Pemerintah Turki membantah klaim yang menyatakan bahwa Hamas telah memindahkan biro politiknya ke Turki, demikian laporan Middle East Eye pada Senin (18/11).
Menurut sumber diplomatik Turki yang dihubungi pada Senin (18/11), meskipun anggota Hamas beberapa kali mengunjungi Turki, klaim bahwa kelompok tersebut telah pindah ke negaranya “tidak mencerminkan kebenaran.”
Pernyataan ini muncul setelah pada Minggu, stasiun penyiaran publik Israel, Kan, melaporkan bahwa anggota Hamas meninggalkan Doha menuju Turki setelah Qatar diduga meminta mereka untuk meninggalkan negara tersebut.
Beberapa media menyebutkan bahwa perpindahan itu terkait dengan ketidakmampuan Hamas untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan di Gaza.
Pada awal bulan ini, Qatar secara resmi membantah tudingan bahwa negara tersebut meminta Hamas untuk menutup kantor perwakilannya di Doha, meskipun mereka mengakui kekecewaan terhadap lambatnya negosiasi yang ada, yang mendorong keputusan untuk mundur dari peran mediasi mereka.
Hamas telah memiliki sejumlah anggotanya di Turki sejak 2011 sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tahanan yang melibatkan Gilad Shalit.
Beberapa pemimpin terkemuka Hamas, seperti Ismail Haniyeh dan Saleh al-Arouri, juga pernah mengunjungi dan tinggal di Turki untuk waktu yang lama sebelum akhirnya dibunuh oleh Israel.
Meskipun demikian, kelompok ini tidak pernah secara resmi mendirikan markas besar di Istanbul.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyatakan pekan lalu bahwa Qatar meminta anggota Hamas meninggalkan negara tersebut karena mereka tidak menandatangani kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan.
Sumber-sumber Hamas menginformasikan kepada rekan-rekan mereka di Turki dan kawasan ini bahwa pemerintah Qatar tidak pernah meminta mereka untuk pergi.
Sementara itu, hubungan antara Turki dan Israel semakin memburuk sejak serangan yang dipimpin Hamas terhadap Israel, yang kemudian memicu operasi militer Israel di Gaza yang menewaskan lebih dari 43.000 warga Palestina.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menjadi pengkritik vokal atas operasi militer Israel, yang ia sebut sebagai genosida, dan bergabung dengan gugatan Afrika Selatan terhadap Israel di Pengadilan Internasional.
Minggu lalu, Erdogan mengumumkan bahwa pemerintahannya memutuskan semua hubungan dengan Israel.
Pada Ahad, pejabat Turki juga mengungkapkan bahwa Ankara menolak izin bagi pesawat Presiden Israel Isaac Herzog untuk menggunakan wilayah udara Turki dalam perjalanannya menuju KTT COP29 di Azerbaijan, yang secara efektif memblokir penerbangan tersebut.
Langkah ini mengikuti serangkaian tindakan yang termasuk langkah hukum dan sanksi perdagangan, terutama setelah pemilu lokal di Turki pada Maret lalu, di mana Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpin Erdogan menghadapi protes akibat dianggap tidak cukup responsif terhadap konflik Gaza.