Bahaya

Bahaya Pandangan Matrealistis

Pandangan materialistis saat ini, banyak menerpa kehidupan manusia. Bahkan sebagian kaum muslimin ada yang juga terpengaruh dengan kehidupan yang melalaikan ini. Yaitu mengedepankan cara pandang tentang kehidupan yang hanya terbatas pada usaha untuk mendapatkan kenikmatan sesaat di dunia fana ini, sehingga aktifitas hidup yang dijalankan hanya berkisar pada masalah bagaimana bisa menciptakan lapangan pekerjaan, mengembangkan ekonomi, membangun rumah dan gedung, memenuhi kepuasan hidup dan hal-hal lain yang bersifat duniawi, tanpa memikirkan akibat dan sikap yang seharusnya dilakukan. Seolah menganggap, bahwa kebahagiaan hidup hanya bisa diraih dengan harta.

Alhasil, pandangan materialistis ini mengusik keharmonisan dan ketenangan rumah tangga seorang muslim. Melalaikan tujuan inti penciptaannya, penghambaan diri kepada Allah semata dalam setiap aspek kehidupannya. Allah berfirman:

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ مَآأُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَآأُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (Qs. Adz Dzariyat: 56-58).

ebagai efeknya, tak jarang wanita juga ikut bekerja membanting tulang, mengerahkan segala cara untuk mendapatkan harta yang banyak. Dalam benaknya, yang berkembang hanya bagaimana bisa menguasai dunia dengan harta berlimpah, seolah kebahagiaan dan ketenangan bergantung dengan harta; padahal Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Abu Dzar. Apakah engkau menyangka karena banyak harta orang menjadi kaya?” Saya (Abu Dzar) menjawab, “Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda, “Dan engkau menyangka, karena harta sedikit orang menjadi miskin?” Saya (Abu Dzar) berkata, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kekayaan adalah kecukupan dalam hati, dan kemiskinan adalah miskin hati. (HR. Hakim dan Ibnu Hibban).

Allah Ta’ala berfirman,

خَسِرَ الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

“Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Qs. Al Hajj: 11).

Allah menciptakan dunia tidak untuk main-main atau sendau gurau, tetapi Allah menciptakannya untuk suatu hikmah yang agung, sebagaimana firman Allah.

إِنَّا جَعَلْنَا مَاعَلَى اْلأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya.” (Qs. Al KahfI: 7).

Allah menciptakan dunia tidak lain ialah sebagai ladang kampung akhirat dan kampung untuk beramal. Sedangkan akhirat sebagai kampung menuai balasan. Siapa mengisi dunia dengan amal shalih, niscaya ia akan menuai keberuntungan di dua kampung tersebut. Sebaliknya, barangsiapa yang menyia-nyiakan dunianya, niscaya ia akan kehilangan akhiratnya.

Allah menjadikan berbagai kenikmatan dunia dan perhiasan lahiriah berupa harta, anak-anak, isteri, kedudukan, kekuasaan dan berbagai macam kenikmatan lainnya, yang seharusnya digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat kelak. Dari Tsauban, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِينُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الْآخِرَةِ

 “Hendaklah di antara kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang berdzikir dan isteri yang shalihah yang membantu dalam urusan akhirat.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Pada kenyataannya, sebagian besar manusia memusatkan perhatiannya pada aspek lahiriah dan kenikmatan materi semata. Setiap hari disibukkan dengan bekerja untuk mendapatkan harta dan kenikmatan dunia, sehingga lupa menyiapkan bekal untuk amal kehidupan sesudah mati; bahkan ada yang mengingkari kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini. Allah SWT berfirman,

وَقَالُوا إِنْ هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَانَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ

“Dan tentu mereka akan mengatakan (pula) “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan.” (Qs. Al-An’am: 29).

Allah mengancam orang-orang yang memiliki pandangan kerdil terhadap dunia. Allah Ta’ala berfirman,

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ

“Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16).

Dampak ancaman di atas berlaku bagi semua orang yang memiliki pandangan materialis, yaitu mereka yang beramal hanya sekedar mencari keuntungan dunia, misalnya: orang-orang munafik, orang-orang kafir, orang-orang yang menganut faham kapitalisme, komunisme dan sekulerisme. Allah akan menjadikan kehidupan ini terasa sempit bagi mereka. Nabi SAW bersabda:

مَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ وَمَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ

 “Siapa yang menjadikan dunianya sebagai tujuan utamanya, maka Allah akan membuat perkaranya berantakan, kemiskinan berada di depan kedua matanya dan dunia tidaklah datang, kecuali yang telah ditentukan baginya saja. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat (sebagai) niatnya, niscaya Allah akan memudahkan urusannya dan menjadikan rasa kecukupan tertanam dalam dalam hatinya dan dunia akan datang dengan sendirinya.” (HR. Ibnu Majah), wallahua’lam.(BA)

 

Begal Itu Dosa Besar

Membegal yang dalam bahasa Arab disebut qat’uth thariq atau hirabah, yaitu  mencegat untuk merampas harta orang lain, atau membunuhnya, atau menerornya, dengan cara terang-terangan, dengan kesombongan, dengan mempergunakan kekuatan (senjata) serta jauh dari orang yang bisa menolong. [Lihat al-Mausu’ah al-Kuwitiyyah, 17/153].

Pembegalan berbeda dengan pencurian. Pembegalan dilakukan dengan cara terang-terangan, dengan kesombongan, dengan mempergunakan kekuatan senjata, sementara pencurian dengan cara sembunyi-sembunyi. Membegal juga disebut dengan merampok atau merompak, atau menyamun.

Pembegalan merupakan tindakan teror, kezhaliman, melanggar hak orang lain, dan membuat kerusakan di muka bumi. Orang yang membegal setidaknya sudah berani melanggar beberapa aturan syariat mulia ini, di antaranya.

Pertama, larangan menakut-nakuti dan membuat gentar kaum Muslimin. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

Tidak halal bagi seorang Muslim menakut-nakuti atau membuat kaget Muslim lainnya. [HR. Abu Dawud, no. 5004]. Larangan ini dilanggar oleh pembegal.

Kedua, larang mengangkat senjata terhadap kaum Mukminin. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا

“Siapa mengangkat senjata terhadap kami, maka dia bukan dari kami.  [HR. Ahmad, no. 4467; al-Bukhari, no. 6874, 7070; Muslim, no. 98; dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma]. Pembegal sudah mengangkat senjatanya untuk membunuh korban.

Ketiga, larangan atau pengharaman ‘udwan (permusuhan; melewati batas) dan larangan berbuat zhalim, sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”  [Qs. Al-Baqarah/2: 190]

Di dalam hadits Qudsi (Allah Azza wa Jalla berfirman),

يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا

“Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezhaliman atas diriKu, dan Aku jadikan kezhaliman itu diharamkan di antara kamu, maka janganlah kamu saling menzhalimi.” [HR. Muslim, no: 2577]

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitabnya al-Kabair berkata, “Semata-mata membegal dan membuat teror di jalanan saja sudah termasuk dosa besar, maka bagaimana lagi jika ditambah dengan merampas harta, atau melukai (orang), atau membunuh? Jika demikian, maka dia telah melakukan banyak dosa besar, apalagi kebanyakan para pembegal itu juga meninggalkan shalat, dan menggunakan hasil kejahatan mereka untuk minuman keras, berzina, homoseksual, dan lainnya. Kita memohon keselamatan kepada Allah dari semua musibah dan cobaan. Sesunguhnya Dia Maha Dermawan lagi Pemurah, Maha Pengampun lagi Penyayang.” [Al-Kabair, hlm. 57].

Begal merupakan dosa besar. Karena itu, para pelakunya selain mendapat ancaman di dunia, juga kelak pasti akan mendapat balasan ancaman di akhirat.

Ancaman dunia

Tentang ancaman di dunia, Allah Azza wa Jalla berfirman,

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” [Qs. Al-Maidah/5: 33]

Saat menjelaskan makna ayat di atas, para penyusun Tafsir al-Muyassar mengatakan, “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah, dan menampakkan permusuhan kepada-Nya dengan terang-terangan, melanggar batas hukum-hukum-Nya dan hukum-hukum Rasul-Nya,  dan membuat kerusakan di muka bumi dengan membunuh manusia dan merampas harta, adalah dibunuh atau disalib bersamaan dengan dibunuh, [disalib adalah diikatnya si penjahat di atas sebuah kayu].

Atau dipotong tangan kanan si pelaku pembegalan itu dan dipotong juga kaki kirinya. Jika tidak bertaubat, dipotong tangan kirinya dan kaki kanannya.

Atau  dibuang menuju negeri yang bukan tempat kediamannya, dan dipenjara di negeri tersebut, sampai taubat mereka tampak. Balasan yang Allah Azza wa Jalla sediakan bagi para pembegal ini merupakan suatu penghinaan di dunia. Sedangkan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, jika mereka tidak bertaubat.” [Tafsir al-Muyassar  Al Mâidah/5: 33]

Namun, yang perlu disampaikan di sini bahwa hukuman yang diterapkan kepada pembegal ini adalah hak pemerintah, setelah adanya keputusan pengadilan, dan tidak boleh dilakukan oleh masyarakat umum. Perbuatan main hakim sendiri yang kerap mengisi berita media massa sangat berpotensi menimbulkan kekacauan.

Ancaman di akhirat

Sedangkan ancaman di akhirat, antara lain bahwa pembegal yang mati saat menjalankan aksi jahatnya terancam masuk neraka. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ جَاءَ رَجُلٌ يُرِيدُ أَخْذَ مَالِي؟ قَالَ: فَلَا تُعْطِهِ مَالَكَ قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ قَاتَلَنِي؟ قَالَ: قَاتِلْهُ قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلَنِي؟ قَالَ: فَأَنْتَ شَهِيدٌ، قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلْتُهُ؟ قَالَ: هُوَ فِي النَّارِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu, jika ada orang yang hendak merampas hartaku.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu kepadanya.”

Dia bertanya lagi, “Bagaimana jika dia memerangiku?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Perangilah dia.” Dia bertanya lagi, “Bagaimana jika dia membunuhku?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Engkau syahid.” Dia bertanya lagi, “Bagaimana jika aku membunuhnya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Dia di neraka.”  [HR. Muslim, no. 140].Wallahua’lam.[]

Bahaya Istidraj

SECARA bahasa Istidraj diambil dari kata da-ra-ja (Arab: درج ) yang artinya naik dari satu tingkatan ke tingkatan selanjutnya. Sementara istidraj dari Allah kepada hamba dipahami sebagai ‘hukuman’ yang diberikan sedikit demi sedikit dan tidak diberikan langsung. Allah biarkan orang ini dan tidak disegerakan azabnya. Allah berfirman yang artinya, “Nanti Kami akan menghukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (Qs. Al-Qalam: 44) (Al-Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah, kata: da-ra-ja).

Dari Ubah bin Amir ra, Nabi SAW bersabda, “Apabila engkau melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah.” Kemudian Nabi SAW membaca firman Allah yang artinya, “Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga bila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Qs. Al-An’am: 44), (HR. Ahmad, no. 17349, disahihkan Al-Albani dalam As-Shahihah, no. 414).

Sederhananya, jika melihat orang yang secara agama ibadahnya buruk, sementara maksiat kepada Allah dan manusia jalan terus, lalu rezekinya Allah berikan melimpah, kesenangan hidup begitu mudah ia dapatkan, tidak pernah sakit dan celaka, panjang umur, bahkan Allah berikan kekuatan pada fisiknya. Maka, waspadalah sebab bisa jadi itu adalah istidraj baginya dan bukan kemuliaan.

Di antara tanda hamba yang mengalami istidraj itu antara lain; pertama, terus melakukan kemaksiatan tapi kesuksesan justru semakin melimpah. Ali Bin Abi Thalib ra berkata, “Hai anak Adam ingat dan waspadalah bila kau lihat Tuhanmu terus menerus melimpahkan nikmat atas dirimu sementara engkau terus-menerus melakukan maksiat kepadaNya.” (Mutiara Nahjul Balaghoh Hal 121)

Kedua, semakin kikir justru hartanya semakin melimpah. Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung (harta) lalu dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya (Qs. Al-Humazah : 1-3). Ayat ini berkisah tentang hamba yang kikir dan menghitung-hitung hartanya. Ia mengira harta yang ditumpuknya akan mengokohkan posisi dan kekuasaannya.

Ketiga, jarang sakit. Imam Syafi’i berkata, “Setiap orang pasti pernah mengalami sakit suatu ketika dalam hidupnya, jika engkau tidak pernah sakit, lihatlah ke belakang mungkin ada yang salah dengan dirimu.” Bisa jadi ia tidak pernah sakit karena berbuat syirik memuja dan bersekutu dengan jin atau setan. Kalaupun bukan karena itu, jelas ada sesuatu yang menyimpang dalam dirinya. (Tafsir Al Muyassar, 1/464)

Ibnu Athaillah berkata, “Hendaklah engkau takut jika selalu mendapat karunia Allah, sementara engkau tetap dalam perbuatan maksiat kepada-Nya, jangan sampai karunia itu semata-mata istidraj oleh Allah.” Wallahua’lam.[]

 

Jangan Jadi Suami Dayuts

Di antara tugas seorang suami atau ayah adalah bagaimana menanamkan nilai-nilai syariat Islam agar tumbuh subur di tengah kehidupan keluarganya. Dengan harapan kelak ketika nilai syariat itu tumbuh subur, maka tidak ada anggota keluarganya yang berani melanggar larangan Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, banyak orang tua terutama ayah, karena keawamannya dalam masalah syariat Islam ini, sehingga ia seringkali membiarkan saja kemaksiatan yang dilakukan salah satu dari anggota keluarganya. Membiarkan kemaksiatan yang dilakukan oleh anggota keluarga itulah yang disebut dengan dayuts.

Definisi Dayust

Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Dayuts adalah orang yang membenarkan keburukan pada keluarganya, yaitu tetap menganggap baik pada keluarganya (padahal ada kemungkaran yang nyata -pen), kita berlindung kepada Allâh dari hal itu. [Al-Kaba-ir, hlm. 137]

Imam Ibnul Manzhûr berkata, “Dayuts adalah orang yang tidak cemburu kepada keluarganya.” [Lisânul ‘Arab, 4/456]. Artinya tidak merasa risih ketika ada anggota keluarganya yang melanggar syariat Allah.

Imam ‘Ali al-Qari rahimahullah berkata, “Dayuts adalah orang yang membenarkan keburukan pada keluarganya, yaitu dengan mendiamkannya. Yang masuk dalam ketagoeri keluarganya yaitu istrinya, budak wanitanya, atau kerabat wanitanya. Sedangkan keburukan yang dimaksud adalah zina, atau permulaannya. Termasuk keburukan adalah seluruh kemaksiatan, seperti minum khamr, tidak mandi junub, dan semacamnya. Ath-Thîbiy berkata, “Dayûts adalah orang yang melihat pada mereka (keluarganya yang wanita) sesuatu yang menyusahkannya (yaitu kemungkaran-pen), tetapi dia tidak cemburu kepada mereka dan tidak melarang mereka, sehingga dia membenarkan kekejian atau keburukan pada keluarganya.” [Mirqâtul Mafâtih, 7/241]

Syaikh Abdulaziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah berkata, “Dayûts adalah orang yang ridha adanya perbuatan keji pada keluarganya (istrinya), yaitu mendiamkannya terhadap perbuatan zina, tidak melarangnya, tidak marah karena Allâh Azza wa Jalla , karena rasa cemburunya sedikit dan imannya lemah. Adapun orang yang telah berusaha mengingkarinya dan menghalanginya dari perbuatan keji, maka orang ini tidak disebut dayûts”. [Fatâwâ Islâmiyyah, 3/118]

Syaikh Husamuddin berkata, “Wanita-wanita yang memakai pakaian-pakaian yang memalukan di saat pesta pernikahan, jika hal itu mereka lakukan di hadapan laki-laki, maka itu haram hukumnya. Laki-laki yang meridhai istrinya atau anak perempuannya melakukan hal itu, maka dia adalah dayûts.” [Fatâwâ yas-alûnaka, 5/203]

Ia juga berkata, “Merupakan kewajiban para bapak, suami, dan wali secara umum, melarang anak-anak wanita, istri-istri, dan saudara-saudara wanita dari perbuatan tabarruj (menampakkan perhiasan dan keindahan tubuhnya di hadapan umum), barangsiapa membenarkan tabarruj para wanita tersebut maka dia adalah dayûts.” [Fatâwâ yas-alûnaka, 5/529]

Perbuatan dayûts ini dinilai dosa besar oleh para Ulama, seperti Ibnu Hajar al-Makki dalam kitab az-Zawâjir ‘an Iqtirâfil Kabâ-ir, juga Adz-Dzahabi dalam al-Kabâ-ir.

Bahaya Dayuts

Seorang ayah, atau kepala rumah tangga, dengan alasan apa pun, tidak dibenarkan membiarkan keburukan terjadi dalam rumahnya. Misalnya ada pelanggaran terhadap syariat Allah, maka seorang kepala keluarga harus berusaha dan bisa mencegahnya agar tidak terulang lagi. Sebab perbuatan Dayuts itu akan menyebab ia kelak tidak dilihat oleh Allah Ta’ala.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda,

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ، وَالدَّيُّوثُ، وَثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمُدْمِنُ عَلَى الْخَمْرِ، وَالْمَنَّانُ بِمَا أَعْطَى

Dari Salim bin Abdullah (bin Umar), dari bapaknya, dia (Abdullah) berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ‘Tiga orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat mereka pada hari kiamat: anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang menyerupai laki-laki, dan dayuts. Tiga orang yang tidak akan masuk surga: anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, pecandu khmar (minuman keras), dan orang yang menyebut-nyebut apa yang dia berikan.” [HR. An-Nasai, no. 2562; Ahmad, no. 6180]

Dalam hadis lain, dari Salim bin Abdullah bin Umar, berkata, Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma bercerita kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tiga orang yang Allâh haramkan surga untuk mereka: pecandu khmar (minuman keras), anak yang durhaka, dan dayuts, orang yang membenarkan keburukan di keluarganya.” [HR. Ahmad, no. 5372].

Terkhusus untuk semua lelaki yang sudah menjadi ayah dan suami, perhatikanlah syariat Allah dalam rumah tangga kita. Ajarkan anak-anak dan istri kita tentang syariat yang mulia ini agar kita terhindar dari sifat dan sikap Dayuts, wallahua’lam.[]

 

 

 

Bahaya Melupakan Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kitab yang mengandung kabar berita, hukum dan syariah, aturan jihad, pendidikan, dan pedoman hidup. Karena itu, sangat berbahaya orang yang melupakan Al-Qur’an. Apa akibatnya jika melupakan dan tidak mempedulikan Al-Qur’an? Berikut beberapa akibatnya.

Pertama, dhalalun mubin (kesesatan yang nyata). Al-Qur’an ini adalah karunia yang besar bagi manusia. Dengannya jiwa mereka menjadi suci -bersih dari syirik, keraguan, kemunafikan, hasad, dendam, dengki, menipu, sombong, riya’, sum’ah, mencintai keburukan dan kemaksiatan-. Tanpa bimbingannya, manusia akan tersesat dengan kesesatan yang nyata. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Ali Imran, 3: 164).

Kedua,  dhayyiqun harajun (sempit dada). Jika manusia melupakan petunjuk Al-Qur’an, Allah Ta’ala akan menjadikan dadanya sempit, yaitu sulit mendapatkan petunjuk. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (Qs. Al-An’am, 6: 125).

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan beberapa pendapat ulama tentang makna dhayyiqun harajun; di antaranya adalah pendapat Atha Al-Khurrasani, ia mengatakan maknanya adalah, “tiada jalan masuk bagi kebaikan untuk menembusnya.” Sedangkan menurut pendapat Sa’id ibnu Jubair maknanya bahwa hidayah tidak menemukan jalan masuk ke dalam kalbunya, melainkan hanya kesulitan belaka yang dijumpainya.

Ketigama’isyatun dhankun (kehidupan serba sulit). Mengenai hal ini Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Qs. Thaha, 20: 124).

Keempat, ‘umyul bashirah (butanya mata hati). Bahaya lain yang akan menimpa kepada orang-orang yang melupakan Al-Qur’an adalah butanya mata hati, yakni telah tertutup untuk menerima kebenaran, tidak dapat lagi memikirkan dan merenungkan segala macam peristiwa duka yang telah terjadi dan menimpa umat-umat di masa lalu maupun di masa kini akibat kekufuran mereka. Orang-orang ini tidak mampu mengambil pelajaran dari apa yang dilihat dan didengarnya.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (Qs. Al-Hajj, 22: 46).

Kelima, qaswatul qalbi (kerasnya hati). Mereka yang jauh dari Al-Qur’an, hatinya akan menjadi keras. Oleh karena itu Allah Ta’ala mengingatkan orang-orang yang beriman agar selalu khusyu’ hatinya di hadapan petunjuk Allah Ta’ala yang artinya, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. Al-Hadid, 57: 16).

Imam Ibnu Rajab berkata: “Asal (sifat) khusyu’ adalah kelembutan, ketenangan, ketundukan, dan kerendahan diri dalam hati manusia (kepada Allah Ta’ala).”

Keenamdhulmun wa dzullun (kegelapan dan kehinaan). Al-Qur’an diturunkan kepada manusia agar mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Oleh karena itu, jika mereka melupakan Al-Qur’an, berarti mereka telah membiarkan diri mereka sendiri berada dalam kegelapan.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “(Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya.” (Qs. At-Thalaq, 65: 11).

Ketujuhshuhbatus syaithan (menjadi sahabatnya setan). Hal ini disebutkan secara tegas oleh Allah Ta’ala dengan firman-Nya yang artinya, “Siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur’an), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Qs. Az-Zukhruf, 43: 36).

Allah Ta’ala menjadikan baginya setan sebagai teman eratnya, yang selalu mendampingi dan mempengaruhinya, baik berupa jin maupun manusia, sehingga tertanamlah dalam pikirannya hal-hal yang menyimpang, yaitu memandang perbuatan buruk sebagai perbuatan baik. Karena itu, hatinya makin lama semakin tertutup rapat, sehingga tidak ada suatu celah pun yang mungkin dimasuki cahaya Ilahi.

Kedelapanan-nisyan (lupa diri). Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr, 59: 19)

Orang yang melupakan Al-Qur’an akan menjadi orang yang senantiasa lupa diri. Tidak mengenal hakikat keagungan Allah Ta’ala, tidak memahami hakikat kehidupan, dan tidak menyadari eksistensi dirinya sendiri di muka bumi ini. Mereka hanya sibuk memikirkan kehidupan dunia, dan tidak memikirkan kehidupan hakiki di akhirat nanti. Mereka disibukkan oleh harta-harta dan anak cucu mereka serta segala yang berhubungan dengan kesenangan duniawi.

Kesembilanal-fusuqu (munculnya kefasikan-kefasikan). Orang-orang yang melupakan Al-Qur’an berarti melupakan kabar berita, hukum, syariah, dan pedoman hidup yang termuat di dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu pantaslah jika mereka tidak segan melakukan penyimpangan-penyimpangan dan perbuatan-perbuatan dosa di dalam kehidupannya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (Qs. Al-An’am, 6: 49)

Kesepuluhan-nifak (kemunafikan). Manakala seorang manusia melupakan Al-Qur’an, maka sebenarnya dirinya telah memilih jalan dan melangkah menuju kemunafikan. Karena diantara ciri orang-orang munafik yang disebutkan di dalam Al-Qur’an adalah sikap melupakan Allah Ta’ala. Allah berfirman yang artinya, “Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. At-Taubah, 9: 67).

Semua kondisi di atas adalah kondisi yang sangat berbahaya bagi manusia. Karena jika mereka tidak segera bertaubat kepada Allah Ta’ala, niscaya mereka akan mengalami asy-syaqawah (kesengsaraan) baik dalam perkara ad-dunyawiyah (dunia) maupun perkara al-ukhrawiyah (akhirat), wallahua’lam.[]