Wednesday, March 5, 2025
HomeAnalisis dan OpiniMeneropong rencana Netanyahu dan Trump dalam sabotase gencatan senjata Gaza

Meneropong rencana Netanyahu dan Trump dalam sabotase gencatan senjata Gaza

Pada masa pemerintahan pertama Donald Trump, Amerika Serikat (AS) menarik diri dari perjanjian nuklir dengan Iran pada tahun 2018.

Hal itu memicu perdebatan, termasuk dari mantan presiden Barack Obama, tentang dampaknya terhadap kredibilitas Washington dalam menepati kesepakatan yang telah dibuatnya.

Menjelang kembalinya Trump ke Gedung Putih, ia menjadi sponsor perjanjian gencatan senjata di Gaza yang terdiri dari tiga tahap, masing-masing berlangsung selama 42 hari.

Tahap pertama dimulai pada 19 Januari 2025, dengan negosiasi tahap kedua dijadwalkan pada 3 Februari 2025. Tahap pertama telah terlaksana, termasuk pertukaran tahanan yang sempat mengalami beberapa kendala.

Sebanyak 1.755 tahanan Palestina dibebaskan sebagai imbalan atas pembebasan 25 tahanan Israel dan 8 jenazah tentara Israel.

Namun, selama tahap pertama, Trump menyatakan bahwa ia akan mendukung keputusan pemerintah Israel terhadap Gaza, apa pun itu—baik melanjutkan kesepakatan, mengubahnya, atau bahkan membatalkannya.

Pernyataan ini memberi lampu hijau bagi Netanyahu, yang sebelumnya telah berjanji kepada sekutunya di koalisi pemerintahan untuk tidak melanjutkan tahap kedua.

Tahap ini mencakup penarikan pasukan Israel dari Koridor Salahuddin (Philadelphi), yang merupakan bagian dari penarikan penuh dari Gaza dan pembebasan sisa tahanan yang masih hidup.

Tahap ini juga dirancang sebagai langkah awal menuju rekonstruksi Gaza dalam tahap ketiga.

Setelah mendapat dukungan dari Trump, Kantor Perdana Menteri Israel pada awal Maret 2025 menyetujui proposal baru dari Amerika Serikat yang berbeda dari kesepakatan sebelumnya.

Usulan ini mengusulkan perpanjangan tahap pertama dalam bentuk gencatan senjata sementara selama bulan Ramadan dan Paskah. Dengan imbalan pembebasan setengah dari tahanan Israel pada hari pertama gencatan senjata.

Namun, usulan ini tidak mencakup negosiasi untuk tahap kedua. Hamas menolak usulan ini. Sebagai tanggapannya, pada 2 Maret 2025, tentara Israel menutup perbatasan Gaza dan menghentikan masuknya bantuan kemanusiaan setelah berakhirnya tahap pertama, yang merupakan pelanggaran nyata terhadap kesepakatan gencatan senjata.

Dukungan Trump

Persetujuan Netanyahu terhadap kesepakatan gencatan senjata awalnya merupakan pencapaian bagi Trump dalam masa awal pemerintahannya. Meskipun tampak bahwa Netanyahu terpaksa menerima kesepakatan tersebut, ia kemudian memanfaatkannya untuk keuntungannya sendiri.

Trump memberikan dukungan besar kepada Netanyahu dengan mengusulkan rencana pemindahan paksa penduduk Gaza ke Mesir dan Yordania. Trump juga mengusulkan untuk menjadikan Gaza sebagai wilayah yang dikendalikan AS untuk pengembangan proyek real estat di tepi laut selama 10 hingga 15 tahun.

Rencana ini mengejutkan banyak pihak dan mendapat kecaman dari berbagai ibu kota, baik di dunia Arab maupun Barat.

Netanyahu, yang bingung dalam menentukan kebijakan terhadap Gaza, melihat peluang dalam rencana Trump.

Menteri Pertahanannya, Israel Katz, segera menginstruksikan tentara Israel untuk menyusun rencana yang mendorong warga Gaza meninggalkan wilayah mereka.

Katz bahkan membentuk “Direktorat Migrasi Sukarela”, yang pada kenyataannya bertujuan untuk melakukan pengusiran paksa, bukan migrasi sukarela.

Tentu saja, sulit untuk melaksanakan rencana pemindahan paksa dalam kondisi gencatan senjata. Implementasinya jauh lebih mudah dalam situasi perang dan pertempuran, di mana warga terpaksa mengungsi dari daerah yang dibombardir.

Oleh karena itu, langkah pertama untuk menggagalkan kesepakatan gencatan senjata dilakukan dengan menutup perbatasan dan menghentikan bantuan kemanusiaan.

Menjaga koalisi pemerintahan

Bulan Maret 2025 sangat penting bagi Netanyahu. Pada tanggal 5 Maret, mantan sekretaris militernya, Jenderal Eyal Zamir, akan mengambil alih jabatan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, menggantikan Jenderal Herzi Halevi.

Perubahan ini diharapkan mempererat hubungan antara pemerintah dan militer, setelah terjadi ketegangan antara Netanyahu dan Halevi, serta dengan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant yang dipecat sebelumnya.

Selain itu, Knesset dijadwalkan untuk mengesahkan anggaran negara yang baru, yang memerlukan stabilitas koalisi pemerintahan.

Koalisi Netanyahu telah mengalami guncangan, termasuk pengunduran diri Menteri Keamanan Nasional, Itamar Ben Gvir, dan partainya, “Otzma Yehudit” (Kekuatan Yahudi), karena menolak kesepakatan gencatan senjata.

Sementara itu, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan partainya, “Religius Zionis”, mengaitkan keberlanjutan mereka dalam pemerintahan. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya penarikan pasukan dari Koridor Philadelphi atau pelaksanaan tahap kedua dari kesepakatan gencatan senjata.

Jika Netanyahu berhasil mendapatkan persetujuan anggaran, maka pemerintahannya akan terus berlanjut. Namun, jika ia gagal, maka Knesset dapat dibubarkan dan pemilu baru harus digelar—sesuatu yang ingin dihindari oleh Netanyahu.

Oleh karena itu, menghambat pelaksanaan kesepakatan gencatan senjata adalah langkah strategis untuk menjaga stabilitas koalisi dan mempertahankan kekuasaannya.

Kebingungan di medan perang

Serangan “Thufan Al-Aqsa” mengguncang fondasi doktrin keamanan Israel, termasuk konsep deterrence (pencegahan), peringatan dini, dan kemenangan cepat di wilayah musuh.

Selain itu, serangan ini juga mengakhiri strategi “pertempuran di antara perang”. Israel selama ini mentoleransi keberadaan kelompok perlawanan di sekitarnya. Tetapi, secara berkala menyerang mereka untuk melemahkan dan mencegah mereka memperoleh kemampuan militer yang lebih canggih.

Kini, Tel Aviv mengadopsi pendekatan ofensif yang proaktif, menolak keberadaan kelompok bersenjata di dekat perbatasannya.

Selama pertukaran tahanan dalam tahap pertama gencatan senjata, terbukti bahwa Brigade Al-Qassam, yang sebelumnya diklaim oleh Israel telah hancur dan kehilangan sistem komando serta kontrolnya, masih tetap aktif.

Ratusan pejuangnya terlibat dalam proses penyerahan tahanan, mengenakan seragam lengkap, serta menggunakan kendaraan dan senjata yang mereka rampas dari Israel pada hari serangan “Thufan Al-Aqsa”.

Bahkan, sejumlah komandan Brigade Al-Qassam yang sebelumnya diumumkan telah terbunuh oleh militer Israel dan dinas intelijen Shin Bet (Shabak), seperti Hussein Fayadh (komandan Brigade Beit Hanoun) dan Haitham Al-Hawajri (komandan Brigade Kamp Shati), muncul kembali.

Hal ini menjadi tamparan keras bagi institusi militer dan intelijen Israel, yang akhirnya mengakui bahwa klaim keberhasilan operasi pembunuhan mereka ternyata didasarkan pada informasi intelijen yang tidak akurat.

Momen pertukaran tahanan ini juga membongkar kebohongan Netanyahu tentang “kemenangan mutlak” Israel dan penghancuran Hamas di Gaza.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak ada “hari setelah perang” tanpa keberadaan Hamas. Meskipun Gaza telah dihancurkan total dalam perang selama 15 bulan yang menewaskan sekitar 49.000 warga Palestina.

Oleh karena itu, Netanyahu melihat bahwa melanjutkan kesepakatan gencatan senjata sama saja dengan mengakui kegagalannya mencapai tujuan politiknya dalam perang ini. Sehingga ia memilih untuk menghambat implementasi perjanjian tersebut.

Langkah Netanyahu untuk hindari kesepakatan

Netanyahu mulai secara bertahap menggagalkan gencatan senjata dengan memasang berbagai rintangan yang memprovokasi pihak Palestina.

Ia pertama-tama melarang masuknya rumah-rumah darurat (caravan) ke Gaza dan hanya mengizinkan sejumlah kecil tenda, jauh dari jumlah yang disepakati, yaitu 60.000 tenda. Ia juga membatasi masuknya truk bahan bakar.

Pelanggaran ini memicu Brigade Al-Qassam untuk mengumumkan, melalui juru bicaranya Abu Ubaida, bahwa mereka akan menangguhkan pembebasan gelombang ke-6 tahanan Israel sampai kebutuhan dasar yang telah disepakati, seperti tempat tinggal dan kembalinya warga yang mengungsi ke utara Gaza, dipenuhi.

Para mediator mencoba menyelesaikan krisis ini. Israel merespons dengan meningkatkan jumlah truk bahan bakar dan bantuan, meskipun masih di bawah jumlah yang disepakati.

Namun, Israel kembali menciptakan alasan baru dengan menuntut agar 6 tahanan Israel dibebaskan dalam satu hari, alih-alih 3 tahanan dalam satu minggu dan 3 lainnya di minggu berikutnya.

Sebagai imbalannya, Israel berjanji akan mengizinkan masuknya ratusan caravan dan alat berat untuk rekonstruksi bersama lebih banyak bantuan kemanusiaan.

Hamas pun memenuhi tuntutan tersebut dan membebaskan 6 tahanan. Akan tetapi, Israel kemudian mengklaim bahwa cara pembebasan tahanan mereka “menghina”. Sehingga mereka memutuskan untuk tidak membebaskan 600 tahanan Palestina yang telah dijadwalkan untuk dilepaskan.

Beberapa hari kemudian, Israel akhirnya membebaskan 600 tahanan Palestina setelah menerima jenazah 4 tahanan Israel, tetapi dilakukan tanpa upacara resmi dan jauh dari sorotan media.

Hamas pun merespons dengan melanjutkan kesepakatan, tetapi Israel kembali menciptakan rintangan baru dengan menutup perbatasan, menghentikan masuknya bantuan, dan mengajukan rencana baru untuk memperpanjang gencatan senjata tanpa melanjutkan negosiasi tahap kedua.

Perubahan tim negosiasi

Dalam memoarnya yang diterbitkan pada tahun 2022, Netanyahu memberikan pujian luar biasa kepada Ron Dermer, mantan duta besar Israel untuk Washington dan Menteri Urusan Strategis saat ini.

Sama seperti Netanyahu, Dermer pernah memegang kewarganegaraan AS. Netanyahu menggambarkan Dermer sebagai seseorang dengan pendidikan yang luar biasa, lulusan Universitas Oxford, dan sangat memahami politik AS.

Ia juga menyebut Dermer sebagai orang yang bisa diajak berdiskusi tentang filsafat dan sejarah, serta seseorang yang selalu dapat dipercaya.

Selama tahap pertama gencatan senjata, Netanyahu mengganti tim negosiasi yang sebelumnya dipimpin oleh Kepala Mossad, Dadi Barnea, dan Direktur Shin Bet, Ronen Bar.

Sebagai gantinya, ia menyerahkan kendali negosiasi kepada Ron Dermer. Alasannya, bahwa pembicaraan akan lebih bersifat politis daripada sekadar masalah keamanan.

Perubahan ini mengindikasikan keinginan Netanyahu untuk mengabaikan rekomendasi lembaga-lembaga keamanan, yang mendorong kelanjutan kesepakatan demi membebaskan sisa tahanan Israel, dan lebih memilih untuk menjalankan agendanya sendiri.

Pada Februari 2025, Dermer melakukan perjalanan ke Washington untuk membahas kelanjutan gencatan senjata. Ia bertemu dengan beberapa pejabat AS, termasuk Stephen Witkoff, utusan Presiden Trump.

Hasil dari pertemuan ini adalah usulan Witkoff untuk memperpanjang gencatan senjata di Gaza selama 50 hari tambahan tanpa memasuki tahap kedua negosiasi.

Rencana ini sejalan dengan strategi Netanyahu yang ingin menunda atau bahkan menggagalkan kesepakatan yang ada.

Masa depan negosiasi

Berdasarkan dukungan dari Presiden AS, Donald Trump, Netanyahu mengabaikan sepenuhnya kesepakatan gencatan senjata. Dukungan itu menyatakan bahwa Israel harus mengambil keputusan, dan AS akan mendukung keputusan yang dibuat oleh Israel.

Pada 3 Maret, ia mengumumkan dukungannya terhadap rencana Trump untuk Gaza secara penuh.

Pernyataan ini memicu kecaman dari para mediator, khususnya Kementerian Luar Negeri Mesir dan Qatar, yang dalam pernyataan resminya mengutuk penghentian masuknya bantuan ke Gaza dan menyebutnya sebagai pelanggaran serius terhadap kesepakatan gencatan senjata serta hukum kemanusiaan internasional.

Langkah-langkah yang diambil oleh Netanyahu di Gaza, ditambah dengan operasi militer Israel di kamp pengungsi Jenin, Tulkarm, dan Tubas—yang mengakibatkan pengusiran sekitar 40.000 warga Palestina, penghancuran infrastruktur, serta pendirian pos-pos militer tetap—bertepatan dengan kedatangan 1.600 bom berat seberat satu ton jenis MK-84 dari AS.

Pengiriman ini dilakukan setelah pemerintahan Trump mencabut pembekuan yang sebelumnya diberlakukan pada masa pemerintahan Biden.

Semua indikasi ini menunjukkan bahwa Netanyahu berniat melanjutkan perang guna menciptakan realitas baru, termasuk kemungkinan mengumumkan aneksasi Tepi Barat.

Ia juga berusaha menekan negara-negara Arab menjelang Konferensi Timur-Tengah (KTT) yang akan datang di Kairo untuk menerima rencana yang bertujuan melucuti senjata Hamas dan mengusir para pemimpinnya dari Gaza. Dengan ancaman penerapan rencana Trump sebagai alat tekan.

Di sisi lain, kelompok perlawanan memahami bahwa kartu tahanan Israel adalah satu-satunya alat tawar-menawar utama yang mereka miliki.

Jika mereka membebaskan para tahanan tanpa adanya jaminan penghentian perang dan penarikan pasukan Israel dari Gaza, maka nasib wilayah tersebut akan sepenuhnya berada di tangan Netanyahu dan pemerintahannya.

Oleh karena itu, mereka akan berupaya menggunakan kartu ini untuk meningkatkan tekanan domestik di Israel agar pemerintah Netanyahu mematuhi kesepakatan yang telah disepakati.

Penggunaan bantuan kemanusiaan sebagai senjata bertujuan untuk menekan warga Gaza serta para negosiator dari kelompok perlawanan.

Selain itu, ini juga digunakan sebagai dalih untuk melanjutkan perang demi mencapai tujuan yang gagal dicapai Israel selama fase-fase sebelumnya dalam konflik ini.

Dengan demikian, sikap negara-negara Arab akan memainkan peran kunci dalam menentukan arah krisis ini.

Jika mereka mengambil posisi yang tegas dan jelas dalam menolak rencana Netanyahu, termasuk mempertimbangkan dampaknya terhadap perjanjian damai dengan Mesir dan Yordania, Israel akan menghadapi tantangan besar yang dapat memaksanya untuk mundur.

Namun, jika negara-negara Arab memilih untuk menyesuaikan diri dengan tekanan Israel dan mencari jalan untuk melaksanakan rencana tersebut, maka situasi di Gaza dan Tepi Barat akan menghadapi ancaman eksistensial yang lebih besar dari sekadar kehancuran akibat perang yang telah berlangsung hampir satu setengah tahun.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular