Majalah The Economist dalam laporannya yang dirilis pada Sabtu (21/6) menyebut bahwa pekan-pekan mendatang bisa menjadi momen yang mengungkap batas kemampuan militer Israel.
Selain itu, kampanye serangan udara jarak jauh juga mulai kehilangan efektivitasnya, Iran pun tampak mulai menemukan kembali keseimbangannya.
Menurut majalah yang berbasis di London tersebut, pekan kedua perang antara Israel dan Iran justru berpotensi lebih berbahaya ketimbang pekan pertama.
Di Iran, kehancuran terus berlangsung tanpa henti. Pada 21 Juni, fasilitas nuklir di Isfahan menjadi sasaran serangan, sementara serangkaian pembunuhan kembali terjadi.
Bagi Israel, setelah unjuk kekuatan militer yang mencengangkan di awal, hari-hari ke depan justru diprediksi akan membuka secara gamblang keterbatasan kapasitas militernya.
Serangan udara jarak jauh yang selama ini menjadi andalan mulai menunjukkan hasil yang semakin minim.
The Economist memperingatkan bahwa konflik ini bisa berakhir tanpa satu pihak pun benar-benar menang.
Jika rezim Iran tetap bertahan dan justru semakin terpacu untuk mengembangkan senjata nuklir, maka Israel dapat merasa terdorong untuk meningkatkan intensitas serangan demi meraih “pukulan terakhir”.
Bahkan, bukan tak mungkin, Tel Aviv akan mencoba menarik Amerika Serikat untuk terlibat lebih jauh dalam perang ini.
Dalam pandangan para analis militer, Israel tampaknya telah keliru memperhitungkan dampak pembunuhan para perwira Iran.
Harapannya, langkah tersebut akan memporak-porandakan satuan peluncur rudal Iran.
Namun kenyataannya, Teheran mampu memulihkan kendali dan membentuk kembali struktur komando militernya.
Masalah kedua yang kini dihadapi Israel adalah kemampuan pertahanannya yang mulai diragukan.
Para analis Israel dikejutkan oleh tingkat akurasi sejumlah rudal Iran. Sekitar separuh dari 300-an peluncur rudal jarak jauh milik Iran diperkirakan masih berfungsi dan telah dipindahkan ke lokasi-lokasi yang tidak terjangkau oleh serangan udara Israel.
Kendati para perwira militer Israel menyangkal adanya kekurangan dalam stok rudal pencegat, The Economist menyebut bahwa jika perang terus berlangsung hingga pekan ketiga, dan Iran tetap menggempur dengan jumlah rudal yang besar, maka sistem pertahanan Israel pun bisa terancam kehabisan amunisi.
Masalah ketiga, dan mungkin yang paling krusial, adalah apakah Israel benar-benar mampu melumpuhkan seluruh fasilitas nuklir Iran.
Sumber-sumber dari kalangan pejabat keamanan Israel sendiri mengungkapkan keraguan, khususnya terhadap kemungkinan menghancurkan situs Fordow, fasilitas nuklir bawah tanah Iran yang sangat diperkuat pertahanannya.
The Economist menyimpulkan bahwa pekan depan akan menjadi titik penentu. Salah satu skenario yang disebutkan adalah jika perang berlanjut hingga 2 pekan atau lebih, maka akan terlihat bahwa mesin perang Israel mungkin telah dipacu melebihi batas kemampuannya.
Sementara itu, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump dijadwalkan menggelar pertemuan darurat dengan tim keamanan nasionalnya malam ini.
Di sisi lain, pesawat pembom siluman B-2 mulai digerakkan dari daratan AS menuju pangkalan udara Amerika di Pulau Guam.
Iran pun tak tinggal diam. Pemerintah di Teheran meningkatkan retorika ancamannya.
Mereka memperingatkan bahwa keterlibatan AS secara langsung akan menjadi sesuatu yang sangat-sangat berbahaya bagi semua pihak.