Oleh: KH. Fahmi Salim, Founder Baitul Maqdis Institute
Menarik mencermati ‘fatwa jihad’ yang dirilis International Union of Muslim Scholars (IUMS) yang berbasis di Doha menghimpun ribuan ulama dari berbagai negeri muslim dan tak terikat dengan identitas negara tertentu, dan respon Dewan Fatwa Mesir (Darul Ifta’ Al-Mishriyyah) terhadap fatwa jihad yang dinilai tidak tepat dan provokasi yang dapat mengancam stablitas keamanan kawasan.
Dalam sejarah kontemporer dunia Islam, fatwa jihad kerap menjadi instrumen penting dalam membentuk narasi perlawanan umat Muslim terhadap musuh-musuh mereka. Namun, ada kesan kuat bahwa fatwa jihad lebih mudah diberlakukan jika musuhnya adalah Uni Soviet selama Perang Dingin, dibandingkan ketika musuhnya adalah Israel atau Amerika Serikat. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa fatwa jihad terlihat lebih rumit atau bahkan tidak sah ketika melibatkan Israel dan Amerika? Berikut adalah analisis mendalam tentang faktor-faktor yang memengaruhi dinamika ini.
1. Geopolitik dan Kepentingan Global
Pada era Perang Dingin, Uni Soviet dipandang sebagai musuh ideologis utama oleh negara-negara Barat. Dalam konteks ini, jihad di Afghanistan mendapat dukungan luas, baik dari dunia Islam maupun dari negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat. Fatwa jihad melawan Uni Soviet dianggap sah dan mendapat legitimasi dari para ulama karena perjuangan tersebut sejalan dengan kepentingan geopolitik global.
Sebaliknya, Israel adalah sekutu utama Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Fatwa jihad melawan Israel sering kali dipandang sebagai ancaman langsung terhadap stabilitas aliansi Barat. Dukungan penuh Amerika Serikat terhadap Israel membuat negara-negara Muslim enggan mengesahkan fatwa jihad, mengingat risiko isolasi politik dan tekanan ekonomi yang bisa mereka hadapi.
2. Kontrol Politik atas Institusi Keagamaan
Banyak lembaga keagamaan di dunia Islam berada di bawah kendali pemerintah. Dalam situasi ini, fatwa jihad sering kali digunakan sebagai alat politik. Pada era Perang Dingin, pemerintah negara-negara Muslim mendukung fatwa jihad untuk melawan Uni Soviet demi mendapatkan dukungan Barat. Namun, ketika Israel dan Amerika menjadi target jihad, narasi ini berubah drastis. Fatwa jihad dianggap tidak sah atau rumit karena pemerintah takut menghadapi konsekuensi internasional yang berat.
Selain itu, ketakutan akan destabilisasi domestik juga menjadi alasan utama. Fatwa jihad melawan Israel atau Amerika dapat memicu radikalisasi di dalam negeri, yang berpotensi mengancam stabilitas politik dan keamanan negara.
3. Narasi “Legalitas” dalam Hukum Islam
Dalam pandangan banyak ulama, jihad hanya sah jika dipimpin oleh pemerintah atau ulil amri yang sah. Namun, banyak pemerintah di dunia Islam saat ini memiliki legitimasi yang dipertanyakan, baik karena kudeta, otoritarianisme, atau tekanan asing. Hal ini membuat fatwa jihad menjadi alat politik yang mudah dimanipulasi.
Selain itu, tekanan internasional, terutama dari Amerika Serikat dan sekutunya, membuat banyak negara Muslim memilih untuk tidak mengesahkan fatwa jihad melawan Israel. Fatwa ini dianggap tidak hanya mengancam hubungan internasional, tetapi juga dapat membawa konsekuensi ekonomi yang serius.
4. Stigma dan Propaganda Barat
Setelah peristiwa seperti 9/11, jihad sering dipersepsikan secara negatif oleh Barat. Seruan jihad melawan Amerika atau Israel dengan cepat dicap sebagai terorisme internasional. Sebaliknya, jihad melawan Uni Soviet dulu dipandang sebagai perjuangan heroik karena mendukung kepentingan geopolitik Barat.
Label terorisme ini membuat negara-negara Muslim semakin berhati-hati dalam mendukung fatwa jihad. Dalam konteks ini, jihad melawan Israel atau Amerika dianggap berisiko besar karena dapat memperburuk citra dunia Islam di mata internasional.
5. Krisis Solidaritas Umat Islam
Salah satu alasan utama mengapa fatwa jihad melawan Israel atau Amerika lebih rumit adalah kurangnya solidaritas di dunia Islam. Perpecahan di antara negara-negara Muslim, baik karena kepentingan politik maupun ekonomi, membuat mereka sulit bersatu dalam mendukung perlawanan terhadap Israel.
Beberapa negara Muslim bahkan memilih untuk menormalisasi hubungan dengan Israel demi kepentingan ekonomi atau politik. Hal ini semakin memperlemah upaya untuk mengesahkan fatwa jihad melawan Israel, karena tidak semua negara Muslim mendukung perlawanan terhadap pendudukan Palestina.
Kesimpulan
Kesan bahwa fatwa jihad lebih mudah diberlakukan melawan Uni Soviet dibandingkan melawan Israel atau Amerika mencerminkan realitas politik global yang kompleks. Faktor-faktor seperti kepentingan geopolitik, kontrol politik atas institusi keagamaan, tekanan internasional, stigma Barat terhadap jihad, dan krisis solidaritas umat Islam semuanya berkontribusi pada dinamika ini.
Dalam konteks ini, fatwa jihad tidak hanya menjadi keputusan agama, tetapi juga instrumen politik yang dipengaruhi oleh berbagai kepentingan. Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan kesatuan di antara negara-negara Muslim dan komitmen yang kuat terhadap prinsip-prinsip keadilan, tanpa terpengaruh oleh tekanan asing atau pertimbangan politik semata.