Usulan terbaru dari Israel kembali memantik perdebatan dan kecurigaan di Jalur Gaza, menyangkut peluang tercapainya gencatan senjata dalam waktu dekat. Inti dari kontroversi itu adalah syarat dari pihak Israel yang dianggap oleh banyak warga Palestina sebagai tuntutan yang tidak realistis dan menyinggung harga diri: perlucutan senjata kelompok-kelompok perlawanan bersenjata di Gaza, terutama Hamas.
Dalam proposal yang disampaikan kepada Hamas melalui mediator Mesir dan Qatar, Israel menawarkan gencatan senjata selama 45 hari, pertukaran tahanan secara bertahap, dan pembicaraan menuju gencatan senjata permanen. Namun, semua itu bergantung pada kesediaan kelompok perlawanan bersenjata untuk menyerahkan senjata mereka.
Bagi Hamas dan faksi-faksi bersenjata lainnya, syarat ini merupakan “garis merah” yang tak bisa dinegosiasikan.
“Ini bukan tawaran perdamaian yang serius. Netanyahu menggunakan klausul perlucutan senjata untuk menjebak kami, memperpanjang proses, dan membeli waktu. Tujuannya bukan perdamaian, tapi kelangsungan politiknya sendiri,” ujar seorang pejabat senior Hamas kepada The New Arab, dengan syarat identitasnya dirahasiakan karena sensitifnya isu tersebut.
Perlawanan sebagai hak dasar
Hamas saat ini tengah melakukan konsultasi internal dengan faksi-faksi lainnya di Gaza untuk menyusun tanggapan bersama atas tuntutan perlucutan senjata tersebut. Banyak pihak meragukan bahwa Hamas atau kelompok lain akan setuju untuk menyerah begitu saja.
“Perlawanan muncul karena adanya penjajahan,” ujar pejabat Hamas tadi. “Selama masih ada tanah yang dijajah, perlawanan adalah hak mendasar. Senjata bukan sekadar alat tempur, tetapi simbol kelangsungan hidup.”
Bagi banyak warga Palestina di Gaza, simbolisme itu makin mengakar kuat setelah 18 bulan serangan militer Israel yang telah menewaskan puluhan ribu orang dan menyebabkan lebih dari 80 persen penduduknya mengungsi.
Meskipun Israel mengklaim telah melemahkan kemampuan Hamas, kelompok tersebut masih terus meluncurkan roket – meski terbatas – ke wilayah Israel.
Selama bertahun-tahun, Hamas telah menginvestasikan sumber daya besar untuk membangun jaringan terowongan, memproduksi senjata lokal, dan mendapatkan dukungan persenjataan dari sekutu regional seperti Iran.
Senjatanya, dari roket buatan sendiri hingga drone canggih, menjadikan Hamas salah satu aktor non-negara paling kuat secara militer di kawasan ini.
Meski tak pernah mengungkapkan data pasti, beberapa media Israel dan Eropa menyebut bahwa Hamas pernah memiliki sekitar 30.000 roket, yang berasal dari Iran, Rusia, dan Tiongkok – sementara sebagian besar diproduksi langsung di wilayah Gaza yang porak-poranda.
Israel menyatakan bahwa sejak kampanye militer dimulai pada 7 Oktober 2023, mereka telah menewaskan ribuan pejuang Hamas dan menghancurkan sebagian besar gudang senjata mereka. Namun para analis politik Palestina menilai infrastruktur inti perlawanan masih tetap bertahan.
“Tak ada yang bisa mengklaim bahwa Hamas telah kalah,” kata analis politik asal Gaza, Hussam al-Dajani. “Memang melemah, ya. Tapi dilucuti senjata? Jauh dari itu.”
Menurut al-Dajani, isu perlucutan senjata di tahap ini hanyalah taktik politik Israel. “Israel mengajukan usulan ini secara sepihak, menyoroti perlucutan senjata tanpa menawarkan hak-hak politik Palestina, seperti solusi dua negara, agar Hamas menolak dan Israel bisa menyalahkan mereka.”
Suara-suara dari Gaza
Di tengah reruntuhan Gaza, suara-suara warga mencerminkan dilema antara harapan damai dan semangat perlawanan.
“Aku sudah kehilangan segalanya: suamiku tewas dalam serangan udara, saudaraku meninggal saat mencari air, rumah kami hancur lebur,” kata Reem Abu Salim (42), seorang janda asal Khan Younis. “Jika menyerahkan senjata bisa mengakhiri mimpi buruk ini dan kami bisa pulang, aku akan mendukungnya. Tapi aku takut, Israel akan tetap membunuh kami – bersenjata ataupun tidak.”
Sementara itu, Mahmoud Abu Khater dari Deir al-Balah berkata, “Tak bisa meminta orang yang tenggelam untuk melepaskan pelampungnya. Tanpa senjata, kami tak berdaya. Siapa yang akan melindungi kami kalau dunia terus menutup mata atas penderitaan ini?”
Baginya, perlucutan senjata tanpa jaminan justru membuka peluang agresi lebih lanjut. “Aku tak ingin anak-anakku tumbuh tanpa martabat,” ujarnya.
Kesatuan Faksi
Ahmad Abu al-Saud dari Front Populer untuk Pembebasan Palestina menyatakan dalam pernyataan resmi bahwa “senjata perlawanan tidak bisa dinegosiasikan.” Menurutnya, tak satu pun aktor rasional akan menyepakati untuk membiarkan rakyatnya tanpa perlindungan selagi penjajahan masih berlangsung.
Hal ini memperlihatkan adanya penolakan bersama dari berbagai faksi, yang menilai bahwa syarat perlucutan senjata bukan hanya soal militer, melainkan juga soal martabat dan agensi politik Palestina.
Di Ramallah, analis politik Abdul Majeed Sweilem menilai bahwa tuntutan perlucutan senjata menunjukkan bahwa kemenangan militer Israel di Gaza makin sulit dicapai. “Israel sadar tak bisa menghabisi Hamas sepenuhnya, maka konflik dialihkan ke meja perundingan,” ujarnya.
“Menuntut perlucutan senjata tanpa pengakuan kedaulatan Palestina atau solusi dua negara hanyalah basa-basi. Tujuannya bukan perdamaian, tapi memaksakan kekalahan.”
Komite Tindak Lanjut Nasional dan Islam di Gaza – yang terdiri dari Hamas, Jihad Islam, Fatah, dan faksi lain – juga menyatakan bahwa syarat Israel merupakan bentuk jebakan politik yang memperpanjang penjajahan. Mereka menuduh Netanyahu sebagai pihak yang menghambat negosiasi dan mengecam “komplikasi serta kebisuan internasional yang mencurigakan.”
Komite itu juga mengecam AS karena dianggap melebih-lebihkan ancaman dari perlawanan Palestina, sembari terus memasok senjata mematikan kepada Israel tanpa pertanggungjawaban.
Proposal Israel itu, menurut mereka, tidak menawarkan jaminan nyata untuk mengakhiri agresi, mencabut blokade, atau memulai kembali rekonstruksi Gaza. “Ini bukan jalan menuju perdamaian, melainkan bentuk kelanjutan dari penindasan.”