Serangkaian laporan dari media global mencerminkan krisis arah yang tengah melanda Israel dalam konflik berkepanjangan di Gaza.
Di tengah meningkatnya korban jiwa dan tekanan internasional, sejumlah analis menilai bahwa Tel Aviv kini berada di titik krusial yang menuntut keputusan politik mendasar—terutama menyangkut nasib para sandera dan masa depan Jalur Gaza.
Surat kabar Israel Yedioth Ahronoth melaporkan kekhawatiran mendalam di kalangan militer terhadap kebingungan strategi dan hilangnya tujuan yang jelas dalam operasi di Gaza.
Seorang perwira tinggi dikutip menyatakan bahwa Israel berada “di persimpangan jalan yang memerlukan keputusan politik,” terutama mengenai isu sandera dan kontrol terhadap Gaza.
Menurutnya, tentara lebih memilih agar pemerintahan di Gaza diserahkan kepada pihak Arab atau internasional, sebuah opsi yang hanya mungkin jika Israel bersedia mengakui prinsip negara Palestina.
Sementara itu, dalam kolom opini di Maariv, jurnalis Sophie Ron-Moria menuding Menteri Keuangan Bezalel Smotrich sebagai pihak yang memperpanjang konflik dan menghalangi kesepakatan pertukaran sandera demi agenda politik dalam negeri, bukan karena keyakinan ideologis.
Ia juga mengkritik kontradiksi pemerintah Israel yang bersedia berdialog dengan Iran dan Hizbullah, namun menolak kompromi apa pun dengan Hamas—di tengah tingginya angka korban jiwa yang menurutnya tidak perlu.
Dari sisi diplomatik, Financial Times melaporkan pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa berakhirnya konflik terbuka dengan Iran memberi peluang baru untuk membebaskan para sandera di Gaza.
Namun, pernyataan itu datang di saat serangan Israel ke Gaza masih berlangsung, menewaskan puluhan warga Palestina dan memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah akut.
Laporan juga menyebut tekanan yang meningkat dari Presiden AS Donald Trump terhadap kedua belah pihak agar mencapai kesepakatan damai.
Kritik dari Eropa
Di Prancis, Le Monde memuat opini ilmuwan politik Israel Denis Charbit yang menyarankan agar dunia mendukung Netanyahu ketika ia melemahkan ancaman Iran, namun menentangnya keras saat ia meratakan Gaza.
“Israel hanya bisa mengklaim dirinya sebagai penegak hukum regional jika ia menghentikan aksi kekerasan di Tepi Barat dan membatasi destruksi militer di Gaza,” tulisnya.
Sementara itu, Renaud Girard dalam Le Figaro menyoroti strategi AS terhadap Iran. Ia menilai, setelah mengancam Teheran, Presiden Trump perlu menawarkan insentif.
Termasuk pencabutan sanksi ekonomi yang telah melumpuhkan Iran selama lebih dari setengah abad dan pemulihan hubungan diplomatik yang terputus sejak 1979.
“Jika ingin berhasil, AS harus memperlakukan Iran dengan rasa hormat yang pantas bagi peradaban kuno. Itu adalah keterampilan yang, menurut Girard, dimiliki Trump.”
Gambaran dari berbagai media ini menegaskan bahwa krisis Gaza bukan sekadar persoalan militer, tetapi juga ujian moral dan politik yang kian kompleks bagi Israel dan para sekutunya.
Tanpa arah yang jelas dan langkah diplomatik yang kredibel, konflik ini berisiko melanggengkan penderitaan tanpa penyelesaian yang adil.