Menteri-menteri Israel dilaporkan mengadakan pertemuan pekan ini untuk membahas rencana untuk memecah belas Suriah menjadi beberapa wilayah bagian.
Menurut laporan media Israel Israel Hayom, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, memimpin pertemuan tersebut pada Selasa.
Fokus utama pertemuan adalah keterlibatan Turki di Suriah dan kekhawatiran terhadap niat pemimpin Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), Ahmed al-Sharaa (juga dikenal sebagai Abu Mohammed Jolani), yang kini memegang kekuasaan de facto di sebagian besar wilayah Suriah.
Selain itu, para menteri juga membahas rencana Israel yang pertama kali terungkap pada bulan Desember, yang mengusulkan agar Suriah dibagi menjadi beberapa provinsi atau kanton.
Israel Hayom melaporkan bahwa rencana ini diklaim untuk “melindungi keamanan dan hak-hak semua kelompok etnis Suriah,” termasuk populasi Druze dan Kurdi.
Eli Cohen, Menteri Energi dan Infrastruktur Israel, menyarankan agar rencana ini dibahas lebih lanjut dalam sebuah konferensi internasional yang diselenggarakan oleh Israel.
Namun, politisi Israel menyadari bahwa setiap inisiatif yang terkait dengan Israel kemungkinan akan mendapatkan perlawanan besar di Suriah.
Pada bulan Desember, sumber-sumber keamanan regional mengungkapkan bahwa rencana ini awalnya bertujuan untuk membagi Suriah menjadi tiga wilayah setelah kejatuhan rezim Bashar al-Assad.
Pembagian ini dimaksudkan untuk memutuskan hubungan Suriah dengan Iran dan Hizbullah yang mendukung Assad.
Rencana Israel termasuk membangun hubungan dengan kelompok separatis PKK/YPG di timur laut Suriah dan kelompok Druze di selatan, sementara Assad tetap berkuasa di Damaskus dengan dukungan finansial dari negara-negara Teluk, seperti Uni Emirat Arab.
Bendung pengaruh Turki
Rencana ini juga bertujuan untuk membatasi pengaruh Turki di Suriah bagian barat laut, yang menjadi basis HTS dan kelompok pejuang yang didukung Turki, yang berperan besar dalam menggulingkan Assad.
Rencana pembagian ini pertama kali disinggung oleh Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, pada November lalu.
Dalam pidatonya, Saar mengatakan bahwa Israel perlu menjalin hubungan lebih dekat dengan kelompok Kurdi dan Druze di Suriah dan Lebanon, mengingat posisi Israel sebagai minoritas di kawasan tersebut.
Namun, rencana ini tidak mendapat sambutan baik dari semua pihak. Pada Desember lalu, pemimpin Druze Suriah, Sheikh Hikmat al-Hijri, dengan tegas menentang invasi Israel dan menyatakan bahwa Suriah harus mempertahankan kesatuan sosial dan teritorialnya.
Dalam wawancara dengan MEE di Qanawat, sebuah kota di provinsi Sweida, Suriah selatan, Hijri mengatakan: “Saya menentang invasi Israel dan sangat khawatir tentang itu.”
Setelah pejuang yang didukung oleh HTS berhasil menggulingkan pemerintahan Assad pada 8 Desember, Israel mulai mengirimkan pasukannya ke wilayah Suriah. Pasukan Israel memasuki Suriah melalui Dataran Tinggi Golan, yang telah diduduki Israel sejak 1967.
Pejabat Israel menyatakan bahwa mereka akan mempertahankan posisinya di wilayah yang direbut sampai merasa “stabilitas” tercapai.
Rencana untuk membagi Suriah juga mencerminkan kekhawatiran Israel terhadap pengaruh Turki, yang kini menjadi pemain utama di kawasan tersebut setelah mendukung pejuang yang menggulingkan Assad.
Pada Senin, sebuah komisi pemerintah Israel menyatakan bahwa Turki bisa menjadi ancaman yang lebih besar bagi Israel di Suriah dibandingkan Iran, terutama jika Turki mendukung kelompok Sunni yang bermusuhan di Damaskus.
Turki telah memperoleh keuntungan besar setelah kejatuhan Assad, berkat dukungannya terhadap HTS dan kelompok pejuang lainnya.