Thursday, November 21, 2024
HomeHeadlineOPINI: Novel Yahya Sinwar dan pandangannya terhadap Palestina

OPINI: Novel Yahya Sinwar dan pandangannya terhadap Palestina

oleh Justin Podur*

Sejak berdirinya organisasi ini, para pemimpin Hamas mengakhiri hidup mereka sebagai martir di tangan Israel: Sheikh Ahmad Yassin, Abd al-Aziz al-Rantisi, Ismail Haniyeh, dan kini Yahya Sinwar, semua memahami takdir tersebut.

Organisasi perlawanan Palestina dirancang untuk tetap tegak meski para pemimpinnya gugur. Dalam banyak pidato mereka, konsep mati syahid seringkali diangkat.

Yahya Sinwar tidak terkecuali. Dalam berbagai penampilannya, Sinwar menegaskan bahwa ada hal-hal yang layak diperjuangkan hingga akhir hayat: tanah air, gerakan, prinsip, dan iman.

Mengutip Imam Ali, Sinwar pernah berkata dalam pidatonya, “Ada dua hari dalam hidup seseorang. Hari ketika kematian bukan takdirmu, dan hari ketika kematian adalah takdirmu. Pada hari pertama, tak ada yang bisa menyakitimu, dan pada hari kedua, tak ada yang bisa menyelamatkanmu.”

Ia bahkan pernah menyatakan bahwa ia lebih takut mati karena serangan jantung atau virus corona dibandingkan mati dalam pertempuran.

Sebagian besar perjalanan hidup Sinwar—termasuk makna yang ia sandarkan pada berbagai peristiwa dalam hidupnya—dapat dipahami melalui novelnya, The Thorn and the Carnation.

Ditulis dan diselundupkan dari penjara Israel, tempat di mana Israel berencana menahannya seumur hidup, novel ini penuh wawasan tentang cara pandang Sinwar terhadap dunia dan bagaimana ia membangun gerakan perlawanan.

Tokoh utama dalam novelnya, Ibrahim, lahir pada tahun 1960-an (Sinwar sendiri lahir pada tahun 1962), dan memilih untuk belajar di Gaza (seperti Sinwar yang menempuh pendidikan sastra di Universitas Islam Gaza) serta tetap tinggal di Gaza untuk berjuang, meskipun memiliki kesempatan untuk hidup di pengasingan.

Kehidupan keluarga, kampus, agama, pekerjaan, penjara, dan perlawanan menjadi latar keseharian dalam buku ini.

Para tokoh dari berbagai faksi terlibat debat panjang tentang pilihan antara negosiasi atau perlawanan.

Narator sesekali merangkum metode infiltrasi dan pengumpulan intelijen Israel serta memberikan wawasan tentang kesalahan yang dilakukan oleh kelompok perlawanan maupun detail operasi.

Novel ini selesai ditulis pada tahun 2004. Mungkin tidak mengherankan, mengingat penulisnya sedang menjalani hukuman seumur hidup, bahwa novel ini terasa seperti warisan seorang pejuang—sebuah dokumen yang dimaksudkan untuk menyampaikan pengalaman berharga kepada generasi berikutnya: dari rincian sehari-hari tentang bagaimana pendudukan bekerja hingga apa yang diharapkan ketika mengunjungi penjara. Atau bagaimana bersikap sebagai seorang tahanan.

“Kewajiban moral”
Meskipun Israel berencana untuk menahannya seumur hidup, Yahya Sinwar tidak mati di penjara dan menjadi salah satu dari lebih dari 1.000 tahanan Palestina yang dibebaskan dalam kesepakatan pertukaran tahanan pada tahun 2011.

Ia kemudian menjadi pemimpin Hamas di Gaza pada tahun 2017 dan memimpin pengikutnya melalui tahun-tahun aksi yang penuh gejolak.

Pada 2018, dalam konteks Gerakan Kepulangan Besar yang damai namun dihancurkan oleh Israel, ia diwawancarai oleh jurnalis Italia Francesca Borri selama lima hari, menjelaskan alasan dan harapan Hamas dalam gencatan senjata jangka panjang (sebuah tema yang berulang dalam kehidupan politik Sinwar).

“Apakah kamu pernah melihat foto-foto Gaza dari tahun 1950-an? Saat musim panas, semua orang datang ke sini untuk berlibur?” tanya Sinwar kepada jurnalis itu.

“Sekitar 45 persen populasi di sini berusia di bawah 15 tahun,” lanjut Sinwar. “Mereka bahkan tidak tahu apa itu Hamas, apa itu Zionisme. Pada malam hari, mereka berjalan di tepi laut dan bertanya-tanya bagaimana dunia di balik ombak itu.”

Sinwar juga mengungkapkan kewajibannya kepada para tahanan. “Bagi saya, ini adalah kewajiban moral: Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk membebaskan mereka yang masih di dalam penjara.”

Dalam wawancara penting lainnya dengan koresponden Vice, Hind Hassan, setelah perang 2021, Sinwar membandingkan rasisme yang dialami oleh orang kulit hitam Amerika dengan yang dialami oleh orang Palestina. Ia kembali menyinggung soal gencatan senjata jangka panjang, namun menegaskan bahwa kodrat manusia memaksa perlawanan.

“Apa yang seharusnya kami lakukan? Mengibarkan bendera putih? Itu tidak akan terjadi,” kata Sinwar. “Haruskah kami menjadi korban yang patuh saat kami dibantai? Dibantai tanpa mengeluarkan suara? Itu mustahil. Kami memutuskan untuk mempertahankan rakyat kami dengan segala senjata yang kami miliki.”

Pada akhir perang 2021, Sinwar dengan berani menantang Israel untuk membunuhnya, menyatakan dalam konferensi pers bahwa ia akan berjalan ke rumahnya—yang lokasinya sudah diketahui—dan jika mereka memilih untuk menyerangnya, ia tidak akan bersembunyi.

Sesampainya di rumah, ia berpose untuk foto ikonik, duduk di kursi mewah di tengah puing-puing.

Genosida Israel telah mematahkan banyak ilusi lama tentang hak asasi manusia, hukum internasional, kebebasan berpendapat, diplomasi, politik progresif, dan etika profesional, yang semuanya terbukti tunduk pada dukungan untuk Israel di Barat.

Tidak menyerah
Seperti banyak jurnalis tahun ini, Seymour Hersh, seorang reporter Amerika dengan jaringan sumber-sumber dalam yang memungkinkannya membongkar kisah My Lai, Abu Ghraib, dan Nord Stream selama karier panjangnya, menodai rekornya sendiri dengan menjual kebohongan tentang genosida Israel.

Tak lama setelah 7 Oktober 2023, Hersh melaporkan kepada pembacanya bahwa rumah sakit al-Shifa “telah lama dikenal oleh intelijen Israel sebagai benteng Hamas dan mungkin pusat komando terakhir Hamas di Gaza City.”

Perang darat, kata Hersh pada November 2023, “ternyata menjadi hal mudah bagi Israel, yang pada dasarnya sudah dimenangkan.”

Namun, Yahya Sinwar, tuduh Hersh, telah meninggalkan Gaza utara, dan “kemungkinan akan membentengi dirinya dengan sandera” memperumit situasi bagi Israel yang ingin membunuhnya. “Israel masih mencoba menegosiasikan jalan keluar untuk para sandera,” kata sumber Hersh di Israel, “tetapi Hamas harus menyerah terlebih dahulu dan membawa para sandera keluar,” ucap Hersh.

Tapi faktanya tidak ada bunker di bawah al-Shifa. Yahya Sinwar berpijak di atas tanah, bertempur melawan Israel, tidak dikelilingi oleh sandera. Dan ia tidak menyerah.

Dalam adegan terakhir The Thorn and the Carnation, Ibrahim menelepon narator, Ahmad, dan memberitahunya bahwa ia telah melihat sebuah penglihatan. “Aku melihat diriku sedang berpuasa, dan Nabi Muhammad berkata kepadaku, ‘Iftar-mu bersamaku hari ini, Ibrahim,’ seolah-olah menantikan kedatanganku.” Ahmad tahu apa yang dimaksud Ibrahim, dan menjadi gusar. Ibrahim menenangkannya, “Jangan berteriak, Ahmad. Aku telah mengambil segala tindakan pencegahan, tetapi undangan seperti itu tidak bisa ditolak.”

Perasaan Ahmad ternyata benar: Ibrahim gugur akibat serangan udara yang menghantam mobilnya.

Dan begitu pula dengan Yahya Sinwar. Setelah menghabiskan masa mudanya dalam perlawanan, mengikhlaskan hidupnya di penjara, dibebaskan secara ajaib dalam pertukaran tahanan, menjadi pemimpin pergerakan di Gaza, diakui sebagai arsitek operasi 7 Oktober 2023—yang bertujuan menangkap banyak tahanan militer Israel untuk ditukar dengan ribuan tahanan Palestina dan memenuhi “kewajiban moralnya,” sekaligus menempatkan pembebasan Palestina kembali di agenda dunia—Sinwar gugur dalam pertempuran melawan Israel, seperti tokoh utama dalam novelnya.

Ia tidak dikelilingi oleh sandera dan ia tidak menyerah—semua itu ternyata hanyalah fitnah yang ditulis oleh musuh-musuhnya yang penuh kebencian. Bagi mereka yang ingin memahami apa yang ia ketahui, lebih baik abaikan saja: Yahya Sinwar menulis kisah hidupnya sendiri.

*Penulis Siegebreakers, novel terbitan tahun 2019 yang menceritakan kemenangan warga Palestina di Gaza dalam perang pembebasan. Ia mengelola podcast Anti-Empire Project dan saluran YouTube, termasuk seri Gaza War Sit Rep, dengan beberapa video tentang situasi militer setiap minggu.

Opini ini dinukil dari Electronic Intifadha berjudul Yahya Sinwar wrote his own story.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular