Tuesday, July 15, 2025
HomeBeritaPakar: Israel berupaya ubah Tepi Barat jadi wilayah terisolasi

Pakar: Israel berupaya ubah Tepi Barat jadi wilayah terisolasi

Otoritas Israel dituding menjalankan strategi sistematis untuk mengubah Tepi Barat menjadi wilayah-wilayah terpisah dan tak terhubung.

Hal itu demi menggagalkan setiap peluang pembentukan negara Palestina yang berdaulat dan layak hidup.

Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal Lembaga Penelitian Terapan ARIJ (Applied Research Institute – Jerusalem), Jad Isaac, dalam wawancara dengan kantor berita Anadolu di kantornya di kota Betlehem.

Menurut Isaac, pemerintahan Israel di bawah tekanan para menterinya yang ekstrem—terutama Menteri Keuangan Bezalel Smotrich—berupaya memperluas kendali resmi atas seluruh Area C di Tepi Barat.

Kawasan ini mencakup sekitar 60 persen wilayah Tepi Barat, termasuk cagar alam, dan menjadi target utama dalam rencana mengurangi keberadaan penduduk Palestina secara signifikan.

“Israel ingin menyisakan warga Palestina hanya dalam kantong-kantong kecil yang terhubung melalui jalan, terowongan, atau jembatan, tetapi tidak memiliki prasyarat untuk berkembang atau hidup berkelanjutan,” ujar Isaac.

Ia menegaskan bahwa operasi pembongkaran rumah, penggerebekan, serta pengusiran paksa—terutama di kamp-kamp pengungsi di wilayah utara seperti Jenin, Nablus, dan Tulkarem—adalah bagian dari strategi tersebut.

Peningkatan seruan aneksasi di tengah genosida Gaza

Seiring berjalannya agresi militer brutal di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023, seruan kalangan politik Israel untuk mencaplok Tepi Barat juga semakin lantang.

Pada awal Juli, sebanyak 14 menteri Israel dan Ketua Parlemen Amir Ohana menandatangani surat yang mendesak Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menerapkan kedaulatan Israel secara penuh atas wilayah tersebut.

Isaac mengungkapkan bahwa dalam beberapa waktu terakhir, Israel telah mengosongkan 32 komunitas Badui di lereng timur Tepi Barat.

Proses pemindahan paksa ini terjadi hampir tanpa perhatian masyarakat internasional.

Menurutnya, tindakan itu adalah bentuk kejahatan perang, yang bertujuan mengurangi jumlah warga Palestina di Area C dan menggantinya dengan pemukim Israel—bahkan jika yang ditempatkan hanyalah ternak dan hewan gembala, bukan manusia.

Saat ini, sekitar 133 titik pemukiman berbasis peternakan telah menguasai lebih dari 250.000 dunam (25.000 hektar) tanah di Lembah Yordan.

Termasuk daerah di selatan Hebron seperti Masafer Yatta, yang terus mengalami pengusiran hampir setiap hari.

Legalitas semu: “Penataan tanah” untuk penyitaan

Isaac juga menyoroti kebijakan Israel yang disebut “penataan tanah” sebagai upaya penyitaan tanah secara legalistik.

Ia menjelaskan bahwa program pencatatan hak milik yang dimulai oleh Yordania pada 1963—saat wilayah Tepi Barat dan Yerusalem Timur masih berada di bawah administrasi Yordania—dihentikan secara sepihak oleh Israel setelah pendudukan tahun 1967.

Namun, sejak satu setengah tahun terakhir, Israel memulai kembali proses penataan dan pencatatan ulang di Yerusalem Timur, dengan mengalihkan hak milik yang terdaftar atas nama kakek-nenek warga Palestina kepada ahli waris mereka yang saat ini tinggal di kota.

Banyak warga Palestina yang berada di luar Yerusalem pun kehilangan hak milik mereka dalam proses ini.

Isaac menyebut praktik tersebut sebagai pemberian kewenangan ilegal oleh Israel atas tanah-tanah yang secara hukum berada di wilayah pendudukan.

Ini melanggar hukum internasional yang melarang kekuatan pendudukan melakukan perubahan permanen di wilayah yang diduduki.

Ia juga mengungkap bahwa parlemen Israel (Knesset) telah mengesahkan peraturan yang memungkinkan praktik serupa di wilayah Area C, meskipun Otoritas Palestina sebelumnya telah memulai program penataan tanah secara sah.

Israel, kata Isaac, tidak mengakui kewenangan tersebut dan malah memberlakukan syarat-syarat baru yang memperbesar risiko penyitaan lahan Palestina.

“Ini adalah langkah berbahaya yang memberi legitimasi semu atas kontrol total Israel di wilayah pendudukan,” tegas Isaac.

Ia mengkritik komunitas internasional yang dinilainya diam, tidak melihat, tidak mendengar, dan tidak bertindak apa pun terhadap perkembangan serius ini.

Menurut data Palestina, Tepi Barat—termasuk Yerusalem—terus mengalami gelombang kekerasan sejak awal agresi Israel ke Gaza.

Setidaknya 998 warga Palestina tewas dan ribuan lainnya terluka akibat serangan militer dan aksi brutal pemukim Israel.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular