Lebih dari dua tahun sudah Jalur Gaza dilanda perang yang tak kunjung reda. Rangkaian serangan mematikan, genosida yang berlangsung di depan mata dunia, serta kebijakan kelaparan sistematis terus menghantui kehidupan warga sipil.
Pertanyaan yang kini paling mendesak: bagaimana perang ini dapat dihentikan? Apakah perubahan situasi di lapangan dan tekanan internasional akan menghasilkan sebuah kesepakatan sementara yang membuka jalan menuju stabilitas? Ataukah justru dunia akan menyaksikan ledakan baru yang kian memperburuk krisis kemanusiaan?
Dalam konteks itu, Center for Leadership and Diplomacy pada 30 Agustus lalu merilis sebuah kajian terbaru yang disusun peneliti Wael Shadid.
Kajian tersebut menghadirkan analisis mendalam mengenai enam skenario potensial yang bisa menghentikan perang atau setidaknya mengubah jalannya.
Hasilnya, skenario yang dinilai paling dekat dengan realitas adalah gencatan senjata bertahap dengan pengawasan internasional, atau sebuah gencatan singkat yang berpotensi runtuh dengan cepat dan memicu kembali eskalasi.
Kajian ini memang cenderung mengecilkan kemungkinan skenario pemerintahan internasional atau keberlanjutan perang terbuka.
Namun, keduanya tetap dimasukkan sebagai bagian dari spektrum yang mungkin terjadi.
Faktor penentu
Kajian itu menegaskan, arah perang sangat dipengaruhi sedikitnya oleh 12 faktor utama. Tiga di antaranya menempati posisi paling menentukan:
- Pengaruh Amerika Serikat (AS) terhadap Israel, yang dinilai menjadi faktor paling krusial dalam menentukan jalannya perang.
- Stabilitas koalisi pemerintahan di Tel Aviv, serta kemampuannya menghadapi tekanan politik dari dalam negeri maupun luar negeri.
- Orientasi lembaga keamanan Israel, yang harus menyeimbangkan antara keuntungan militer dengan biaya politik.
Selain itu, peran aktor regional —khususnya Qatar dan Mesir— disebut menjadi fondasi utama dalam setiap proses negosiasi maupun pengaturan masa depan Gaza.
Menurut penelitian tersebut, faktor lain yang sangat menentukan keberlangsungan gencatan senjata mencakup arus bantuan kemanusiaan, peta transisi pemerintahan di Gaza, serta tekanan hukum internasional.
Peneliti mengingatkan, setiap kesepakatan rapuh berisiko gagal apabila tidak membawa dampak nyata yang dapat dirasakan warga sipil di Gaza.
Enam skenario penghentian perang
Kajian tersebut memetakan enam kemungkinan jalur yang bisa menghentikan perang di Jalur Gaza.
Dari 6 skenario itu, sebagian dinilai lebih dekat dengan kenyataan, sementara lainnya masih sebatas bayangan.
- Gencatan senjata bertahap dengan pengawasan internasional
Ini dinilai paling realistis. Kesepakatan semacam ini memberi ketenangan sementara di bawah pemantauan pihak ketiga atau lembaga internasional. Dampak langsungnya adalah penurunan jumlah korban, terbukanya jalan bagi rekonstruksi, serta bergesernya perlawanan dari aksi militer ke strategi politik berbasis daya cegah. Namun, kelemahan utamanya adalah kerapuhan kesepakatan. Tanpa peta pemerintahan jelas dan jaminan arus bantuan, perjanjian ini mudah runtuh. - Gencatan senjata jangka pendek
Skenario ini hanya memberi jeda singkat dalam pertempuran, biasanya dibarengi pertukaran sebagian tahanan, tanpa ada bingkai politik yang kokoh. Manfaatnya sebatas jeda kemanusiaan sementara bagi warga Gaza. Akan tetapi, hambatan bantuan, arus pengungsian yang berlanjut, perlawanan yang kembali bangkit, serta terkikisnya kepercayaan antarpihak menjadi risiko nyata. - Penarikan sepihak Israel disertai serangan berkala
Dalam opsi ini, Tel Aviv dapat mengumumkan berakhirnya operasi besar, namun tetap melakukan serangan udara secara rutin. Jumlah korban mungkin menurun dibandingkan perang penuh, tetapi warga sipil tetap hidup dalam tekanan keamanan dan ekonomi yang menyesakkan. - Penghentian pertempuran lewat tekanan internasional
Kemungkinan ini hanya bisa terwujud bila Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menekan Israel secara serius agar menghentikan agresinya. - Pemerintahan transisi sementara di Gaza
Kajian juga membuka opsi adanya pemerintahan sementara di bawah mandat Arab dan internasional. Sebuah pasukan Arab terlatih mengambil alih keamanan dan layanan publik dalam periode terbatas. Namun, skenario ini dinilai sangat kecil kemungkinan terwujud. - Berlanjutnya perang skala penuh
Bila semua opsi sebelumnya gagal, perang terbuka tanpa batas waktu akan tetap berlangsung. Konsekuensinya lebih berat: angka kematian yang kian besar, penderitaan sipil yang dalam, serta gelombang pengungsian baru.
Makna kemanusiaan dan politik
Kajian itu menegaskan bahwa gencatan senjata bertahap adalah opsi paling masuk akal dari sisi kemanusiaan.
Jalan ini memungkinkan berkurangnya korban secara cepat serta membuka ruang bagi rekonstruksi.
Namun, jalur tersebut tetap rapuh jika tidak dibarengi peta pemerintahan yang jelas ataupun jaminan distribusi bantuan kemanusiaan.
Adapun gencatan singkat tak lebih dari sekadar penyelamatan sementara yang justru berisiko memutar kembali lingkaran kekerasan.
Sementara itu, penarikan sepihak oleh Israel hanya menghadirkan “penghentian formalitas” yang meredakan intensitas perang, tetapi tetap meninggalkan warga sipil dalam cengkeraman masalah keamanan dan ekonomi.
Kajian juga menekankan, apabila perang dihentikan melalui putusan internasional atau skema pemerintahan transisi sementara, dampak kemanusiaan yang lebih baik memang bisa dirasakan.
Namun, capaian itu akan tetap bergantung pada tarik-menarik politik dan kompleksitas dinamika internal Palestina sendiri.
Untuk membaca arah perkembangan situasi, penelitian ini mengidentifikasi sejumlah indikator utama:
- Persetujuan resmi pemerintah Israel atas perjanjian gencatan senjata.
- Kejelasan sikap AS, termasuk kemungkinan penghentian pasokan amunisi.
- Pertukaran tahanan yang terverifikasi dalam kurun dua bulan.
- Arus bantuan kemanusiaan harian yang minimal mencapai 500 truk.
- Kesiapan pasukan Arab dengan mandat politik untuk mengelola masa transisi.
- Meningkatnya tekanan publik di Israel yang mendesak penghentian perang.
Jaringan rumit
Peneliti menyimpulkan bahwa tidak ada jalur yang benar-benar terjamin untuk menghentikan perang.
Yang ada hanyalah jaringan rumit dari berbagai kemungkinan: mulai dari gencatan rapuh yang bisa pecah kapan saja, hingga sebuah penyelesaian politik yang lebih permanen namun masih jauh dari jangkauan.
Meski demikian, gencatan senjata bertahap dengan pengawasan internasional tetap dipandang sebagai skenario paling mungkin terwujud.
Alasannya, opsi ini dinilai paling ringan dari sisi korban manusia serta paling realistis dijalankan dalam jangka pendek, meski tetap berisiko gagal jika tanpa solusi politik yang komprehensif dan berkelanjutan.