Monday, August 25, 2025
HomeBeritaANALISIS - Mengapa Eyal Zamir usulkan pertukaran sandera sebelum Israel duduki Gaza?

ANALISIS – Mengapa Eyal Zamir usulkan pertukaran sandera sebelum Israel duduki Gaza?

Ketegangan politik dan militer di Israel kembali mengemuka setelah Kepala Staf Angkatan Bersenjata Eyal Zamir mengajukan usulan mengejutkan.

Yaitu, menerima tawaran pertukaran tawanan lebih dulu, ketimbang melanjutkan rencana besar menduduki Kota Gaza.

Usulan itu ia sampaikan langsung kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dalam sebuah pesan resmi.

Menurut laporan Kanal 13 Israel, Zamir memperingatkan bahwa operasi pendudukan Gaza membawa risiko besar terhadap nyawa para tawanan Israel di tangan Hamas.

Peringatan ini memunculkan beragam tafsir mengenai maksud, waktu, dan pesan yang ingin disampaikan pucuk pimpinan militer itu kepada elite politik.

Tiga alasan utama

Pengamat urusan Israel, Muhannad Mustafa, menyebut ada tiga alasan yang mendorong Zamir mengajukan opsi perjanjian.

Pertama, militer menganggap telah menyelesaikan misi dalam operasi “Arba’at Gid’on” (Kereta-kereta Gideon), sehingga kondisi di lapangan dianggap cukup untuk membuka jalan menuju kesepakatan dengan Hamas.

Kedua, jika militer memaksakan operasi baru tanpa kejelasan politik, skenarionya bisa berulang: pertempuran berkepanjangan yang menguras tenaga, tanpa tujuan perang yang tercapai.

Ketiga, Zamir khawatir terhadap potensi keretakan internal dalam tubuh militer. Situasi itu, menurutnya, bisa berujung pada “pembangkangan diam-diam” di kalangan prajurit, terutama di unit cadangan, yang enggan memenuhi kewajiban dinas.

Mustafa menggambarkan Zamir sebagai sosok yang “hati-hati bahkan cenderung pengecut,” lebih memilih perjanjian parsial untuk menyelamatkan sebagian tawanan daripada mempertaruhkan nyawa mereka melalui operasi militer.

Pada saat yang sama, langkah itu bisa memberi jeda bagi tentara reguler maupun pasukan cadangan yang kian kelelahan.

Senada dengan itu, analis urusan internasional Husam Shaker menilai, sikap Zamir muncul dari kekhawatiran akan gugurnya tawanan Israel apabila operasi Gaza tetap dijalankan.

Jika itu terjadi, kata Shaker, aib besar akan menimpa militer Israel. Karena itu, Zamir mencoba melepaskan diri dari tanggung jawab moral di hadapan publik dalam negeri.

Lebih jauh, rencana penghancuran Kota Gaza—yang dihuni lebih dari satu juta orang—menurut Shaker akan menjadi skandal sejarah dan pelanggaran nyata terhadap hukum internasional.

Polemik internal ini sekaligus memperlihatkan bahwa perang panjang Israel di Gaza tidak membawa “kemenangan yang nyata”.

Tekanan di medan tempur

Di medan perang, sederet faktor membuat langkah militer kian riskan. Analis militer Mayjen (Purn) Fayez al-Duwairi merumuskannya dalam 5 poin.

  • Operasi besar berikutnya tidak menjanjikan keberhasilan, setelah kegagalan “Arba’at Gid’on” dan operasi lain sebelumnya.
  • Tidak ada jaminan tawanan bisa dibebaskan, bahkan tidak pasti apakah mereka masih hidup.
  • Potensi korban jiwa di pihak Israel sangat besar, sebagaimana serangan mematikan Brigade Al-Qassam di Khan Younis.
  • Durasi operasi berpotensi panjang, hingga satu tahun, di luar kapasitas militer Israel.
  • Terdapat kontradiksi tujuan: mustahil sekaligus menghancurkan Hamas dan menyelamatkan para tawanan.

Menurut al-Duwairi, baik mantan Kepala Staf Herzi Halevi maupun penggantinya, Zamir, tidak tampil sebagai pemimpin militer sejati yang berani mempertahankan rencana strategisnya.

Mereka, sebutnya, lebih terlihat tunduk pada tekanan elite politik yang tidak memahami dasar-dasar strategi perang.

Kondisi ini menimbulkan frustrasi di kalangan tentara reguler maupun pasukan cadangan. Al-Duwairi bahkan menyebut rencana pendudukan Gaza sarat cacat militer, memuat benih-benih kegagalan sejak awal, dan sekadar mencerminkan logika politik yang dangkal.

Bayang-bayang Washington

Dari sisi internasional, dinamika ini juga tak lepas dari posisi Amerika Serikat (AS). Mark Pfeifle, mantan pejabat komunikasi Gedung Putih, menilai Washington menafsirkan peringatan Zamir sebagai sinyal kekhawatiran akan kemampuan Hamas menggempur pasukan Israel.

Namun, perhatian pemerintahan Presiden Donald Trump kini lebih banyak tercurah pada isu lain, terutama perang Ukraina.

Karena itu, Gedung Putih cenderung menjaga jarak dan enggan menguras energi diplomatik dalam krisis Gaza.

Pfeifle memperkirakan, Trump tidak akan menghalangi Netanyahu jika tetap memaksakan pendudukan Gaza.

Lebih dari itu, sebagian kalangan di lingkaran Trump justru ingin melihat bagaimana hasil akhir operasi militer Israel.

Netanyahu sendiri diyakini tengah berupaya “menyakitkan” Hamas sebanyak mungkin, termasuk melucuti kekuatannya, sebelum membuka pintu bagi masuknya kekuatan militer Arab ke Jalur Gaza.

Mustafa menegaskan, dukungan Trump merupakan satu-satunya faktor yang membuat perang Gaza berlanjut hingga kini.

“Seperti dalam kasus Iran dan lain-lain, Trump punya kapasitas menekan Netanyahu untuk mengakhiri perang. Namun, selama dukungan itu tetap, Netanyahu akan merasa punya ruang bergerak,” ujarnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular