Pertemuan langsung pertama antara Rusia dan Ukraina dalam lebih dari tiga tahun berakhir tanpa hasil signifikan, memunculkan kekhawatiran bahwa konflik di Ukraina masih akan terus berlanjut dalam waktu dekat.
Pertemuan yang berlangsung di Istanbul, Turki, pada Jumat (17/5/2025) tersebut hanya berlangsung kurang dari dua jam. Satu-satunya kesepakatan yang dicapai adalah pertukaran 1.000 tahanan dari masing-masing pihak sebagai langkah membangun kepercayaan.
“Mereka juga sepakat untuk saling menyampaikan secara tertulis syarat-syarat yang memungkinkan tercapainya gencatan senjata,” kata Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan, dalam pernyataan resminya. “Kedua pihak juga sepakat secara prinsip untuk kembali bertemu.”
Namun, belum ada kepastian waktu pelaksanaan pertemuan lanjutan, karena delegasi Rusia dijadwalkan meninggalkan Istanbul pada Jumat malam waktu setempat.
Delegasi tak seimbang
Harapan akan tercapainya terobosan sejak awal memang tidak tinggi. Hal ini terlihat dari komposisi delegasi masing-masing negara. Rusia hanya mengirim perwakilan teknis tingkat rendah, sementara Ukraina mengutus Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan.
Amerika Serikat, yang menggelar pertemuan terpisah dengan Ukraina dan Turki, diwakili oleh Menteri Luar Negeri Marco Rubio. Namun, pihak Rusia menolak keterlibatan perwakilan AS dalam pembicaraan langsung, termasuk kehadiran Michael Anton, Kepala Perencanaan Kebijakan Departemen Luar Negeri AS.
“Apakah mereka menyembunyikan sesuatu dari Amerika?” kata seorang pejabat Ukraina kepada wartawan. “Ini menunjukkan bahwa Rusia belum serius ingin berdamai dan hanya ingin mengulur waktu.”
Tuntutan wilayah jadi penghalang
Menurut sejumlah laporan, Rusia menyampaikan tuntutan wilayah yang luas sebagai syarat untuk menyepakati gencatan senjata. Wilayah tersebut mencakup empat daerah yang diklaim telah dianeksasi Rusia pada tahun 2022, tetapi belum sepenuhnya dikuasai—luasnya dua kali wilayah Lebanon dan dihuni lebih dari satu juta penduduk Ukraina.
Seorang sumber diplomatik mengatakan kepada The Economist bahwa Moskwa juga mengancam akan memperluas operasi militernya ke dua wilayah lain, yakni Kharkiv dan Sumy, jika Ukraina tidak menarik pasukannya dari wilayah tersebut.
“Kami tidak menginginkan perang, tetapi kami siap bertempur satu tahun, dua tahun, tiga tahun—berapa pun lamanya. Kami pernah berperang dengan Swedia selama 21 tahun. Berapa lama Anda siap berperang?” ujar Vladimir Medinsky, kepala delegasi Rusia dalam perundingan, seperti dikutip sejumlah media.
Medinsky juga mengaitkan konflik saat ini dengan sejarah, menyebut bahwa Inggris dan Prancis dahulu mendukung Tsar Rusia Peter yang Agung dalam perang melawan Swedia.
Rusia siap lanjutkan pembicaraan
Meski belum ada kesepakatan besar, Rusia menyatakan puas dengan hasil awal dan bersedia melanjutkan negosiasi.
“Secara umum, kami puas dengan hasil ini dan siap melanjutkan kontak. Dalam beberapa hari mendatang, akan ada pertukaran tahanan dalam jumlah besar, seribu lawan seribu,” kata Medinsky kepada Reuters.
“Ukraina meminta agar dilakukan pembicaraan langsung antara para pemimpin negara. Permintaan itu telah kami catat,” tambahnya.
Ia juga menyampaikan bahwa kedua pihak akan menyusun dan menyampaikan secara terperinci visi masing-masing mengenai gencatan senjata di masa depan sebelum kembali ke meja perundingan.
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, menegaskan bahwa tekanan internasional terhadap Rusia harus tetap dijaga. Dalam pernyataannya usai berbicara lewat telepon dengan para pemimpin Eropa dan Presiden AS Donald Trump, Zelensky menyebut gencatan senjata tanpa syarat sebagai syarat utama.
“Jika Rusia menolak gencatan senjata penuh dan tanpa syarat serta tidak menghentikan pembunuhan warga sipil, sanksi keras harus dijatuhkan,” kata Zelensky melalui akun media sosial X.
Sementara itu, Uni Eropa mengancam akan memberlakukan sanksi tambahan kepada Moskwa apabila tidak ada komitmen Rusia terhadap gencatan senjata selama satu bulan penuh.