Saturday, March 1, 2025
HomeBeritaMasyarakat Gaza rayakan Ramadhan di tengah puing reruntuhan

Masyarakat Gaza rayakan Ramadhan di tengah puing reruntuhan

Saat bulan sabit menandakan datangnya Ramadhan, warga Palestina di Gaza menghadapi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Setelah hampir 16 bulan perang yang tak henti-hentinya, wilayah yang terkepung ini kini berubah menjadi “zona bencana.”

Bulan yang seharusnya dipenuhi dengan kebahagiaan dan spiritualitas kini dibayangi oleh kelaparan, kedinginan, dan kesedihan. Ribuan keluarga terpaksa mengungsi dan hidup di tenda darurat dengan sedikit sekali kebutuhan dasar, setelah serangan udara Israel menghancurkan rumah mereka menjadi puing-puing.

Lebih dari 1,5 juta dari total 2,4 juta penduduk Gaza telah dipaksa mengungsi akibat kehancuran besar-besaran yang ditimbulkan oleh serangan Israel.

Sebelum perang, jalanan Gaza akan dipenuhi dengan suara adzan yang menandai datangnya Ramadan, pasar yang dihiasi dengan lampu meriah, dan anak-anak yang menghafal ayat-ayat Al-Qur’an.

Kini, tradisi tersebut hanya menjadi kenangan. Suara adzan tenggelam oleh tangisan orang-orang yang terluka, dan pasar yang dulunya ramai kini digantikan oleh tumpukan puing.

Ramadan di tengah kehancuran

Meskipun kehancuran yang melanda, warga Palestina di Gaza tetap berusaha mempertahankan tradisi Ramadan mereka. Di antara reruntuhan, lentera-lentera digantung, dan mural warna-warni dilukis di dinding yang hancur, berusaha memberikan secercah harapan di tengah kenyataan yang suram.

“Kami menciptakan kehidupan dari warna,” kata seorang pemuda yang sedang mendekorasi jalanan. “Kami adalah bangsa yang mencintai kehidupan. Kami menyambut Ramadan dengan harapan bahwa bulan ini akan membawa kedamaian dan keamanan.”

Di Khan Younis, Gaza selatan, seorang pria Palestina berdiri di stan menjual Qatayef, kue khas Ramadan yang menjadi hidangan wajib di meja Iftar. “Suasana tahun ini adalah yang terberat yang pernah kami alami,” ujarnya. “Tidak ada kegembiraan, tidak ada perayaan. Di tahun-tahun sebelumnya, suara drum menggema di jalan-jalan, dekorasi dihias, dan kebahagiaan memenuhi udara. Namun hari ini, semuanya berbeda.”

“Tahun ini adalah tahun yang paling sulit dalam hidup kami,” tambahnya. “Orang-orang keluar dari bawah puing-puing rumah mereka yang hancur, meratapi orang-orang yang mereka cintai yang hilang. Semua orang sedang dalam keadaan berduka.”

Bangku kosong

Ramadan kali ini di Gaza berbeda dari sebelumnya. Pertemuan keluarga yang biasanya menjadi momen penting selama bulan suci kini dibayangi kesedihan, karena puluhan ribu orang meratapi kehilangan orang-orang yang mereka cintai dalam perang.

Hingga Kamis, Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa jumlah korban tewas telah mencapai 48.365 orang sejak 7 Oktober 2023.

Krisis kemanusiaan yang semakin dalam membuat pemenuhan kebutuhan pangan dan air menjadi hampir mustahil. Bantuan makanan sangat terbatas, dan pasokan yang masuk ke Gaza melalui pedagang dihargai jauh di luar kemampuan banyak keluarga yang telah kehilangan mata pencaharian mereka.

Air bersih menjadi barang langka, menjadikan persiapan makanan sederhana pun menjadi tantangan besar bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa. Banyak yang terpaksa mengandalkan kayu bakar dan kertas untuk memasak, karena fasilitas dapur modern sudah tidak tersedia.

Pada hari Selasa, juru bicara PBB Stephane Dujarric mengakui tantangan besar dalam mengirimkan bantuan ke Gaza. Ia menyebutkan dalam konferensi pers mengenai kematian enam bayi yang disebabkan oleh pembatasan bantuan kemanusiaan meskipun ada gencatan senjata yang diumumkan.

Dujarric merujuk pada pernyataan Kementerian Kesehatan Gaza, yang mengungkapkan bahwa enam bayi meninggal akibat terpapar suhu dingin yang ekstrem, menjadikan total anak yang meninggal akibat musim dingin keras mencapai 15 orang.

Kota yang hancur

Setiap bagian Gaza menceritakan kisah kehancuran. Permukiman yang dulu ramai kini telah hancur, dengan warganya yang tewas, mengungsi, atau berjuang untuk bertahan hidup. Namun, meski segala sesuatu telah hancur, warga Palestina tetap bertekad untuk menjalankan ibadah Ramadan. Shalat Tarawih akan tetap dilaksanakan di antara reruntuhan, dan doa akan terus dikumandangkan dari sisa-sisa masjid yang hancur.

Minggu lalu, Kementerian Urusan Keagamaan Gaza mengumumkan bahwa 1.109 dari 1.244 masjid di Gaza telah hancur atau rusak parah selama perang.

“Lebih dari dua juta orang menghadapi kekurangan pangan yang sangat parah. Harga-harga telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, membuat bertahan hidup sehari-hari semakin sulit,” kata Ismail Al-Thawabta, Direktur Jenderal Kantor Media Pemerintah Gaza.

“Puluhan ribu orang yang mengungsi tinggal di kamp-kamp yang kekurangan bahkan kebutuhan dasar sekalipun,” tambahnya.

Sebuah perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan telah diberlakukan sejak bulan lalu, yang menghentikan sementara perang Israel yang telah menghancurkan Gaza dan merenggut lebih dari 48.360 nyawa, sebagian besar korban adalah wanita dan anak-anak.

Pada bulan November, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

Israel juga tengah menghadapi kasus genosida di Pengadilan Internasional (ICJ) atas tindakan militernya di wilayah tersebut.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular