Oleh: Samir Al-Arki*
Laporan strategis terbaru dari Akademi Intelijen Nasional Turki yang berafiliasi dengan Badan Intelijen Nasional (MIT) menyarankan pemerintah Turki untuk mulai mempersiapkan kemungkinan terburuk dari konflik regional, termasuk potensi keterlibatan dalam perang antara Iran dan Israel.
Laporan tersebut berjudul “Perang 12 Hari: Pelajaran bagi Turki”, dan dirancang untuk memberikan panduan kebijakan kepada para pengambil keputusan di Ankara.
Dalam dokumen itu, terungkap bahwa perang antara Iran dan Israel menyediakan “kekayaan data strategis” dalam berbagai bidang—mulai dari diplomasi, aliansi militer, hingga operasi intelijen dan perang siber.
Dominasi udara dan perang elektronik Israel
Bab pertama laporan mengulas secara mendalam teknik peperangan konvensional dan hibrida yang diterapkan Israel selama konflik.
Meski publik melihat dominasi pesawat tempur, rudal presisi tinggi, dan senjata pemecah bunke.
Laporan menekankan bahwa perang sebenarnya juga berlangsung di ranah elektromagnetik dan dunia maya.
Angkatan Udara Israel, menurut laporan, digambarkan sebagai salah satu yang paling maju di kawasan Timur Tengah.
Pesawat-pesawat tempur Israel dinilai unggul karena dilengkapi sistem perang elektronik dan teknologi komunikasi yang dikembangkan dalam negeri, memberikannya keunggulan taktis signifikan.
Ragam senjata udara-ke-darat yang digunakan pun disebut sebagai kunci keberhasilan Israel dalam melumpuhkan sistem pertahanan udara Iran dengan presisi tinggi.
Di sisi lain, operasi perang elektronik yang dipimpin Unit 8200 dan batalion baru 5114 terbukti efektif dalam menetralisir serangan rudal dan drone dari Iran.
Yang mengejutkan, sebagian besar anggota Unit 8200 ternyata masih berusia remaja. Mereka bertanggung jawab atas pengawasan komunikasi, operasi intelijen siber, serta serangan digital terhadap musuh.
Laporan juga membuka kemungkinan adanya koordinasi dengan intelijen Amerika Serikat, meski tidak ada konfirmasi resmi terkait hal ini.
Pelajaran strategis bagi Turki
Bab kedua dari laporan berisi tujuh pelajaran penting yang dianggap krusial bagi Turki agar tidak mengulangi kesalahan strategis Iran.
Pertama, pentingnya diplomasi sebagai pelengkap kekuatan militer. Iran, kata laporan, kehilangan dukungan diplomatik menjelang perang akibat isolasi dari negara-negara Barat terkait program nuklirnya.
Sebaliknya, Turki dinilai berhasil melakukan reposisi diplomatik dengan merajut kembali hubungan dengan negara-negara kawasan seperti Arab Saudi, UEA, Mesir, bahkan Armenia dan Yunani.
Kedua, perlunya membangun dan merawat aliansi strategis. Dukungan logistik dan intelijen dari negara-negara Barat kepada Israel terbukti menentukan.
Sementara itu, Iran gagal mendapatkan dukungan konkret dari sekutunya, termasuk Rusia dan China.
Laporan menyarankan Turki untuk memperkuat kerja sama keamanan dengan negara-negara seperti Qatar, Suriah, Pakistan, dan Azerbaijan, serta tetap mempertahankan posisinya di NATO.
Ketiga, menjaga stabilitas domestik dan kesatuan nasional. Konflik membuktikan bahwa Israel berhasil mengeksploitasi ketidakstabilan sosial dan ekonomi dalam masyarakat Iran.
Maka Turki disarankan untuk mendorong rekonsiliasi sosial, memperkuat ekonomi, dan mencegah polarisasi internal melalui inisiatif seperti “Turki Bebas Terorisme”.
Keempat, pentingnya perlindungan terhadap elit militer dan sipil yang memegang peran strategis.
Israel berhasil melumpuhkan tokoh-tokoh kunci Iran, termasuk Kepala Staf dan komandan senior Garda Revolusi, serta ilmuwan nuklir, hanya dalam beberapa jam pertama serangan.
Kelima, perlunya kedaulatan teknologi. Keberhasilan Israel dalam menyusup ke masyarakat Iran melalui aplikasi digital menjadi peringatan keras.
Turki disebut sudah mulai bergerak dengan meluncurkan media sosial lokal Next Sosyal serta mengembangkan sistem navigasi mandiri untuk menggantikan GPS.
Namun, perlu sistem pengawasan dan kontra-spionase yang lebih ketat terhadap perusahaan teknologi strategis, terutama di sektor pertahanan.
Keenam, penguatan pertahanan sipil. Laporan menekankan bahwa sistem peringatan dini, jaringan tempat perlindungan, dan kesadaran publik di Israel berhasil menekan jumlah korban jiwa.
Oleh karena itu, Turki disarankan membangun jaringan tempat perlindungan umum, terutama di kota-kota besar, serta memastikan sistem komunikasi tetap aman dalam situasi krisis.
Ketujuh, sinergi kelembagaan antar badan keamanan. Laporan memperingatkan bahwa lemahnya koordinasi di Iran membuat sistem keamanannya mudah ditembus.
Turki dianjurkan membangun sistem intelijen menyeluruh dari level desa hingga nasional agar tidak menjadi “buku terbuka” di hadapan musuh.
Tiga skenario masa depan konflik dan implikasinya bagi Turki
Bab terakhir dari laporan “Perang 12 Hari: Pelajaran bagi Turki” yang dirilis oleh Akademi Intelijen Nasional Turki memaparkan tiga skenario masa depan hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan Iran serta Israel.
Ketiga skenario ini dirancang sebagai proyeksi strategis yang mesti diperhitungkan oleh pembuat kebijakan di Ankara, mengingat potensi dampaknya yang besar terhadap stabilitas kawasan dan kepentingan nasional Turki.
Skenario pertama: Kembali ke meja perundingan
Skenario ini membayangkan dimulainya kembali perundingan antara AS dan Iran, dengan kemungkinan Iran mempertahankan haknya untuk memperkaya uranium.
Meski begitu, Teheran bisa saja menyatakan penghentian kegiatan pengayaan selama lima tahun ke depan sebagai langkah membangun kepercayaan.
Dalam kerangka ini, Presiden AS Donald Trump bisa mengklaim keberhasilan diplomatik selama sisa masa jabatannya.
Menurut analisis intelijen Turki, skenario ini merupakan opsi paling ideal. Pertama, karena akan menjaga kelangsungan rezim Iran dan mencegah negara tersebut jatuh ke dalam status negara gagal, yang jika terjadi akan membawa dampak keamanan serius bagi negara-negara tetangga, terutama Turki.
Kedua, stabilitas Iran akan membuka ruang bagi peningkatan hubungan ekonomi bilateral.
Disebutkan bahwa volume perdagangan antara Ankara dan Teheran berpotensi naik hingga 30 miliar dolar AS per tahun.
Skenario kedua: Ketegangan berlanjut tanpa perang terbuka
Dalam skenario ini, perundingan AS-Iran gagal mencapai titik temu. Namun, alih-alih melakukan serangan militer baru, Washington memilih menghentikan eskalasi dan cukup puas dengan hasil yang telah dicapai dalam Perang 12 Hari sebelumnya.
Meski terdengar tidak seekstrem skenario ketiga, skenario ini tetap menimbulkan risiko besar bagi Turki, terutama di bidang ekonomi dan sosial.
Diprediksi akan terjadi penurunan drastis dalam volume perdagangan dengan Iran. Proyek-proyek kerja sama, khususnya dalam hal energi dan transportasi lintas batas, akan menghadapi hambatan besar.
Selain itu, Turki mungkin harus menghadapi gelombang migrasi baru. Ini bisa datang dari warga Iran sendiri yang khawatir akan masa depan, maupun para pengungsi—terutama dari Afghanistan—yang saat ini berada di Iran.
Ankara pun dituntut untuk memperketat pengamanan perbatasan demi menghindari tekanan sosial baru di dalam negeri.
Skenario ketiga: Kembali meletusnya perang
Skenario terakhir dan terburuk adalah pecahnya kembali konflik militer antara Israel dan Iran.
Kali ini, menurut laporan, pertempuran bisa berlangsung lebih lama dan lebih mematikan, apalagi jika aktor-aktor besar seperti Rusia atau China turut terseret ke dalam dinamika konflik.
Dampak langsung bagi Turki, sebagaimana diperingatkan dalam laporan, adalah potensi terciptanya kekosongan keamanan di wilayah perbatasan.
Kawasan yang longgar pengawasannya bisa berubah menjadi celah strategis berbahaya—mirip dengan apa yang terjadi di utara Suriah selama puncak konflik bersenjata di sana.
Ankara dituntut untuk bergerak cepat jika skenario ini menjadi kenyataan, termasuk dengan memperkuat pos-pos perbatasan, merespons krisis kemanusiaan, dan memastikan konflik tidak meluber ke dalam wilayahnya.
Penutup:
Laporan yang diterbitkan oleh akademi intelijen ini tidak muncul dalam ruang hampa. Ia lahir di tengah meningkatnya keresahan publik Turki atas kemungkinan pecahnya perang besar antara Israel dan Iran.
Sebuah keresahan yang semakin kuat sejak meletusnya “Banjir Al-Aqsa” dan dampak lanjutannya di berbagai penjuru kawasan.
Dalam iklim politik dan keamanan yang semakin kompleks, laporan ini menjadi sinyal jelas bagi elite pengambil kebijakan di Ankara untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan—dari diplomasi, tekanan ekonomi, hingga skenario perang terbuka.
Jika satu hal bisa dipetik dari keseluruhan laporan ini, maka itu adalah: netralitas tidak lagi cukup, kesiapsiagaan adalah keharusan.
*Samir Al-Arki adalah seorang penulis dan jurnalis Mesir, yang berspesialisasi dalam isu-isu kelompok dan gerakan Islam. Ia telah menerbitkan banyak studi dan makalah penelitian tentang isu-isu pemikiran Islam. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Al-Istikhbārāt al-Turkiyyah Tūshī Bibināa al-Mulājīi wa al-Isti’dād Lil ḥarbi Ma’a Isrāīl”.