Oleh: Aziz Mustafa
Setelah serangan Israel ke Gaza berakhir, meskipun hanya untuk sementara waktu, Israel masih mencari jawaban atas pertanyaan historis mengenai alasan serangan besar-besaran Hamas pada 7 Oktober. Dalam proses pencariannya, Israel tampaknya mengabaikan kenyataan bahwa rakyat Palestina, khususnya di Gaza, telah lama memecahkan “pagar ketakutan.” Perubahan besar ini, yang sejatinya telah terjadi jauh sebelumnya, seolah tidak terbaca oleh radar Israel. Ini adalah perubahan dramatis yang mengindikasikan ketidakberdayaan penjajahan yang lebih mendalam.
Meskipun perjanjian gencatan senjata telah disepakati, pemahaman Israel terhadap hubungan mereka dengan Gaza, dan khususnya dengan Hamas, mengandung implikasi berbahaya. Salah satunya adalah kenyataan bahwa hampir 90 sandera Israel masih berada dalam jangkauan tentara Israel yang belum mampu menyelamatkan mereka, meskipun jaraknya hanya beberapa ratus meter.
Lebih dari 15 bulan setelah serangan besar pada Oktober 2023, Israel masih mencoba memahami bagaimana Gaza, yang dianggap “kecil,” mampu melancarkan perang besar melawan kekuatan militer terkuat di Timur Tengah. Meski ribuan roket ditembakkan dan Hamas mendapat pukulan berat, mereka tetap bertahan. Ini menunjukkan bahwa Hamas telah berhasil menembus batas-batas yang selama ini ada, mengubah perspektif yang sebelumnya dianggap tidak terbayangkan oleh penjajah.
Sekarang, setelah banyak warga Palestina kembali ke rumah mereka, dan para pejuang Hamas mulai menyerahkan sandera Israel dalam adegan yang belum pernah terjadi sebelumnya, Israel mulai menyadari bahwa mereka harus mendengarkan apa yang sebenarnya disampaikan oleh warga Gaza. Dengan pendirian yang tak tergoyahkan, rakyat Palestina tetap berjuang untuk kebebasan mereka, dan mereka melihat bahwa meskipun serangan Israel berlangsung begitu lama, Hamas masih menguasai Gaza sepenuhnya.
Fakta ini menuntut pertanyaan keras untuk pemerintah Israel, yang sejak awal perang selalu menggembar-gemborkan tentang “kemenangan mutlak” dan “menghancurkan Hamas.” Namun, kenyataan menunjukkan bahwa meskipun klaim militer mengindikasikan keberhasilan menghancurkan pasukan Hamas, kontrol politik dan militer di Gaza tetap berada di tangan Hamas, dengan tidak adanya alternatif yang jelas untuk menggantikannya.
Sementara Israel mengklaim bahwa tujuan utama perang adalah untuk menggulingkan otoritas Hamas di Gaza, kenyataannya setelah berbulan-bulan agresi yang brutal, Hamas tetap bertahan. Ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai kegagalan Israel dalam mewujudkan tujuannya. Dengan bantuan penuh dari Amerika Serikat dan sebagian besar negara-negara Barat, Israel telah menyebabkan kehancuran besar di Gaza, namun tidak berhasil menggulingkan Hamas.
Kegagalan ini menciptakan dilema baru bagi Israel. Setelah hampir 500 hari agresi, Israel dihadapkan pada kenyataan bahwa Hamas, meskipun terluka parah, tetap berada di Gaza dan akan terus menguasai wilayah tersebut. Kehadiran Hamas, yang semakin menguat, memberikan pesan bahwa perjuangan rakyat Gaza untuk kebebasan tidak akan padam.
Pemerintah Israel sekarang harus menghadapi kenyataan pahit bahwa mereka tidak hanya gagal menggulingkan Hamas, tetapi juga gagal untuk memaksakan solusi apapun di Gaza, baik secara lokal, regional, atau internasional. Berbagai opsi yang diajukan untuk menyelesaikan masalah Gaza justru semakin memperburuk situasi, dan ini memperparah kebingungan Netanyahu dan pemerintahannya. Kini, Netanyahu harus menyadari bahwa meneruskan agenda “pasca-Hamas” akan sulit dilakukan tanpa terlibat dalam masalah Palestina, yang semakin mengarah pada tuntutan internasional yang tak bisa dihindari.
Kesimpulannya, kegagalan militer Israel dalam menaklukkan Hamas menunjukkan adanya konflik internal antara tujuan politik dan militer Israel. Meski segala upaya agresi dilakukan, Hamas tetap berada di Gaza, dan ini memberi sinyal bahwa masa depan wilayah tersebut akan terus didominasi oleh mereka, dengan atau tanpa pengaruh dari luar.
Penulis adalah pengamat Timur Tengah