Wednesday, June 25, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Apa yang sesungguhnya diinginkan AS dan Israel dari Iran?

OPINI – Apa yang sesungguhnya diinginkan AS dan Israel dari Iran?

Oleh: Muhannad Ayyash*

Pada tahun 2002, dalam kesaksiannya di hadapan Kongres Amerika Serikat (AS), mantan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyerukan invasi ke Irak.

Ia berargumen bahwa serangan tersebut penting demi memenangkan “perang melawan terorisme” serta mencegah Irak dan kelompok teroris memperoleh senjata pemusnah massal.

Ia juga menyatakan bahwa perang itu akan berlangsung cepat dan membuka jalan bagi demokrasi yang bersahabat dengan Barat, tidak hanya di Irak, melainkan juga di kawasan sekitarnya, termasuk Iran.

Klaim tersebut terbukti keliru. Sebelum invasi dimulai pada tahun 2003, banyak pakar dan pejabat sudah mengetahui bahwa rezim Saddam Hussein tidak memiliki senjata pemusnah massal dan tidak menjalin hubungan dengan al-Qaeda.

Perang itu justru menimbulkan kehancuran luas, ketidakstabilan, dan penderitaan yang mendalam.

Hingga kini, Irak masih berjuang sebagai negara yang rapuh, dengan tantangan ekonomi dan politik yang besar.

Serangan terbaru Israel dan Amerika Serikat terhadap Iran mengundang banyak komentar bahwa kedua sekutu tersebut belum juga belajar dari kegagalan invasi ke Irak.

Namun, anggapan ini hanya tepat bila asumsi dasarnya adalah bahwa tujuan invasi ke Irak benar-benar untuk mencegah proliferasi senjata pemusnah massal dan menyebarkan demokrasi. Padahal, kenyataannya tidak demikian.

Bagi AS dan Israel, yang diinginkan dari perang tersebut bukan semata-mata soal senjata atau demokrasi, melainkan memastikan Irak tidak lagi menjadi kekuatan yang dapat menghalangi proyek kolonisasi Israel di Palestina dan posisinya sebagai agen kekuatan imperialis Amerika di kawasan. Tujuan serupa kini juga tampak dalam pendekatan terhadap Iran.

Seperti halnya tuduhan tentang senjata pemusnah massal di Irak yang terbukti tidak berdasar, klaim bahwa Iran berada di “ambang” pengembangan senjata nuklir juga belum disertai bukti kuat.

Sebaliknya, dunia justru disuguhi kemunafikan dan manipulasi informasi dari dua negara yang memiliki senjata nuklir—satu di antaranya bahkan pernah menggunakannya, dan satunya lagi menolak menandatangani Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT).

Di bawah dalih mencegah proliferasi senjata nuklir, AS dan Israel melakukan tindakan agresi “preventif” yang sejatinya bertentangan dengan hukum internasional.

Namun, sasaran mereka sebenarnya bukan program nuklir Iran, melainkan posisi Iran sebagai kekuatan regional yang mandiri.

Itulah sebabnya wacana perubahan rezim di Teheran kini mulai disuarakan secara terbuka.

Selain pernyataan-pernyataan dari Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, sejumlah tokoh politik Amerika seperti Senator Lindsey Graham dan Ted Cruz juga menyerukan penggulingan pemerintahan Iran.

Bahkan, pada hari Minggu, mantan Presiden AS Donald Trump turut menyerukan hal serupa melalui media sosial.

Seruan untuk membangkitkan “rakyat Iran” demi memperjuangkan kebebasan dan demokrasi pun digaungkan.

Namun, narasi ini patut dipertanyakan. Apakah benar kebebasan dan demokrasi di Iran merupakan tujuan utama dari intervensi ini?

Bila Iran menjadi negara yang benar-benar bebas dan demokratis, besar kemungkinan negara itu justru akan menolak dominasi asing dan proyek kolonisasi yang terjadi di sekitarnya.

Sebuah skenario yang tidak menguntungkan bagi kepentingan geopolitik Israel maupun AS.

Bagi kedua negara tersebut, lebih baik bila Iran kembali pada bentuk pemerintahan otoriter seperti era monarki Pahlavi sebelum Revolusi 1979—atau diperintah oleh kekuatan politik lain yang bersedia tunduk pada kehendak mereka.

Jika itu pun gagal tercapai, maka kondisi Iran yang terpecah, lemah, kacau, dan dilanda perang saudara tetap dianggap menguntungkan.

Situasi semacam itu pernah terjadi di Irak, dan hasilnya pun sesuai dengan kepentingan pihak-pihak luar yang terlibat.

Sejak dekade 1990-an, elite politik di Israel dan AS secara konsisten menganut kebijakan yang bertujuan melemahkan kekuatan regional di Timur Tengah serta menyebarkan instabilitas melalui infiltrasi dan agresi.

Tujuan utamanya adalah memastikan keunggulan strategis Israel dan memperkuat cengkeraman dominasi Amerika di kawasan.

Salah satu dokumen kebijakan penting yang mencerminkan strategi ini adalah A Clean Break: A New Strategy for Securing the Realm, yang ditulis pada 1996 oleh Richard Perle—mantan pejabat tinggi Departemen Pertahanan AS—bersama sekelompok neokonservatif.

Dokumen ini menyerukan penyerangan terhadap negara-negara di Timur Tengah dengan alasan mencegah penyebaran senjata pemusnah massal, demi menjamin kepentingan strategis Israel.

Namun, strategi ini bukan sesuatu yang benar-benar baru. Ia merupakan kelanjutan dari taktik kekaisaran klasik: memecah belah dan menciptakan kekacauan untuk mempermudah dominasi.

Strategi semacam ini tentu mengandung risiko. Seperti halnya keruntuhan negara Irak yang membuka ruang bagi kelompok kekerasan non-negara serta memperkuat posisi Iran sebagai kekuatan penyeimbang terhadap kepentingan AS-Israel, kondisi serupa bisa muncul apabila Iran menjadi negara yang lemah atau terpecah-belah.

Artinya, destabilisasi dapat menciptakan dampak yang bertolak belakang dengan tujuan awal.

Lebih jauh, di tingkat global, langkah agresif yang diambil AS dan Israel dapat mendorong semakin banyak negara untuk mengejar pengembangan senjata nuklir.

Pesan yang terbaca dari agresi terhadap Iran adalah bahwa kepemilikan senjata nuklir dibutuhkan, justru sebagai bentuk pertahanan dari serangan semacam ini. Maka, bukan pencegahan proliferasi yang terjadi, melainkan peningkatannya.

Bagi Israel, isu proliferasi tampaknya bukan perhatian utama, selama kekacauan yang ditimbulkannya mampu mendorong tercapainya tujuan strategis.

Yaitu menghentikan total perlawanan terhadap proyek kolonisasi pemukim dan mengubur perjuangan rakyat Palestina.

Dalam skema ini, Israel menginginkan seluruh kawasan berada dalam posisi tak berdaya, dan akan terus melangkah hingga tujuan itu tercapai—karena dampak kekacauan regional itu sendiri tak langsung dirasakan oleh Tel Aviv.

Berbeda halnya dengan AS, yang memiliki kepentingan jangka panjang yang jauh lebih kompleks.

Ketika Timur Tengah jatuh ke dalam kekacauan, kepentingan strategis AS—terutama dalam pengendalian pasar energi global dan upaya membendung pengaruh Tiongkok—ikut terancam.

Irak yang lumpuh atau Iran yang terpecah mungkin memberikan keuntungan sementara, tetapi dalam jangka panjang, instabilitas yang ditimbulkan dapat menjadi bumerang.

Dunia internasional juga akan merasakan dampak lanjutan dari agresi yang tidak beralasan ini, seperti yang pernah terjadi setelah invasi ke Irak pada 2003.

Namun, menghadapi serangan terhadap Iran saat ini, respons global sejauh ini terkesan lemah.

Beberapa negara Eropa bahkan tampak mendukung agresi tersebut, kendati mereka sendiri berisiko menanggung dampak ekonomi yang besar dari perang ini.

Jika komunitas global benar-benar menginginkan dunia yang lebih aman, maka toleransi terhadap kekerasan imperialis semacam ini harus segera dihentikan.

Sudah saatnya disadari bahwa AS dan Israel, melalui proyek kolonial dan imperial mereka, justru menjadi sumber kehancuran dan kekacauan.

Proyek kolonialisme pemukim yang dijalankan Israel merupakan bentuk penindasan yang ditandai dengan pengusiran, perampasan, dan kekerasan sistematis terhadap rakyat Palestina.

Sementara itu, imperialisme AS kerap diwujudkan melalui perampasan sumber daya, kedaulatan, dan martabat bangsa-bangsa lain.

Untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah, dunia internasional perlu mendesak Israel agar menghentikan proyek kolonialismenya dan menjadi bagian dari kawasan melalui eksistensi yang dekolonial bersama rakyat Palestina dalam Palestina yang merdeka.

Pada saat yang sama, AS juga harus melepaskan cengkeramannya atas kawasan ini dan memberikan ruang bagi masyarakat Timur Tengah untuk hidup dalam kebebasan dan kedaulatan.

Inilah satu-satunya jalan untuk keluar dari siklus kekacauan, penderitaan, dan ketidakstabilan yang tak berkesudahan.

 

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular