Di tengah upaya Amerika Serikat (AS) melaksanakan tahap pertama dari rencana perdamaian baru antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza, muncul kembali perdebatan tentang kemungkinan pengerahan pasukan internasional untuk memantau penerapan kesepakatan tersebut.
Namun, sejumlah pakar dan mantan pejabat militer Inggris mengingatkan agar London bersikap sangat berhati-hati.
Mereka menilai pengiriman pasukan Inggris ke Gaza bukan hanya berisiko secara politik, tetapi juga sensitif secara historis, di samping keterbatasan kapasitas militer Inggris yang saat ini telah terserap untuk berbagai komitmen lain.
Peringatan itu disampaikan tak lama setelah Washington mengumumkan pemindahan 200 personel militernya dari Timur Tengah ke Israel untuk mengawasi pelaksanaan kesepakatan.
Langkah itu memunculkan dugaan bahwa negara-negara sekutu, termasuk Inggris, mungkin akan diminta berpartisipasi.
Dalam wawancara dengan harian digital i Paper, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Inggris, Jenderal Lord Richard Dannatt, menegaskan bahwa negaranya “harus sangat berhati-hati sebelum menempatkan prajurit Inggris di tanah Gaza”.
Ia menambahkan, operasi di lapangan akan berada di bawah kendali langsung AS melalui Komando Sentral.
Sementara pasukan yang diterjunkan kemungkinan besar berasal dari negara-negara tetangga.
“Dengan latar belakang sejarahnya sebagai kekuatan mandat di Palestina dan sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Inggris wajib menimbang segala konsekuensi politik dan diplomatik sebelum mengambil keputusan untuk ikut serta,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Inggris Yvette Cooper menegaskan bahwa tidak ada rencana mengirim pasukan ke Gaza.
Ia menjelaskan, pasukan Amerika akan menangani pemantauan pembebasan sandera Israel, pertukaran tahanan Palestina, serta memastikan bantuan kemanusiaan dapat masuk dengan aman ke wilayah tersebut.
Dalam laporannya, i Paper juga mengutip pandangan sejumlah peneliti dari Universitas Oxford dan Durham yang menilai bahwa warisan kolonial Inggris di Timur Tengah menjadikan setiap kehadiran militer langsung di Gaza sangat tidak diinginkan, baik oleh masyarakat lokal maupun secara politis di kawasan.
Meski begitu, Inggris masih dapat mengambil peran teknis, seperti membantu pengawasan gencatan senjata atau melatih aparat keamanan Palestina.
Mats Berdal, guru besar studi keamanan dan pembangunan di King’s College London, bahkan menilai bahwa peran Inggris di Gaza kelak bisa menyerupai keterlibatannya di Sierra Leone pascaperang saudara antara 1991 dan 2002.
“Ketika itu, Inggris berperan konstruktif melalui misi terbatas untuk membantu reformasi sektor keamanan. Namun konteks saat ini jelas berbeda. Angkatan bersenjata Inggris tengah fokus menghadapi ancaman Rusia dan memperkuat keamanan domestik. Jadi, sumber daya kami benar-benar terbatas,” ujar Berdal.
Dengan berbagai pertimbangan politik, sejarah, dan logistik itu, para pengamat sepakat bahwa Inggris kemungkinan besar akan tetap memilih berperan dari belakang layar—melalui diplomasi, pelatihan, dan bantuan teknis—alih-alih kembali menjejakkan kaki militernya di tanah Gaza yang penuh luka sejarah.