Sejumlah media internasional menyoroti krisis kemanusiaan yang terus memburuk di Jalur Gaza akibat blokade dan agresi militer Israel, serta memperlihatkan praktik yang disebut sebagai bentuk nyata dari sistem apartheid di Tepi Barat.
Laporan-laporan tersebut menggambarkan penderitaan warga sipil Palestina, mulai dari kelangkaan pangan, kehancuran sistem kesehatan, hingga pembatasan ruang hidup yang ekstrem di bawah pendudukan.
Surat kabar Financial Times dalam laporan terbarunya menyebut bahwa krisis pangan di Gaza semakin parah, dipicu oleh blokade yang ketat dan serangan militer yang berkelanjutan.
Media ekonomi asal Inggris itu mengungkapkan bahwa banyak petani dan nelayan telah menjadi korban serangan Israel, yang turut menghancurkan ladang pertanian dan membunuh hewan ternak, 2 sumber utama pangan masyarakat Gaza.
Dalam kondisi yang semakin genting, laporan itu menyebut sebagian warga terpaksa bertahan hidup dengan memakan dedaunan dan bahkan hewan liar seperti kura-kura.
Lonjakan harga bahan pangan juga mempersulit akses masyarakat miskin terhadap kebutuhan dasar mereka.
Sementara itu, The Guardian menyoroti nasib bayi-bayi dan para ibu di Gaza. Dalam sebuah laporan investigatif, media Inggris itu mengangkat kisah Souwar ‘Ashur, bayi perempuan berusia enam bulan yang mengalami kondisi gizi buruk parah, penyakit, dan kekurangan obat-obatan.
Menurut ibunya, penderitaan Souwar sudah dimulai bahkan sebelum ia lahir, karena sang ibu menghadapi kehamilan yang sarat stres, penyakit, dan pengungsian berulang kali akibat perang.
The Guardian menegaskan bahwa kasus Souwar bukanlah satu-satunya. Ribuan bayi Gaza lahir dalam kondisi krisis total, tanpa jaminan makanan, air bersih, maupun layanan kesehatan yang layak.
Dalam sebuah tajuk rencana yang tajam, harian Israel Haaretz menyoroti kebijakan militer Israel di wilayah pendudukan Tepi Barat.
Dengan tegas, surat kabar itu menyebut bahwa praktik apartheid dapat terlihat secara gamblang di desa Kifl Haris.
Dalam kunjungan religius warga pemukim Yahudi, tentara Israel disebut melarang warga Palestina keluar rumah bahkan hanya untuk mengintip melalui jendela.
Selain pembatasan fisik, laporan itu juga menyebut adanya tindakan perusakan terhadap properti warga Palestina yang kerap terjadi selama kunjungan pemukim, serta penutupan jalan yang secara eksklusif disediakan bagi warga Yahudi.
Situasi ini, menurut Haaretz, menunjukkan bahwa sistem diskriminatif telah menjadi bagian dari kebijakan yang dilembagakan di lapangan.
Koordinasi berlanjut
Di ranah diplomatik, Le Figaro asal Prancis melaporkan bahwa Israel mencoba menghalangi langkah Paris yang hendak mengakui negara Palestina.
Menurut laporan itu, Israel mengancam akan mempercepat pembangunan permukiman ilegal sebagai bentuk pembalasan.
Kendati demikian, para diplomat Prancis menyebut bahwa mereka sudah terbiasa dengan bentuk tekanan semacam ini.
Ancaman tersebut belum dianggap sebagai sikap resmi pemerintah Israel. Prancis sendiri dinilai memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap sikap negara-negara lain seperti Inggris dan Kanada terkait isu pengakuan Palestina.
Di sisi lain, Yedioth Ahronoth, media Israel, menurunkan laporan mengenai kunjungan mantan Presiden AS Donald Trump ke kawasan Teluk.
Dalam laporan itu disebutkan bahwa Israel kini merendahkan ekspektasi terhadap hasil kunjungan tersebut, meskipun di balik layar, koordinasi antara kedua negara masih berjalan erat.
Sumber-sumber pemerintah Israel dikutip mengatakan bahwa tidak ada perbedaan pandangan yang signifikan dengan pemerintahan Trump, meski suasana hubungan terlihat dingin di permukaan.