Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi dan Raja Yordania Abdullah II pada Rabu (12/2) menekankan pentingnya memulai rekonstruksi Gaza tanpa memindahkan warga Palestina.
Kedua pemimpin tersebut menegaskan kembali posisi Mesir dan Yordania, yang mengedepankan pelaksanaan penuh kesepakatan gencatan senjata di Gaza, pembebasan terus-menerus terhadap sandera dan tahanan, serta kelancaran pengiriman bantuan kemanusiaan untuk mengurangi penderitaan di kawasan yang terkepung itu, menurut keterangan pers yang dirilis oleh Kepresidenan Mesir.
Percakapan telepon ini berlangsung setelah pertemuan Raja Abdullah dengan Presiden AS Donald Trump di Washington.
Selain itu, keduanya menekankan perlunya upaya rekonstruksi Gaza yang segera dilakukan, sambil memastikan bahwa warga Palestina tetap berada di tanah air mereka.
Kedua pemimpin juga berkomitmen untuk bekerja sama erat dengan Trump dalam mencapai perdamaian yang abadi di Timur Tengah, dengan mendukung jalan yang menuju pada pembentukan negara Palestina yang merdeka berdasarkan perbatasan 4 Juni 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Yordania dan Mesir kini menghadapi tekanan besar dari AS untuk menerima warga Palestina setelah Trump mengusulkan pengambilalihan Gaza dan pemindahan warga Palestina, sebuah ide yang ditolak keras oleh Palestina dan para pemimpin Arab.
Saat menjamu Raja Yordania di Gedung Putih, Trump mengatakan pada Selasa (11/2) bahwa ia akan “mengambil” Gaza di bawah kekuasaan AS dan mengembangkannya dengan hotel, gedung perkantoran, dan infrastruktur lainnya.
Israel telah menjadikan Gaza sebagai penjara terbesar terbuka di dunia, dengan blokade yang sudah berlangsung selama 18 tahun dan memaksa hampir 2 juta dari 2,3 juta penduduknya mengungsi, di tengah kekurangan pangan, air, dan obat-obatan akibat pembatasan yang disengaja.
Usulan Trump untuk memindahkan warga Palestina muncul di tengah gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran tahanan yang mulai berlaku di Gaza pada 19 Januari, yang menghentikan perang genosida Israel, yang telah menewaskan lebih dari 48.200 orang dan meninggalkan kawasan tersebut dalam kondisi hancur.