi militer dan gudang senjata mereka di selatan Sungai Litani kepada Angkatan Darat Lebanon. Menurut UNIFIL, sekitar 500 depot senjata telah diserahkan.
Analis politik Mohammad Hamiyeh menyatakan bahwa sikap Hizbullah telah mengalami perubahan signifikan sejak kesepakatan tersebut.
“Kita sedang menyaksikan fase baru,” katanya. “Negara Lebanon kembali memainkan peran sentral, dan Hizbullah kini beroperasi di bawah payung negara.”
Hamiyeh merujuk pada komitmen Hizbullah terhadap Resolusi DK PBB 1701, yang menurut laporan Angkatan Darat Lebanon dan UNIFIL, telah dilaksanakan dengan menyerahkan 90 persen senjata mereka di selatan Litani.
Ia juga menyebutkan bahwa Hizbullah tengah mengevaluasi kembali peran regionalnya, terutama setelah melemahnya dukungan strategis dari Suriah, sekutu logistik utama yang kini mengalami keruntuhan rezim.
“Hizbullah sedang melakukan penyesuaian besar dalam pendekatan politik dan militernya, baik di dalam negeri maupun di tingkat regional,” ujarnya.
Strategi bertahan dan kekecewaan pendukung
Meskipun belum secara resmi menyatakan pelucutan senjata, Hizbullah kini lebih banyak memosisikan diri sebagai mitra pertahanan nasional yang tunduk pada kerangka negara Lebanon, dan berhati-hati untuk tidak terlibat langsung dalam konflik regional yang lebih luas.
Hamiyeh menambahkan, bahkan ketika Israel melanggar kesepakatan gencatan senjata melalui serangan udara di Beirut selatan dan melakukan pembunuhan pejabat tinggi, Hizbullah tetap tidak membalas. “Kalau saat itu mereka tidak bertindak, sekarang pun mereka tidak akan bereaksi atas serangan terhadap Iran,” katanya.
Sementara itu, peneliti politik Alain Sarkis mengatakan bahwa Israel memang sejak awal menargetkan sekutu-sekutu Iran, mulai dari Hamas, Hizbullah, hingga Houthi, sebelum akhirnya menyerang langsung ke pusat pemerintahan di Teheran.
Ia menegaskan bahwa jika Hizbullah akhirnya memutuskan untuk ikut serta dalam konflik ini, maka Lebanon akan terseret ke dalam perang besar yang menurutnya negara itu “sangat tidak siap” untuk hadapi.
Sarkis juga mengungkapkan adanya pesan dari sejumlah negara Eropa dan Washington ke Beirut yang memperingatkan bahwa jika Hizbullah terlibat, maka akan ada “operasi darat dan udara besar-besaran” yang bisa berujung pada invasi Israel ke Beirut bahkan ke Lembah Bekaa.
Peralihan ke jalur diplomatik
Di sisi lain, analis politik Georges Akouri menilai serangan Israel ke Iran adalah dampak logis dari meningkatnya ketegangan dan kegagalan diplomasi antara Teheran dan Washington.
Menurutnya, setelah jaringan regional Iran dinetralisasi, khususnya Hizbullah, maka serangan langsung ke Iran hanya tinggal menunggu waktu.
Akouri menilai bahwa Hizbullah tidak membalas serangan bukan karena perhitungan politik, tapi karena “ketidakmampuan”.
“Peran Hizbullah sebagai aktor militer regional secara de facto sudah berakhir. Retorika mereka selama ini ternyata hanya slogan kosong,” katanya. “Dulu mereka bersumpah akan menyerang Tel Aviv jika Beirut diserang, nyatanya tidak terjadi apa-apa.”
Ia menyinggung pernyataan Nasrallah yang dulu menolak mundur ke utara Sungai Litani, namun kini justru secara sukarela menyerahkan senjata di wilayah tersebut.
“Kalau ada roket yang ditembakkan dari Lebanon, Hizbullah pasti akan menyangkal keterlibatan dan menyebutnya sebagai aksi sel yang tak dikenal,” lanjutnya. “Iran pun, meski Hizbullah dihantam habis-habisan, tidak memberi dukungan selain ucapan.”
Akouri juga mencatat bahwa satu-satunya respons Hizbullah atas serangan di Beirut hanyalah pernyataan dari anggota parlemen mereka, Hassan Fadlallah, yang meminta negara menyelesaikan konflik melalui jalur diplomasi.
“Di balik retorika yang membakar, kekecewaan di basis pendukung Hizbullah mulai tampak,” ujarnya. “Banyak yang mulai sadar bahwa slogan-slogan yang mereka yakini ternyata rapuh seperti sarang laba-laba.”