Saturday, March 22, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Pertaruhan Trump di Gaza dan Yaman

OPINI: Pertaruhan Trump di Gaza dan Yaman

Oleh: Munir Syafiq

Serangan udara militer yang dilancarkan oleh tentara Zionis terhadap warga sipil dan sisa-sisa bangunan di Gaza pada 18 Maret 2025 dapat dianggap sebagai awal dari perang yang panjang atau pendek.

Serangan ini bisa menjadi kejutan tak terduga atau justru sesuatu yang sudah diprediksi oleh siapa pun yang mengenal Netanyahu. Atau mengikuti kebijakan dan pemikirannya, serta kegigihannya untuk berperang melawan Gaza selama 15 bulan terakhir.

Namun, jika melihat Trump—yang memegang kendali keputusan perang atau damai di Gaza bahkan sebelum menjabat kembali sebagai Presiden AS—maka serangan ini tampaknya tidak dapat diharapkan darinya.

Trump sendiri yang sebelumnya memprioritaskan penghentian perang dan pembebasan seluruh tahanan. Serta memaksa Netanyahu untuk tunduk pada kehendaknya dan menandatangani kesepakatan gencatan senjata dengan terpaksa pada 17 Januari 2025 di Gaza.

Lalu, apa yang berubah hingga Trump memberikan lampu hijau kepada Netanyahu untuk melancarkan serangan ini, yang sekaligus menjadi sinyal dimulainya kembali perang di Gaza?

Ini terjadi meskipun tidak ada pengumuman resmi tentang penghentian negosiasi untuk mengimplementasikan perjanjian gencatan senjata.

Ketiga mediator— Amerika Serikat (AS), Mesir, dan Qatar—masih berperan aktif dan prosesnya terus berlanjut. Namun, ada kontradiksi yang mencolok di sini, karena perang justru kembali berlangsung di lapangan dengan eskalasi yang lebih tinggi dibandingkan tahap sebelumnya.

Yang perlu diperhatikan dalam serangan ini, baik di hari pertamanya maupun jika berlanjut, adalah memahami perubahan sikap Trump yang membuatnya mengubah pendiriannya.

Serta memberikan restu kepada Netanyahu—sesuatu yang sebelumnya tidak berhasil dilakukan Netanyahu dengan segala upayanya.

Perubahan sikap Trump bukanlah hal yang baru, mengingat dia memang dikenal sebagai sosok yang sering berubah-ubah. Namun, dalam konteks ini, perubahan tersebut memerlukan penjelasan.

Sebelumnya, berbagai upaya telah dilakukan oleh Netanyahu dan sekutunya di AS agar Trump tidak menekan Israel untuk menghentikan perang sebelum dia kembali menjabat.

Namun, semua upaya tersebut gagal, karena Trump tetap bersikeras menuntut gencatan senjata, memaksa Netanyahu tunduk dengan terpaksa.

Pengumuman gencatan senjata dan pelaksanaan pembebasan tahanan mengejutkan Trump. Terutama karena besarnya kemenangan yang dirasakan oleh perlawanan Palestina dan rakyat Gaza yang merayakannya.

Hal ini tercermin dalam pergerakan massa dari selatan ke utara, serta perayaan seremonial pertukaran tahanan sesuai tahapan pertama dari perjanjian tersebut.

Tidak diragukan lagi, Trump dan para penasihatnya selalu berpihak kepada Zionis. Tetapi mereka terkejut dengan besarnya kemenangan yang dicapai oleh perlawanan Palestina, yang ditunjukkan oleh arak-arakan bersenjata dan lautan massa yang bergemuruh.

Mereka semakin terkejut ketika mereka terjebak dalam tekanan politik untuk melaksanakan sisa kesepakatan, yang mencakup pembebasan semua tahanan.

Utusan Trump, Witkoff, mencoba merancang kesepakatan baru untuk menggantikan perjanjian yang sudah disepakati. Khususnya untuk membatalkan klausul penarikan penuh pasukan pendudukan dari seluruh Gaza dan penghentian perang.

Namun, upaya ini segera gagal karena bertentangan dengan perjanjian yang telah ditandatangani. Perjanjian itu ditolak oleh negosiator Palestina yang bersikeras untuk tetap berpegang pada kesepakatan asli.

Di titik ini, Trump dan utusannya menemukan bahwa strategi mereka berbalik melawan mereka. Hal ini karena mereka tidak dapat mencapai dengan politik dan tekanan apa yang tidak dapat dicapai melalui perang dan konfrontasi selama lima belas bulan terakhir.

Akibatnya, mereka memilih untuk mengorbankan kredibilitas mereka dengan berpindah ke strategi tekanan melalui perang, pembantaian massal, kehancuran, ancaman, dan intimidas. Mengulangi kebijakan kriminal dan berdarah yang sebelumnya diterapkan oleh Biden dan Netanyahu tetapi gagal.

Trump akan segera menyadari bahwa kebijakan ini akan membuatnya menghadapi isolasi internasional yang semakin parah. Hal ini sudah terlihat dalam reaksi global yang hampir bulat mengutuk kembalinya perang dan kejahatan genosida sejak hari pertama.

Lebih berbahaya lagi, dalam menghadapi isolasi dan kegagalannya, Trump mungkin mencoba mengalihkan perhatian dengan meluncurkan perang terhadap Iran. Trump juga mencoba memperluas kebijakan militerisasi sebagai pengganti strategi tekanan ekonomi dan sanksi yang semakin ketat.

Namun, ini akan membawa Trump ke dalam kegagalan dalam kedua strategi tersebut. Sebab, baik eskalasi militer maupun tekanan ekonomi ekstrem akan menjauh dari pendekatan “moderat” yang masih mempertimbangkan batas kewajaran.

Alih-alih, strategi ini akan bergerak menuju ekstremisme total, baik dalam bentuk perang maupun tekanan ekonomi.

Dalam skenario ini, Trump akan menemukan dirinya terperangkap dalam perang melawan Gaza. Di samping perang melawan Yaman, tanpa mencapai tujuan yang diinginkan. Yakni memaksa perlawanan dan rakyat Gaza atau Yaman untuk menyerah.

Trump akan dihadapkan pada pilihan antara mundur atau melanjutkan ke perang darat dengan konsekuensi yang tidak pasti. Bahkan berpotensi menjadi bencana bagi seluruh proyek politik yang dia janjikan kepada para pemilihnya.

Selain itu, perang ini, khususnya di Gaza, akan semakin memperburuk citra Israel di dunia. Mengukuhkan statusnya sebagai negara paria, pelaku kejahatan perang dan genosida, serta pengabaian terhadap hukum internasional dan nilai-nilai kemanusiaan.

Citra Trump sendiri juga akan hancur sejak awal petualangan militernya, tanpa mencapai hasil yang diinginkan.

Hal ini karena lawannya tetap bertahan, berjuang, dan memiliki tujuan yang adil tanpa goyah dalam menghadapi agresi, genosida, dan penghancuran hampir total.

Pada akhirnya, Trump akan menghadapi hukum sejarah yang terkenal: “Kemenangan darah atas pedang.” Karena perang tidak akan menghasilkan kemenangan jika tidak mampu mengalahkan lawan secara militer dan memaksanya menyerah.

Jika perang hanya mengandalkan pembunuhan massal dan kehancuran, tanpa menemukan pemimpin yang lemah untuk menyerah, maka kemenangan tidak akan tercapai. Dan 2 syarat ini tidak ada di Gaza maupun Yaman.

*Munir Syafiq adalah seorang penulis politik dan pemikir Islam Arab. Anggota Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional, dan saudara dari martir George Shafiq Asal. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Muqāmarah Trāmb Fī Gazah wa al-Yamān”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular