Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menggelar pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada Selasa malam (9/7/2025), untuk membahas kemungkinan tercapainya kesepakatan gencatan senjata di Jalur Gaza. Ini menjadi pertemuan kedua antara keduanya dalam kurun waktu 24 jam.
Pertemuan yang tidak dijadwalkan sebelumnya itu berlangsung selama lebih dari satu jam secara tertutup, tanpa kehadiran media. Diskusi tersebut digelar di tengah meningkatnya serangan militer Israel yang menewaskan sedikitnya 95 warga Palestina di Gaza pada hari yang sama.
Netanyahu berada di Washington untuk kunjungan ketiganya sejak Trump memulai masa jabatan keduanya pada 20 Januari 2025.
“Saya akan berbicara hampir sepenuhnya tentang Gaza dengan Netanyahu. Kita harus menyelesaikan ini. Gaza adalah tragedi, dan baik saya maupun dia ingin menyelesaikannya. Saya pikir pihak lain juga ingin itu,” kata Trump sebelum pertemuan berlangsung.
Meski begitu, informasi resmi mengenai hasil pembicaraan masih sangat terbatas. Reporter Al Jazeera, Mike Hanna, melaporkan bahwa tidak adanya pernyataan resmi maupun bocoran isi pembicaraan dapat mengindikasikan adanya hambatan dalam proses perundingan.
Sebelumnya, utusan khusus Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, menyatakan bahwa kesepakatan gencatan senjata semakin dekat. Ia menyebut hanya satu isu yang masih mengganjal dari sebelumnya empat.
“Kami berharap pada akhir pekan ini akan ada kesepakatan untuk gencatan senjata selama 60 hari. Sepuluh sandera yang masih hidup dan sembilan jenazah akan dibebaskan,” ujar Witkoff dalam pertemuan kabinet AS.
Namun, Netanyahu menyampaikan bahwa operasi militer Israel di Gaza belum akan dihentikan sepenuhnya. Dalam pertemuannya dengan Ketua DPR AS, ia menegaskan bahwa Israel “masih harus menyelesaikan misi di Gaza, membebaskan seluruh sandera, dan menghancurkan kekuatan militer serta pemerintahan Hamas.”
Rencana Israel di Gaza
Koresponden Al Jazeera, Nour Odeh, melaporkan dari Amman, Yordania, bahwa Netanyahu disebut menghadapi tekanan kuat dari Trump untuk menyetujui gencatan senjata. Namun hingga kini, belum ada terobosan berarti.
Salah satu isu utama yang masih menjadi perdebatan adalah lokasi redeployment pasukan Israel. Menurut laporan media Israel, Menteri Pertahanan Israel Israel Katz mengusulkan pembangunan “kota tenda” di Rafah, Gaza selatan, untuk menampung sekitar 600.000 warga Palestina secara paksa, yang kemudian dapat berkembang menjadi pemindahan massal terhadap seluruh populasi Gaza yang berjumlah 2,1 juta jiwa.
Para kritikus menyebut rencana tersebut sebagai bentuk pemindahan paksa yang melanggar hukum internasional. Peneliti Quincy Institute, Annelle Sheline, bahkan menyebut kota tenda itu sebagai “kamp konsentrasi,” dan menyatakan bahwa pemerintahan Trump kecil kemungkinan akan menentang rencana tersebut.
“Trump cenderung dikelilingi oleh orang-orang yang menyetujui pandangannya. Tidak banyak yang akan mengingatkan bahwa ini bisa menjadi kejahatan kemanusiaan berat,” kata Sheline, sembari menambahkan bahwa sikap AS juga bisa berimplikasi hukum.
Trump sendiri terus menunjukkan dukungan kuat terhadap Netanyahu, bahkan sempat mencampuri politik domestik Israel dengan mengkritik proses hukum terhadap Netanyahu yang menghadapi dakwaan korupsi. Netanyahu pun memuji hubungan yang erat dengan pemerintahan Trump, dan sempat mengusulkan agar Trump dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian.