Monday, March 10, 2025
HomeBeritaOPINI: Mengapa Israel ingin pemerintahan baru Suriah gagal?

OPINI: Mengapa Israel ingin pemerintahan baru Suriah gagal?

Oleh: Ali Bakir

Dalam sebuah upacara militer baru-baru ini, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengeluarkan pernyataan yang provokatif mengenai pemerintah baru Suriah. Pidato Netanyahu mencakup tiga poin utama yang mencerminkan kebijakan Israel terhadap Suriah pasca jatuhnya rezim Assad.

Pertama, Netanyahu menegaskan bahwa Israel tidak akan membiarkan pemerintah Suriah mengerahkan pasukan di selatan Damaskus dan menyerukan “demiliterisasi penuh” di wilayah Quneitra, Daraa, dan Sweida.

Kedua, Netanyahu menyatakan Israel akan melindungi komunitas minoritas Druze di Suriah, sejalan dengan pernyataan Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, yang ingin memperkuat hubungan dengan “populasi yang bersahabat” di selatan Suriah.

Ketiga, Netanyahu mengonfirmasi bahwa Israel akan tetap menduduki wilayah Suriah, terutama di zona penyangga dan kawasan Gunung Hermon, tanpa batas waktu.

Pernyataan ini memperkuat agenda Israel untuk terus memperluas wilayahnya, khususnya di Dataran Tinggi Golan, yang telah diduduki sejak 1967.

Tujuan Netanyahu: melemahkan dan membagi Suriah

Netanyahu tampaknya ingin melemahkan dan membagi Suriah secara sistematis, sehingga negara itu tetap berada di bawah kendali Israel, tanpa pemerintahan pusat yang kuat. Tujuannya adalah menciptakan “kekacauan yang terkontrol” agar Suriah tidak bisa pulih dan tetap menjadi negara yang gagal. Israel ingin mengurangi potensi ancaman dari Suriah dengan menciptakan kondisi yang tidak stabil di negara itu.

Pendekatan ini bukan hal baru. Sejak awal berdirinya, Israel telah menerapkan kebijakan ini, bahkan di Lebanon. Dalam hal ini, demiliterisasi selatan Damaskus berpotensi mengurangi otoritas pemerintah Suriah dan membuka peluang bagi pembentukan milisi lokal yang didukung Israel.

Memecah belah dengan gunakan isu minoritas

Penyebutan komunitas Druze oleh Netanyahu menunjukkan bahwa Israel menggunakan “politik minoritas” untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan. Israel berusaha membangun aliansi dengan kelompok minoritas, seperti Druze, Kurdi, dan Alawit di Suriah, untuk melawan mayoritas Sunni. Dengan cara ini, Israel mencoba menciptakan permusuhan dan ketidakstabilan yang menguntungkan posisinya.

Namun, strategi ini bisa merugikan, baik bagi minoritas yang dimanfaatkan maupun bagi Israel itu sendiri, karena akan semakin memperburuk ketegangan sektarian di kawasan tersebut.

Menahan diri dengan taktik diplomasi

Presiden Suriah, Ahmed al-Sharaa, merespons dengan cara yang hati-hati. Meskipun ada protes terhadap kebijakan Israel di wilayah Quneitra, Daraa, dan Sweida, Sharaa memilih untuk tidak mengambil langkah militer yang berisiko memperburuk keadaan. Sebagai gantinya, ia mengutuk tindakan Israel dengan pernyataan yang tegas namun tidak memicu konfrontasi langsung. Sharaa juga mengunjungi Yordania untuk mencari dukungan diplomatik, dengan harapan membangun koalisi regional untuk melawan Israel.

Namun, taktik Sharaa yang lebih mengedepankan diplomasi ini bisa mengurangi dukungan domestiknya, terutama jika ia gagal untuk menghadapi Israel dengan tegas dalam jangka panjang.

Butuh tindakan kolektif

Menghadapi situasi yang semakin rumit, respons terhadap tindakan Israel seharusnya bersifat kolektif. Komunitas internasional, khususnya negara-negara Arab, perlu bekerja sama untuk mencegah Israel mengubah Suriah menjadi negara gagal. Liga Arab, Yordania, Mesir, Arab Saudi, dan Qatar sudah mengutuk tindakan Israel. Yang penting juga, Turki, sebagai kekuatan regional dengan kepentingan besar di Suriah, memiliki banyak hal yang bisa diraih dari kestabilan Damaskus.

Meskipun Turki mengecam agresi Israel, kebijakan Ankara cenderung lebih berhati-hati. Turki lebih fokus pada masalah Kurdi di Suriah utara dan menghindari konfrontasi langsung dengan Israel. Kebijakan ini mungkin akan berubah jika isu-isu Kurdi dan hubungan dengan Amerika Serikat diselesaikan.

Namun, jika Turki terus menghindari konflik langsung, ini bisa semakin memperkuat Netanyahu, sekaligus merusak kredibilitas Turki di mata dunia Arab dan Suriah.

Ali Bakir adalah asisten profesor riset di Pusat Humaniora dan Ilmu Sosial Ibn Khaldun. Ia mengikuti tren geopolitik dan keamanan di Timur Tengah, politik kekuatan besar, perilaku negara-negara kecil, risiko dan ancaman nonkonvensional yang muncul, dengan fokus khusus pada kebijakan luar negeri dan pertahanan Turki, hubungan Turki-Arab dan Turki-Teluk. Ia mencuit di @AliBakeer

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular