Tuesday, September 9, 2025
HomeBeritaOperasi di Yerusalem: Gagalnya keamanan, retaknya daya cegah Israel

Operasi di Yerusalem: Gagalnya keamanan, retaknya daya cegah Israel

Serangan bersenjata di Yerusalem Timur, Senin (8/9), yang menewaskan 6 warga Israel dan melukai 11 lainnya, kembali menyingkap rapuhnya sistem keamanan Israel.

Insiden itu menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana kebijakan keamanan berlapis mampu mencegah aksi-aksi perlawanan warga Palestina, yang semakin intensif sebagai respons atas perang genosida di Gaza dan pengepungan di Tepi Barat?

Meski protokol keamanan diperketat, dua pemuda Palestina —Muthanna Naji Amr (20) dan Muhammad Bassam Taha (21), dari desa Qubeiba dan Qatna dekat Ramallah— berhasil menembus jantung Yerusalem.

Mereka melepaskan tembakan di sebuah halte bus, meski tak memiliki izin masuk dan tidak pernah tercatat dalam daftar keamanan Israel.

Keduanya kemudian gugur ditembak pasukan Israel, sebagaimana dilaporkan Radio Militer Israel.

Rasa panik dan ketidakpastian

Reaksi di Israel memperlihatkan kepanikan dan kegelisahan. Para analis keamanan menyebut bahwa “sarana dan kemampuan” untuk mencegah serangan sebenarnya tersedia.

Namun, yang tidak terjangkau intelijen adalah “niat” para pelaku, sebuah faktor tak terukur yang membuat sistem pencegahan selalu memiliki celah.

Bagi banyak pengamat, insiden itu menunjukkan keterbatasan aparat keamanan Israel meski gencar melakukan operasi militer dan penindakan di Tepi Barat maupun Yerusalem.

Gagalnya pencegahan serangan justru menimbulkan pertanyaan lebih jauh: apakah perang di Gaza benar-benar memberi efek jera, atau malah memperkuat tekad warga Palestina untuk melawan?

Media dan pengamat Israel menilai, serangan ini bukan sekadar insiden tunggal, melainkan pertanda masuknya situasi ke fase eskalasi baru.

Faktor kemarahan akibat ulah pemukim, kerapuhan Otoritas Palestina, serta perang di Gaza, semuanya berpadu dalam situasi yang mengingatkan pada awal Intifada Kedua.

Bagi Israel, fakta bahwa serangan semacam ini lolos dari radar menunjukkan bahwa kekuatan senjata semata tidak cukup mematahkan perlawanan Palestina —bahkan bisa memicunya lebih besar.

Analis militer Ron Ben-Yishai dari Ynet menilai operasi di Yerusalem berkaitan langsung dengan meningkatnya ketegangan di Tepi Barat, meski Israel gencar melakukan operasi militer untuk mencegahnya.

Ia menyebut, serangan itu muncul pada saat yang sensitif secara politik, menambah tekanan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang kini juga menghadapi tuntutan Mahkamah Pidana Internasional atas dugaan kejahatan perang di Gaza.

Menurut Ben-Yishai, citra kehancuran di Gaza, kekerasan pemukim di Tepi Barat, serta melemahnya Otoritas Palestina adalah faktor-faktor yang mendorong generasi muda Palestina melakukan serangan.

Ia mengingatkan pengalaman Intifada Kedua, bahwa penutupan celah di garis pemisah, peningkatan kehadiran militer, serta kewaspadaan sipil merupakan langkah krusial untuk mengurangi risiko.

Ia juga menyinggung peringatan berulang dari badan intelijen Shin Bet, yang memperkirakan potensi pecahnya Intifada baru.

Kondisi ini dipicu oleh melemahnya Otoritas Palestina, memburuknya situasi ekonomi, serta efek langsung dari agresi Israel di Gaza.

Kelemahan dalam menangkap “niat”

Sementara itu, Hanan Greenwood, jurnalis Israel Hayom bidang pemukiman dan isu agama, menyebut serangan di dekat permukiman Ramot, Yerusalem, sebenarnya dapat diprediksi.

Menurutnya, semua indikator sudah terlihat sejak awal. Ia mengingatkan prinsip dasar keamanan Israel: keberadaan senjata, kemampuan teknis, dan niat —3 elemen yang selalu menentukan terjadinya serangan bersenjata.

Greenwood menilai, dalam kasus ini ketiga unsur itu jelas ada di lapangan selama beberapa bulan terakhir. Namun, serangan tetap terjadi dan menelan korban jiwa.

Hal itu, menurutnya, mencerminkan kelemahan mendasar aparat Israel dalam membaca “niat”, yang selama ini kerap diremehkan sebagai sekadar “gangguan kecil” tanpa nilai ancaman serius.

Perlawanan yang tak surut

Menurut Greenwood, realitas di lapangan membuktikan bahwa perlawanan bersenjata Palestina tidak akan lenyap.

Aksi-aksi itu tidak hanya berhenti di Tepi Barat, melainkan menjangkau seluruh wilayah Israel, termasuk kawasan di dalam garis hijau.

Ia menekankan perlunya operasi militer besar-besaran di Tepi Barat guna membongkar infrastruktur bersenjata dan mencegah infiltrasi melalui tembok pemisah, bahkan jika harus menggunakan peluru untuk menghentikan para penyusup.

Greenwood memperingatkan, mengabaikan ancaman atau sekadar mengambil langkah terlambat sama artinya dengan bersiap menerima serangan berikutnya.

Peristiwa di Ramot, Yerusalem, menurutnya hanyalah “tulisan di dinding” yang menandakan datangnya gelombang aksi baru bila pendekatan keamanan tidak diubah secara mendasar.

Nada serupa dikemukakan oleh Shalom Ben Hanan, mantan pejabat senior Shin Bet. Ia menilai serangan di Yerusalem membuka tabir tantangan serius yang dihadapi Israel dalam menghadapi faksi dan kelompok bersenjata, terutama di Tepi Barat.

Kondisi itu, kata dia, dipicu oleh kombinasi perang di Gaza dan keruntuhan bertahap Otoritas Palestina, yang sama-sama memanaskan tensi dan memperuncing kekerasan.

Ben Hanan menekankan, ketenangan relatif di Tepi Barat dalam beberapa bulan terakhir bukan tanda meredanya niat atau semangat perlawanan, melainkan hasil dari penangkalan aparat keamanan terhadap sejumlah rencana serangan, serta operasi militer Israel yang intensif.

Karena itu, ia memandang serangan di Yerusalem bukanlah insiden terisolasi, melainkan cermin dari meningkatnya keterhubungan antara Gaza dan Tepi Barat.

Lebih jauh, Ben Hanan menjelaskan bahwa meningkatnya operasi bersenjata tidak semata lahir dari situasi terkini, melainkan bersumber dari permusuhan mendalam terhadap Israel yang diperkuat oleh perang di Gaza.

Pada saat yang sama, Otoritas Palestina tengah menghadapi stagnasi politik dan ekonomi, yang mengurangi kapasitasnya untuk meredam serangan, sekaligus mengikis perannya sebagai penopang stabilitas.

Ia memperingatkan, menurut sejumlah analisis keamanan, kemungkinan runtuhnya Otoritas Palestina dalam waktu dekat akan menjadi ancaman langsung bagi stabilitas kawasan dan kemampuan Israel menahan eskalasi.

Bahkan, sekalipun Hamas di Gaza mengalami pelemahan, organisasi itu dinilai masih memiliki kapasitas signifikan untuk memengaruhi Tepi Barat.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular