Lebih dari 6.500 akademisi dan guru di Israel, bersama sekitar 1.000 orang tua, menandatangani petisi pada Senin (15/4/2025) malam waktu setempat, yang mendesak pemerintah Israel untuk memprioritaskan pembebasan para sandera di Gaza, meskipun harus mengakhiri perang di wilayah tersebut.
Surat kabar Haaretz melaporkan bahwa sekitar 3.500 akademisi di Israel menyatakan dukungan terhadap surat terbuka sebelumnya dari para prajurit cadangan Angkatan Udara Israel.
Dalam pernyataannya, mereka menyerukan agar pemerintah segera menghentikan perang demi memulangkan para sandera dengan selamat.
“Kami, anggota staf akademik di institusi pendidikan tinggi, mendukung seruan para prajurit Angkatan Udara dan menuntut pemulangan para sandera secepat mungkin, bahkan jika itu berarti menghentikan perang,” demikian bunyi pernyataan dalam petisi tersebut.
“Perang ini lebih banyak melayani kepentingan politik dan pribadi. Jika terus dilanjutkan, perang akan merenggut nyawa para sandera, prajurit, serta warga sipil tak bersalah, dan menguras kekuatan cadangan militer.”
Para penandatangan juga menekankan bahwa, seperti yang telah terbukti di masa lalu, hanya kesepakatan melalui negosiasi yang mampu menjamin keselamatan para sandera.
Dalam pernyataan terpisah, lebih dari 3.000 guru juga menandatangani petisi serupa. Mereka menegaskan bahwa petisi ini bukanlah ajakan untuk menolak wajib militer, melainkan seruan untuk menyelamatkan nyawa.
Sementara itu, hampir 1.000 orang tua menyatakan penolakan terhadap gagasan bahwa tidak ada warga sipil tak bersalah di Gaza.
“Kami menolak membiarkan anak-anak kami tumbuh dalam perang yang tiada akhir. Kami menolak untuk menutup mata terhadap kematian anak-anak, baik di pihak kami maupun pihak lain,” tulis mereka.
Seruan serupa juga datang dari tokoh senior, termasuk mantan Perdana Menteri Israel Ehud Barak dan mantan Kepala Staf Militer Dan Halutz, yang turut menandatangani petisi yang didukung 1.525 prajurit Korps Lapis Baja.
Media Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa lebih dari 1.600 veteran Pasukan Lintas Udara dan Infanteri ikut menyuarakan hal serupa.
Mereka bergabung dengan 170 alumni program intelijen militer Talpiot, yang menegaskan bahwa mereka tidak mengajak tentara cadangan untuk menolak bertugas, melainkan menyerukan tindakan moral untuk membebaskan para sandera.
“Menyelamatkan sandera, baik warga sipil maupun militer, adalah kewajiban moral yang mendasar, yang menjadi nilai dasar dalam sistem yang kami anut dan kami bela,” demikian bunyi pernyataan mereka. Mereka juga mengecam upaya membungkam suara dan opini dari rekan-rekan mereka yang masih aktif bertugas.
Aspirasi serupa juga diungkapkan oleh 1.000 prajurit cadangan dan pensiunan Angkatan Udara yang menandatangani petisi pada 11 April lalu.
Mereka kemudian diikuti oleh 150 mantan perwira Angkatan Laut, puluhan prajurit Korps Lapis Baja, sekitar 100 dokter militer, ratusan personel intelijen Unit 8200, serta 2.000 dosen dari berbagai perguruan tinggi di Israel.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut gerakan ini sebagai bentuk “penolakan tugas militer”.
Namun, para penandatangan menolak label tersebut. Sejak perang dimulai pada awal Oktober 2023, Israel telah mengerahkan sekitar 360.000 prajurit cadangan.
Gelombang petisi ini mencerminkan meningkatnya tekanan publik terhadap Netanyahu dan Kepala Staf Militer Eyal Zamir, serta memperlihatkan perubahan signifikan dalam opini publik Israel terkait kelanjutan perang di Gaza.