Tuesday, January 7, 2025
HomeBeritaNestapa warga Palestina di penjara rezim Assad: Saya disetrum berkali-kali

Nestapa warga Palestina di penjara rezim Assad: Saya disetrum berkali-kali

Seorang warga Palestina yang menghabiskan 17 tahun di penjara Suriah di bawah rezim Baath mengatakan merasa “seperti terlahir kembali” setelah dibebaskan.

Ibrahim Farahat, yang kini berusia 75 tahun, dibebaskan setelah runtuhnya rezim Bashar Assad pada bulan Desember.

Sebelumnya, Farahat ditahan di pusat-pusat tahanan yang terkenal seperti Penjara Sednaya. Setelah dibebaskan, ia kembali bertemu dengan keluarganya di Yamun, dekat Jenin, di Tepi Barat.

Keluarganya dan penduduk setempat merayakan pembebasannya.

Dalam wawancara dengan Anadolu, Farahat mengenang penderitaan yang dialaminya dan  kondisi keras selama dipenjara.

“Saat dibebaskan, saya hanya berpikir tentang bagaimana cara kembali ke keluarga saya,” katanya. “Saya merasa seperti terlahir kembali. Sebenarnya, saya tidak pernah mengira bisa keluar dari penjara hidup-hidup.”

Selama 17 tahun di penjara, Farahat hanya bertemu keluarganya sekali.

“Setelah dua tahun, mereka mengizinkan saya memberitahu keluarga saya di mana saya berada. Mereka mengunjungi saya sekali, tetapi saya meminta mereka untuk tidak datang lagi. Saya khawatir apa yang terjadi pada saya bisa terjadi pada mereka,” ujarnya.

‘Saya ingin melupakan hari-hari itu’

Farahat menceritakan penangkapannya dan vonis yang dijatuhkan. Ia mengaku tidak menjalani proses hukum dengan adil.

“Mereka menuduh saya melakukan kejahatan yang tidak saya lakukan. Saya bilang saya tidak bersalah, tapi saya dibawa ke pengadilan militer tanpa pengacara. Saya tidak berpikir saya akan dipenjara karena saya tidak melakukan kesalahan,” katanya.

Farahat mengatakan ia pertama kali ditahan di penjara yang dikenal dengan “Cabang Palestina” di Damaskus, di mana ia dipenjara selama sembilan bulan. Selama 72 hari, ia diinterogasi dalam kondisi yang sangat keras.

“Saya tidak bisa menggambarkan proses interogasi itu. Saya ingin melupakan hari-hari itu,” ujarnya.

“Mereka membuka pakaian saya, memukuli saya dengan kabel, dan memaksa saya untuk mengakui sesuatu yang tidak saya lakukan. Kemudian, mereka membawa saya ke ruang bawah tanah penjara, menggantung saya dengan belenggu besi, dan menyetrum saya. .”

Farahat mengungkapkan bahwa ia dipaksa berdiri di atas platform kecil berukuran 30 sentimeter persegi selama berhari-hari. “Gerakan sekecil apapun dilarang,” katanya.

Para tahanan disebut dengan nomor

Farahat menjelaskan bahwa para tahanan diberi nomor, bukan nama. Nomornya adalah “31,” yang merupakan nomor selnya.

“Selama berhari-hari, saya tidak makan. Akhirnya, mereka memberi saya satu telur. Telur itu menyelamatkan hidup saya,” ujarnya.

Ia juga menceritakan metode penyiksaan yang ia alami, termasuk pemukulan dan kejutan listrik.

Farahat juga berbagi kenangan mengerikan lainnya.

“Suatu hari, air mulai membanjiri sel-sel kami. Airnya mencapai dada kami, dan kami mulai berteriak meminta pertolongan. Akhirnya, mereka memindahkan kami ke lantai atas. Tiga hari kemudian, kami dipindahkan kembali ke sel-sel kami yang lembab dan berjamur, tempat kami menderita kutu dan kudis.”

Farahat mengatakan ia dipaksa menandatangani dokumen tanpa penjelasan, dan enam hari kemudian, ia dipindahkan ke Penjara Sednaya, di mana ia menghabiskan enam bulan.

“Saya dijatuhi hukuman lebih dari 22 tahun tanpa alasan atau kesempatan untuk membela diri. Saya akhirnya menghabiskan 17 tahun di penjara tanpa alasan,” ujarnya.

‘Rasanya seperti Hari Kiamat’

Farahat mengatakan, ketika berita tentang keruntuhan rezim sampai ke penjara, hal itu membangkitkan harapan akan kebebasan.

“Saat pintu-pintu dibuka, rasanya seperti Hari Kiamat. Orang-orang … berlari keluar. Saya berlari sejauh 35 kilometer. Saya bahkan tidak tahu bagaimana saya melakukannya,” ujarnya.

Ia akhirnya sampai di perbatasan Yordania dengan bantuan warga Suriah yang memberi perlindungan dan membimbingnya, sebelum akhirnya dipertemukan kembali dengan keluarganya.

Bashar al-Assad, pemimpin rezim Suriah selama hampir 25 tahun, melarikan diri ke Rusia setelah kelompok-kelompok pemberontak Suriah merebut ibu kota Damaskus pada 8 Desember, mengakhiri kekuasaan Partai Baath yang telah berkuasa sejak 1963.

Perubahan ini terjadi setelah pasukan Hayat Tahrir al-Sham merebut kota-kota kunci dalam serangan yang berlangsung kurang dari dua minggu.

 

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular