Tuesday, September 9, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Gaza: dari politik kematian ke genosida algoritmik

OPINI – Gaza: dari politik kematian ke genosida algoritmik

Oleh: Hisham Jaafar*

Filsuf Kamerun, Achille Mbembe, dalam sebuah esai terkenal berjudul Politik Kematian menulis:

“Politik, di bawah selubung perang, atau dalih memberantas perlawanan, atau perjuangan melawan terorisme, menjadikan pembunuhan musuh sebagai tujuan utama dan mutlak. Perang, pada akhirnya, selain sebagai sarana menegakkan kedaulatan, juga menjadi cara untuk melaksanakan hak membunuh.”

Dalam keyakinan iman, kehidupan dan kematian semata-mata berada di tangan Tuhan.

Keduanya diciptakan sebagai ujian bagi manusia—siapa di antara mereka yang terbaik amalnya.

Namun, konsep politik kematian menggugat keyakinan itu. Ia menjelaskan bagaimana kekuasaan dapat menampakkan dirinya melalui kendali atas hidup dan mati, dengan menentukan siapa yang boleh tetap hidup dan siapa yang harus dilenyapkan.

Semua itu kerap dikemas dalam narasi perang, pemberantasan perlawanan, atau “perang melawan terorisme.”

Pertanyaannya, bagaimana hak ilahi atas hidup dan mati ini diperebutkan, bahkan dirampas, di Gaza?

Dalam kasus Gaza, politik kematian—atau lebih tepat disebut “politik pembunuhan”—bertumpu pada kekuatan yang sudah mengakar: doktrin militer, ideologi ekstrem, dan kepentingan ekonomi.

Sebagaimana diuraikan dalam bab terakhir buku saya yang akan terbit di Kairo pada Oktober mendatang, politik ini mengarah pada pemusnahan nyata penduduk, pengusiran massal, perampasan harta, hingga penindasan atas ingatan dan kebudayaan mereka.

Semua itu dijalankan demi mewujudkan sebuah “negara tunggal tanpa orang Arab.”

Dalam logika itu, senjata bukan lagi sekadar alat perang, melainkan sarana menciptakan kehancuran maksimal.

Ia melahirkan “dunia-dunia kematian” di mana manusia dipaksa hidup dalam kondisi yang membuat mereka seakan-akan “mayat hidup.”

Inilah wujud kedaulatan yang mengekspresikan kekuatannya melalui kuasa memusnahkan, dengan menetapkan hidup sebagai produk kekuasaan sekaligus membagi populasi menjadi 2: mereka yang pantas hidup dan mereka yang harus mati.

Politik kematian bekerja melalui instrumen rasisme. Ia menciptakan garis pemisah biologis antara kelompok yang berhak hidup dan kelompok yang ditakdirkan untuk mati.

Rasisme, dengan demikian, berubah menjadi metode untuk menjalankan kekuasaan biologis serta hak berdaulat untuk membunuh.

Politik kematian dalam perang Gaza

Politik kematian dalam perang Gaza tampak melalui sejumlah faktor yang saling terkait.

Pertama, niat jangka panjang untuk pengusiran dan penguasaan

Sejak awal, agenda utama gerakan Zionisme global adalah gagasan tentang “negara Yahudi tunggal” dan upaya sistematis menghapus Palestina melalui jalur perundingan panjang.

Bahkan sebelum rencana pembagian tahun 1947, Israel sudah memulai praktik pembersihan etnis. Bagi proyek Zionis, solusi 2 negara tidak pernah sungguh-sungguh dimaknai sebagai jalan damai, melainkan sekadar batu loncatan menuju realitas “negara Yahudi tunggal.”

Catatan sejarah menunjukkan bahwa pengusiran etnis telah berjalan beriringan dengan kolonisasi Yahudi sejak awal gerakan Zionis modern.

Hal ini terwujud dalam rencana-rencana terstruktur yang bertujuan menguasai sebanyak mungkin wilayah Palestina dengan sesedikit mungkin orang Palestina yang tersisa.

Ekspansi permukiman Yahudi di wilayah pendudukan, terutama sejak akhir 1970-an ketika koalisi sayap kanan Likud berkuasa, berubah dari dalih keamanan nasional menjadi visi “penebusan bangsa.” Seiring itu, gesekan dan konflik dengan rakyat Palestina kian tajam.

Permukiman—yang sering kali didanai oleh lembaga nirlaba bebas pajak dari Amerika Serikat—berfungsi sebagai instrumen pengusiran, untuk menciptakan ruang eksklusif “hanya bagi orang Yahudi.”

Dalam kerangka hukum, status darurat yang diberlakukan sejak Mei 1948 memberi Israel legitimasi untuk menggunakan aturan luar biasa, warisan regulasi kolonial Inggris.

Aturan inilah yang membatasi kemungkinan perlawanan rakyat, namun sekaligus melegalkan tindakan represif dari pihak pendudukan.

Kedua, militerisasi dan doktrin penghancuran

Militerisasi Israel, yang mendapat sokongan simbiosis dari Washington melalui bantuan militer besar-besaran, melahirkan pola operasi penghancuran.

Salah satu yang paling dikenal adalah “doktrin Dahiya” (merujuk pada kawasan Dahiya, Beirut Selatan), yang diperkenalkan pada 2005.

Strategi ini dengan sengaja menargetkan infrastruktur sipil dengan kekuatan berlebihan untuk menimbulkan penderitaan luas, dengan tujuan menciptakan efek jera dan mengakhiri konflik dengan cepat.

Doktrin ini pertama kali diterapkan dalam perang Lebanon 2006, lalu meluas ke Gaza pada 2008–2009, dan terus dipakai hingga kini, dengan pernyataan terbuka untuk “mengembalikan Gaza puluhan tahun ke belakang.”

Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut penerapan strategi itu sebagai bentuk “terorisme negara”—sebuah serangan yang “dirancang secara sistematis” untuk menghukum, mempermalukan, dan meneror penduduk sipil.

Salah satu doktrin militer yang menuai kontroversi adalah Instruksi Hannibal. Prosedur ini mengizinkan upaya mencegah penculikan tentara Israel dengan mengorbankan sandera itu sendiri.

Meski secara resmi dicabut pada 2016, penerapannya kembali mencuat pada 7 Oktober 2023.

Saat itu, tentara Israel dituduh melakukan “operasi Hannibal massal,” dengan perintah “mencegah setiap kendaraan kembali ke Gaza.”

Laporan-laporan menunjukkan bahwa militer Israel secara luas menargetkan kendaraan sipil yang membawa sandera di sekitar kawasan Gaza.

Pasca 7 Oktober, tentara Israel memperluas mandatnya untuk membombardir target non-militer, melonggarkan batasan atas korban sipil, dan bahkan memanfaatkan kecerdasan buatan untuk menghasilkan lebih banyak target daripada sebelumnya.

Sasarannya termasuk gedung-gedung tinggi dan fasilitas publik, dengan logika menciptakan “tekanan sipil” terhadap Hamas.

Dampaknya adalah hilangnya infrastruktur Palestina, bersamaan dengan penghancuran jejak sejarah dan budaya mereka.

Tujuan implisit dari strategi itu jelas: menyingkirkan keberadaan Palestina secara total, dengan asumsi bahwa para penyintas pada akhirnya akan pergi.

Wilayah pendudukan pun berubah menjadi laboratorium senjata. Gaza, sejak Oktober 2023, menjadi arena uji coba terbaru bagi industri senjata Barat.

Berbagai laporan menunjukkan bahwa teknologi senjata baru dicoba langsung di atas tubuh dan tanah Palestina.

Ketiga, dehumanisasi dan kelaparan bersenjata

Banyak pernyataan pemimpin Israel dengan terang-terangan merendahkan martabat rakyat Palestina.

Ungkapan seperti “tidak ada warga sipil tak berdosa di Gaza” menandai strategi kolektif untuk menimpakan tanggung jawab kepada seluruh penduduk.

Proses pencabutan kemanusiaan ini menjadi kunci untuk melegitimasi pemusnahan massal, bahkan membingkainya sebagai “kewajiban moral.”

Sejak blokade tahun 2007, pemerintah Israel bahkan menghitung secara detail jumlah kalori harian minimum yang cukup untuk menimbulkan malnutrisi di Gaza.

Dokumen resmi bertajuk “Konsumsi Pangan di Jalur Gaza: Garis Merah” merekam kebijakan itu.

Tujuannya jelas: menjaga ekonomi Gaza tetap berada di ambang kehancuran, tetapi tanpa menciptakan krisis kemanusiaan total yang dapat memantik intervensi dunia.

Kini, kebijakan itu berujung pada salah satu kelaparan buatan manusia terburuk sejak Perang Dunia II.

Skala penghancuran di Gaza digambarkan jauh melampaui tragedi yang terjadi di Dresden atau Rotterdam pada Perang Dunia II.

Hingga kini, sekitar 70 ribu unit rumah hancur, sementara lebih dari 290 ribu lainnya rusak sebagian.

Penghancuran yang disengaja dan sistematis terhadap rumah-rumah dan infrastruktur vital menjadikannya tak lagi layak huni. Para pengamat menyebut praktik ini sebagai bentuk pembunuhan dengan sengaja.

Namun, makna yang lebih dalam adalah “penghapusan”—bukan hanya penghancuran fisik, tetapi juga penghapusan simbolik dari ingatan kolektif.

Hal ini mencakup pemusnahan museum, perpustakaan, dan lembaga budaya, serta pembalikan arah pembangunan ekonomi. Secara nyata, Gaza dipaksa mengalami “kemunduran pembangunan.”

Pada Mei 2024, antara 70 hingga 75 persen bangunan di Gaza Utara dan Kota Gaza telah hancur. Jumlah puing-puing diperkirakan mencapai 42 juta ton, meninggalkan lanskap yang hampir mustahil untuk dipulihkan.

Keempat, keterlibatan internasional dan hilangnya akuntabilitas

Amerika Serikat dan banyak negara Barat sesungguhnya menjadi “komplotan tak bernama” dalam genosida ini.

Dukungan militer, pendanaan, pelatihan, dan perlindungan diplomatik mereka memungkinkan Israel mempertahankan operasi pemusnahan tersebut.

Tanpa sokongan itu, kekejaman yang terjadi tidak mungkin berlangsung dengan skala seperti sekarang.

Meski kritik internasional sering terdengar, pengiriman senjata dari negara-negara Barat terus berjalan. Dengan demikian, tragedi Gaza terus berulang tanpa jeda.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) bahkan telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap sejumlah pemimpin Israel atas tuduhan kejahatan perang, termasuk penggunaan kelaparan sebagai senjata dan serangan yang disengaja terhadap warga sipil.

Kasus yang diajukan Afrika Selatan ke Mahkamah Internasional (ICJ) menuduh Israel melakukan tindakan genosida dan hasutan kebencian, serta menempatkan persoalan ini dalam kerangka lebih luas: 75 tahun praktik apartheid terhadap rakyat Palestina.

Dengan demikian, politik kematian di Gaza tidak dapat dipahami sebagai konsekuensi kebetulan.

Ia berakar pada prinsip dan kebijakan yang mapan, yang terus berevolusi demi satu tujuan: menguasai, mengusir, dan menghancurkan kehidupan serta infrastruktur Palestina. Dan semua itu berlangsung dengan dukungan aktif dari aktor-aktor internasional.

Genosida Algoritmik

Di Gaza, kita telah bergerak dari hak untuk membunuh menuju hak algoritma untuk membunuh.

“Genosida algoritmik” (algocide) adalah istilah baru yang menggabungkan kata algorithm (algoritma) dan genocide (pemusnahan massal).

Hak tersebut untuk menggambarkan penggunaan sistematis algoritma dan kecerdasan buatan dalam menjalankan pembantaian terhadap warga sipil.

Bentuk baru genosida ini ditandai dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi mutakhir untuk mempercepat serta mengefisienkan proses penghancuran.

Konsep ini diperkenalkan oleh Dan Steinbock dalam buku terbarunya tahun ini, yang menghubungkan kecerdasan buatan dengan kekejaman manusia. Ada beberapa ciri utama dari genosida algoritmik:

Pertama, fasilitasi teknologi

Proses pemusnahan difasilitasi oleh teknologi komunikasi dan informasi tingkat tinggi, menjadikannya padat modal, sangat cepat, sekaligus mematikan.

Ironisnya, meski dilengkapi teknologi canggih, hampir separuh bom udara-darat yang dijatuhkan di Gaza pasca 7 Oktober masih berupa “bom bodoh” yang tidak berpemandu.

Fakta ini menunjukkan fokus yang lebih besar pada kehancuran luas ketimbang presisi, sehingga meningkatkan risiko korban sipil di wilayah padat penduduk.

Kedua, proses nekrosis

Genosida algoritmik memicu proses nekrosis—istilah yang secara harfiah berarti pembusukan atau kerusakan, baik pada jaringan hidup maupun benda mati.

Tujuannya adalah mengubah dunia kehidupan menjadi dunia kematian. Caranya: pengusiran, perampasan, penghancuran.

Rumah, sekolah, universitas dijadikan puing; air, udara, dan tanah diracuni agar orang terpaksa pergi. Targetnya mencakup seluruh aspek masyarakat—politik, budaya, ekonomi, penduduk, bahkan lingkungan.

Ketiga, jarak moral dan dehumanisasi

Perang berteknologi tinggi menciptakan jarak moral. Keputusan yang diambil terasa dingin, terpisah dari akibat kemanusiaan yang nyata.

Jarak ini diperkuat oleh mekanisme psikologis bernama splitting—cara pandang yang membelah dunia dalam kategori mutlak: hitam dan putih, baik dan jahat.

Hasilnya adalah dehumanisasi total. “Yang lain” digambarkan sebagai “setan,” bahkan disebut “hewan manusia.”

Keempat, legitimasi atas genosida

Dalam kerangka moral yang terdistorsi, membunuh “hewan manusia” dilihat sebagai kewajiban etis.

Ketika logika hukuman kolektif diterapkan, maka penggunaan kecerdasan buatan untuk menghapus ribuan jiwa tak lagi dianggap kejahatan, melainkan justru disalahpahami sebagai “perbuatan baik”—karena diyakini menyingkirkan “kejahatan.”

Di sinilah perbedaan mendasar dengan politik kematian. Jika politik kematian menempatkan keputusan hidup dan mati di tangan manusia yang berkuasa, maka dalam genosida algoritmik, hak itu didelegasikan kepada teknologi.

Kecerdasan buatan dan robot menjadi instrumen pembunuhan terorganisasi, yang mencabut kehidupan dengan presisi dan keteraturan yang mengerikan.

Fenomena ini bermula di Gaza, lalu merembet ke Lebanon, Iran, dan tak berhenti di sana. Ia bagian dari strategi global yang sistematis, bukan operasi acak.

Perubahan ini tidak hanya mengubah watak perang, melainkan berpotensi mengguncang hakikat keberadaan manusia itu sendiri.

*Hisham Jaafar adalah seorang jurnalis dan peneliti asal Mesir. Ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Mada dan bekerja sebagai Konsultan Senior di Pusat Regional untuk Mediasi dan Dialog serta Konsultan di Pusat Dialog Kemanusiaan (HD). Ia juga merupakan pendiri dan Ketua Dewan Direksi Yayasan Mada untuk Pengembangan Media. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Ghazzah, min Siyāsāt al-Maut ilā al-Ibādah al-Khawārazmiyyah”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular