Thursday, March 6, 2025
HomeBeritaOPINI: KTT Arab soal rekonstruksi Gaza langkah maju, tapi jalan masih panjang

OPINI: KTT Arab soal rekonstruksi Gaza langkah maju, tapi jalan masih panjang

Oleh: Maya el Jundi

KTT Arab Darurat mengenai rekonstruksi Gaza yang diadakan di Kairo kemarin menjadi momen langka kesatuan di kawasan Arab. KTT ini digelar sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan yang sangat parah di Gaza, untuk memikirkan apa yang akan terjadi setelah bom berhenti jatuh di wilayah tersebut.

Usulan Presiden Mesir Abdel Fattah Al-Sisi untuk rekonstruksi Gaza menjadi fokus utama dalam diskusi, menawarkan peta jalan yang lebih konkret untuk masa depan. Meskipun rencana ini merupakan langkah besar, keberhasilannya akan bergantung pada kemampuan untuk mengatasi tantangan geopolitik yang rumit, terutama keteguhan Israel dan perlunya dukungan AS.

Rencana tersebut sudah memenuhi beberapa hal penting, yang sebagian besar berfungsi sebagai kemenangan terhadap alternatif yang lebih berbahaya. Rencana ini memberikan kerangka kerja praktis dan realistis yang dapat didukung oleh komunitas internasional.

Berbeda dengan visi kabur yang ditawarkan oleh aktor lain, termasuk Israel dan Amerika Serikat, rencana ini memberikan gambaran jelas mengenai Gaza pasca-perang.

Rencana ini mengatasi isu-isu krusial seperti pemerintahan, keamanan, dan rekonstruksi, sekaligus memastikan bahwa rakyat Palestina tetap berada di tanah mereka dan membangun kembali kehidupan mereka. Ini menjadi langkah penting, karena langsung menanggapi agenda Trump-Netanyahu yang berusaha memindahkan penduduk Palestina dan merampas hak-hak mereka.

Penolakan keras terhadap pemindahan paksa juga menjadi hal yang sangat penting dalam KTT ini.

Namun, posisi ini bukan hanya sekadar pernyataan; rencana ini juga menggambarkan visi konkret untuk rekonstruksi yang akan dipimpin oleh komite Palestina bekerja sama dengan aktor internasional, terutama Mesir. Ini memastikan bahwa orang Palestina tetap memiliki kontrol atas masa depan mereka sambil mendapatkan dukungan internasional. Ini juga mengirimkan pesan jelas kepada Amerika Serikat bahwa Gaza dapat dibangun kembali tanpa harus memindahkan penduduknya.

Selain itu, tingkat kesatuan Arab yang ditunjukkan dalam KTT ini memperkuat posisi Arab dalam negosiasi dengan AS dan Israel.

Aspek penting lainnya adalah meskipun rencana ini mengecualikan Hamas dari pemerintahan dan rekonstruksi, rencana ini tidak memaksa kelompok tersebut untuk menyerahkan senjata.

Sebaliknya, pembicaraan mengenai status militer Hamas dikaitkan dengan tujuan yang lebih luas untuk mendirikan negara Palestina, sebuah pendekatan pragmatis yang sudah sejalan dengan posisi Hamas sendiri.

Rencana ini juga berhasil memberikan tekanan pada Otoritas Palestina untuk berkomitmen pada reformasi, termasuk mengadakan pemilu umum dan presiden, serta menunjuk wakil presiden.

Meskipun langkah-langkah ini bersifat umum, hal ini menunjukkan pengaruh diplomatik Arab yang efektif dan merupakan langkah menuju persatuan dan akuntabilitas Palestina yang lebih besar. Ini adalah kemenangan kecil yang signifikan di kawasan yang sering kali terjebak dalam stagnasi politik.

Namun, tantangan terbesar bagi rencana Mesir tetap datang dari sikap Israel. Meskipun rencana ini mengakomodasi beberapa tuntutan Israel, seperti mengecualikan Hamas dari pemerintahan, rencana ini tidak membahas keinginan Israel untuk mempertahankan kontrol langsung atas keamanan Gaza.

Pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berulang kali mengusulkan pemindahan penduduk Palestina dari Gaza, dan penolakan Israel terhadap komunike KTT Arab menggarisbawahi hal ini. Kementerian Luar Negeri Israel mengkritik pendekatan KTT ini, dengan alasan bahwa rencana tersebut tidak mencerminkan kenyataan di lapangan dan tidak menyebutkan insiden penyerbuan lintas perbatasan yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober lalu. Posisi AS juga akan menjadi faktor penentu. Mengingat pengaruhnya terhadap Israel, dukungan AS sangat penting, bahkan bisa menjadi syarat untuk keberhasilan rencana ini.

Selain itu, rencana ini belum mengemukakan strategi konkret untuk menekan Israel agar mengakhiri blokade di Gaza, yang telah memperburuk penderitaan kemanusiaan dengan tingkat kelaparan dan kekurangan yang sangat parah.

Blokade ini telah memutuskan aliran bantuan kemanusiaan dan pasokan penting, yang menyebabkan penderitaan luar biasa. Sayangnya, KTT ini tidak membahas masalah tersebut, juga tidak menuntut agar Israel memberikan kompensasi atas kerusakan yang telah ditimbulkan.

Di tingkat strategis yang lebih luas, KTT ini gagal menyajikan strategi ofensif yang dapat mengubah keseimbangan kekuatan demi Palestina.

Meski para pemimpin Arab mengulang kembali Inisiatif Perdamaian Arab 2002, mereka tidak mengusulkan langkah-langkah konkret untuk menekan Israel, seperti sanksi ekonomi atau isolasi politik. Kita semua tahu bahwa Israel tidak merespons pernyataan atau retorika diplomatik; Israel hanya merespons tindakan yang membawa konsekuensi nyata. Tanpa langkah-langkah seperti itu, rencana ini berisiko menjadi inisiatif yang baik, tetapi tidak efektif.

Negara-negara Arab harus terus menjaga kesatuan mereka dan memanfaatkan pengaruh kolektif mereka dalam negosiasi internasional. Mereka juga perlu mengisi celah dalam strategi mereka, terutama dalam hal kurangnya langkah konkret untuk menekan Israel dan meredakan krisis kemanusiaan di Gaza.

Meski jalan ke depan masih panjang dan penuh tantangan, KTT Arab ini telah meletakkan dasar yang menjanjikan. Dengan perhatian, harapan, upaya berkelanjutan, visi strategis, dan tekad yang tak tergoyahkan, kawasan ini mungkin dapat menemukan jalan menuju keadilan, stabilitas, dan perdamaian bagi Gaza dan rakyat Palestina.

Maya El Jundi adalah Asisten Riset di Pusat Studi Konflik dan Kemanusiaan, yang mengkhususkan diri dalam menghasilkan riset terkait konflik dan kerja kemanusiaan. Memiliki pengalaman kepemimpinan di berbagai organisasi kemanusiaan internasional di Lebanon, termasuk Solidarités International (bekerja dengan pengungsi Suriah), T.E.R.R.E Liban, Mennonite Central Committee (di Lebanon, Suriah, Yordania, dan Irak), dan International Alert di bidang pembangunan perdamaian. Tulisan ini diambil dari opininya di Middle East Monitor.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular