Wednesday, November 26, 2025
HomeBeritaOlmert: Tanpa Netanyahu pun, Trump dorong Israel ke Solusi Dua Negara

Olmert: Tanpa Netanyahu pun, Trump dorong Israel ke Solusi Dua Negara

Dalam sebuah wawancara dengan harian The Times Inggris, mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert menyampaikan pandangan tajam mengenai masa depan konflik Gaza dan Palestina.

Ia menegaskan bahwa dorongan menuju solusi dua negara—yang selama bertahun-tahun ditolak oleh Benjamin Netanyahu—tidak akan lahir dari pemimpin Israel tersebut, melainkan dari Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.

Menurut Olmert, Trump memiliki pengaruh politik yang “tidak tertandingi oleh pemimpin global mana pun”.

Selain itu juga rencana perdamaian yang digagas untuk Gaza—yang kemudian diadopsi Dewan Keamanan PBB—menempatkan Washington dalam posisi unik untuk memaksakan penyelesaian komprehensif.

Olmert menilai bahwa Netanyahu, yang kini berstatus tersangka di Mahkamah Pidana Internasional, tidak berani menentang tekanan Trump.

Padahal, karier politik Netanyahu selama puluhan tahun dibangun atas penolakan terbuka terhadap pendirian negara Palestina.

“Jika Biden mengusulkan hal yang sama seperti Trump hari ini, Netanyahu pasti mengecamnya habis-habisan, dan Partai Republik akan menyerangnya pula,” kata Olmert.

Politisi berusia 80 tahun itu meyakini bahwa Netanyahu tidak memiliki kapasitas memimpin Israel menuju penyelesaian dua negara.

Ia memprediksi kejatuhan politik Netanyahu tinggal menunggu waktu, di tengah proses peradilan kasus korupsi dan meningkatnya pembangkangan dari kelompok sayap kanan ekstrem dalam pemerintahannya.

Olmert—yang menjabat perdana menteri pada 2006–2009—menilai situasi di Gaza saat ini sangat rapuh.

Gencatan senjata yang berlaku, menurut dia, terus diguncang serangan-serangan Israel yang sporadis serta belum terwujudnya penempatan pasukan internasional yang diharapkan dapat menjaga stabilitas.

Ia menegaskan bahwa mempertahankan kesepakatan di Gaza merupakan prasyarat mutlak sebelum memasuki pembahasan inti “perkara Palestina”.

Isu yang menurutnya menjadi kunci kemajuan regional yang lebih luas, termasuk perluasan Abraham Accords dengan negara-negara Arab lain.

Dalam wawancara itu, Olmert kembali menyinggung pengalamannya memimpin perundingan dengan Palestina.

Ia pernah menawarkan negara Palestina di atas lebih dari 94 persen wilayah Tepi Barat yang terhubung ke Gaza.

Namun ia mengakui bahwa momentum politik dapat hilang dengan cepat; seperti pada tahun 2008 ketika pertemuan terakhirnya dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas gagal akibat kebuntuan terkait peta pembagian wilayah.

Ia juga mengakui bahwa inisiatifnya runtuh di tengah serangkaian skandal korupsi yang mengakhiri karier politiknya sendiri.

Nasib serupa, menurut Olmert, bisa menimpa Netanyahu yang kini berada dalam tekanan politik dan hukum, serta harus menjaga koalisi yang didominasi unsur religius-mesianis dan nasionalis garis keras.

Olmert bahkan melontarkan kecaman keras terhadap para mitra koalisi sayap kanan Netanyahu, menyebut mereka sebagai “musuh negara”.

Ia juga menegaskan bahwa mereka tidak akan pernah menerima jalur politik yang menuju pendirian negara Palestina.

Ia menggambarkan Netanyahu sebagai pemimpin tanpa prinsip yang “menentukan sikap semata-mata berdasarkan kepentingan dirinya”.

Soal perang di Gaza, Olmert tidak menahan kritik. Ia menyebut pendekatan militer Israel sebagai “tidak terkendali, kejam, dan sembarangan”, terutama terkait korban sipil.

Sikap ini, menurut dia, membuatnya menghadapi protes agresif di Eropa dan bahkan ancaman pembukaan kasus dugaan kejahatan perang.

Pada akhirnya, Olmert menegaskan bahwa satu-satunya jalan menuju masa depan yang “kurang permusuhan dan kekerasan” adalah solusi 2 negara, meski ia mengakui bahwa jalan itu sama sekali tidak mudah.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler