Setelah melewati sejumlah sidang, Mahkamah Internasional (ICJ) akhirnya mengeluarkan putusan sela pada Jumat (26/1) yang memerintahkan penjajah Israel melakukan tindakan apa pun untuk tidak melakukan genosida di Gaza.
Keputusan yang dibacakan di Den Haag, Belanda itu dikeluarkan menyusul gugatan genosida yang diajukan Afrika Selatan terhadap Israel. Namun demikian, ICJ tetap tidak memerintahkan gencatan senjata segera.
ICJ menyatakan Israel harus segera memastikan pasukannya tidak membunuh warga Palestina maupun menyebabkan cedera fisik dan mental yang serius, menghancurkan kehidupan dan mencegah kelahiran warga Palestina.
Secara lebih detail, putusan ICJ memerintahkan enam tindakan sementara, termasuk mendesak Israel untuk menahan diri dari tindakan yang melanggar Konvensi Genosida.
ICJ juga meminta Israel mencegah hasutan untuk melakukan genosida dan menghukum penghasutnya, serta mengambil langkah cepat dan efektif untuk memastikan penyediaan bantuan kemanusiaan bagi warga sipil di Gaza.
Mahkamah Internasional juga memerintahkan Israel untuk menyimpan bukti-bukti genosida dan menyerahkan laporan terkait semua langkah yang diambil sesuai perintah dalam putusan dalam waktu satu bulan.
Indonesia menyambut putusan sela ICJ dalam kasus dugaan genosida Israel di Jalur Gaza. Indonesia mengatakan, Israel berkewajiban mematuhi putusan tersebut.
Kementerian Luar Negeri RI mengungkapkan Indonesia mengikuti dengan seksama keputusan ICJ dalam kasus dugaan genosida Israel di Gaza.
“Walaupun keputusan ICJ belum memenuhi harapan banyak pihak mengenai pentingnya penghentian aksi militer, keputusan tersebut tetap merupakan perkembangan penting bagi penegakan hukum internasional. Israel berkewajiban mematuhi keputusan (ICJ) tersebut,” kata Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI dalam keterangannya.
Putusan akan turunkan serangan Israel
Ferooze Ali, Pengamat Hubungan Internasional University of Xianmen menegaskan ketika terminologi “plausible genocide” digunakan oleh ICJ, maka penyidikan terkait hal tersebut akan ditegakkan oleh ICJ.
Namun demikian penyelidikan ini akan memakan waktu lama yang mungkin memakan waktu beberapa tahun dari sekarang.
“Meski begitu ICJ juga telah menegaskan 6 langkah operasional yang harus diikuti oleh Israel terkait perang,” ujar Pengajar Politik Internasional University of Xiamen, China, Ferooze Ali kepada Gazamedia.net pada Sabtu (2/2).
Ferooze optimistis keputusan ICJ akan sedikit mengurangi intensitas aktivitas Israel di Gaza, tapi tidak secara keseluruhan.
“Kita masih tetap akan terus menerima berita kematian di Gaza,” ujar Ferooze.
Menurut Ferooze, penurunan intensitas serangan Israel ini hanya bersifat sementara karena Israel hanya ingin menipu mata para pengamat internasional.
Selain itu, kata Ferooze, publik juga akan disuguhkan sikap Israel yang seolah-olah peduli terhadap Gaza dengan memberikan izin mendatangkan lebih banyak bantuan kemanusiaan di perbatasan Karem Shalom.
Menurut Ferooze, Netanyahu akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaan politiknya. Jika tidak bisa menyelamatkan tawanan perang, maka dia akan disalahkan dan digulingkan.
“Netanyahu akan melakukan apa pun untuk mencapai tujuan tersebut meskipun hal itu melanggar proses internasional,” jelas Ferooze.
Perlu tindak lanjut
Sementara itu, Pengamat Timur Tengah Universitas Al Azhar Indonesia Ramdhan Muhaimin mengatakan setidaknya ada dua hal yang perlu ditanggapi dari keputusan ICJ.
Pertama, bagaimanapun ini adalah keputusan sementara yang memang suka tidak suka patut kita apresiasi karena poin-poin yang diputuskan oleh Mahkamah Internasional itu cukup baik.
Masih ada harapan dari dunia terkait dengan keberpihakan terhadap Palestina.
“Bahkan pemerintah Indonesia juga mengapresiasi keputusan ini dan menekan Israel agar mematuhi putusan Mahkamah Internasional,” kata Ramdhan kepada Gazamedia.net.
Kedua, keputusan ini penting ditindaklanjuti dari putusan ini oleh pihak-pihak pelapor di Afrika Selatan maupun dunia Islam.
Menurut Ramdhan, mengapa keputusan ini perlu dikawal karena bagaimanapun putusan tersebut masih belum final karena bersifat putusan sementara.
Boleh jadi, ucap Ramdhan, Israel akan melakukan banding, bahkan menolak melaksanakan putusan mahkamah.
“Apalagi kalau kita lihat ini adalah ICJ bukan ICC yang bisa memvonis penjahat perang seperti yang terjadi pada kasus Yugoslavia,” ujar Ramdhan.
Untuk diketahui, ICJ menangani perkara hukum antar negara sedangkan International Criminal Court (ICC) hanya menuntut dan mengadili individu yang bertanggungjawab atas kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang menjadi permasalahan bagi masyarakat internasional.
Ramdhan menyampaikan dunia internasional perlu mengawal putusan ini untuk memupuk harapan untuk terus memperjuangkan Palestina.
Menurutnya, jauh sebelum putusan ini keluar atau Afrika Selatan mengajukan laporan kejahatan ke Mahkamah Internasional, sudah ada lebih kurang 40 resolusi yang tidak dipatuhi oleh Israel.
“Jadi kalau kemudian resolusi PBB saja tidak diindahkan oleh Israel, apalagi keputusan ini,” katanya.
Ragu dapat menyeret Israel
Maka, lanjut Ramdhan, ada poin ketiga yang perlu dicermati oleh dunia Islam maupun di Afrika Selatan yakni bagaimana menyusun strategi untuk menekan Israel.
Sebab secara histori Israel lahir dari sistem internasional yang tidak adil hari ini dan lahir dari sistem internasional yang disusun oleh Barat untuk kepentingan Barat.
Pertanyaannya, menurut Ramdhan, apa mungkin kemudian Barat akan merelakan negara yang lahir dari sistem mereka, dari rahim mereka untuk dipersalahkan dan dipidana.
“Saya pribadi agak meragukan soal itu,” jelasnya.
Keraguan Ramdhan merujuk pada catatan adanya tambahan seribu lebih warga Palestina yang jadi korban yang tewas dibunuh tentara-tentara Israel.
Dari sini terlihat bahwa satu sisi Israel tetap melakukan kejahatannya, seakan-akan proses pengadilan itu sesuatu yang tidak mengikat terhadap kejahatan Israel.
“Dunia seperti bersandiwara. makanya saya mengatakan ya okelah kita menghormati mengapresiasi proses ini, tapi tidak bisa berharap banyak,” ujar Ramdhan.
Hal senada juga diungkapkan Presiden Majelis Syura Ormas-ormas Islam Malaysia (MAPIM) Mohd Azmi Abdul Hamid, yang aktif menyuarakan isu Palaestina di kawasan.
Menurut Azmi, keputusan ICJ tampaknya tidak menghentikan perang Gaza namun hanya mengakui bahwa Israel cenderung melakukan genosida.
Meski terdapat bukti nyata kekerasan yang dilakukan Israel, tutur Azmi, ICJ hanya mengakui kesalahan Israel dalam melakukan genosida yang mengorbankan ribuan warga sipil di Gaza.
“Yang warga Palestina inginkan adalah gencatan senjata segera untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan Israel,” ujar Azmi dalam keterangannya kepada Gazamedia.net.
Meskipun ICJ mengambil keputusan yang mendukung klaim Afrika Selatan, lanjut Azmi, ICJ gagal mengatasi permasalahan inti: serangan Israel yang terus berlanjut tidak dapat dihentikan, dan Israel tidak bertanggung jawab atas kejahatan perang dan genosida yang mereka lakukan.
Azmi juga mempertanyakan apa jaminan Israel akan menghentikan serangan dan mengizinkan bantuan kemanusiaan melalui penyeberangan Rafah?
“Laporan mengenai penembakan pengungsi Gaza saat mencari bantuan kemanusiaan di Khan Yunis sudah membuktikan bahwa Israel tidak peduli dengan arahan ICJ,” ucapnya.
Seperti diketahui, Pasukan penjajah Israel menyerbu rumah sakit di Tepi Barat pada Selasa, 30 Januari 2024.
Mereka menyamar jadi dokter dan seorang perempuan berhijab. Mereka membunuh tiga warga Palestina yang dianggap terkait kelompok perjuangan. Salah satu dari mereka terbaring lumpuh di tempat tidur, kata para saksi dan pihak berwenang.
Israel telah melancarkan serangan udara dan darat tanpa henti di Jalur Gaza sejak serangan lintas batas oleh Hamas yang menurut Tel Aviv menewaskan 1.200 orang.
Menurut otoritas kesehatan Palestina, lebih dari 27.000 warga Palestina gugur, yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, dan lebih 66.000 lainnya terluka.
Serangan Israel juga telah menyebabkan 85 persen penduduk Gaza menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut rusak atau hancur, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).