Thursday, December 25, 2025
HomeAnalisis dan Opini ANALISIS | Turki sebagai "Juru Kunci" Senjata Hamas dalam Stabilitas Gaza

 ANALISIS | Turki sebagai “Juru Kunci” Senjata Hamas dalam Stabilitas Gaza

Pertemuan tertutup di Miami pada 19 Desember 2025 bukan sekadar rutinitas diplomatik. Kehadiran Steve Witkoff (Utusan Khusus AS), Hakan Fidan (Menlu Turki), Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani (PM/Menlu Qatar), dan Badr Abdelatty (Menlu Mesir) di Florida menandai pergeseran besar dalam strategi Amerika Serikat untuk mengakhiri konflik Gaza. Di tengah kebuntuan transisi menuju Fase Kedua gencatan senjata, Turki muncul sebagai aktor yang paling diperdebatkan sekaligus paling dibutuhkan.

Miami: Pusat Gravitasi Baru Diplomasi Trump

Pemilihan Miami—bukan Washington D.C.—sebagai lokasi pertemuan adalah pernyataan politik yang kuat. Miami kini menjadi “Ibukota Bayangan” bagi pemerintahan Trump. Melalui lokasi ini, Trump mengirimkan pesan bahwa solusi Gaza akan dikelola dengan gaya business-like, personal, dan jauh dari hambatan birokrasi tradisional.

Miami memberikan ruang bagi diplomasi yang lebih cair, di mana kompromi-kompromi sulit bisa diputuskan dengan cepat sebelum pertemuan puncak Trump dan Netanyahu di akhir Desember 2025.

Turki dan Dilema “Pembekuan” Senjata
Poin paling krusial dalam diskusi Miami adalah nasib persenjataan Hamas. Ketika banyak analis Israel, terutama dari kalangan liberal menyebut pelucutan senjata total sebagai “khayalan politik,” Turki menawarkan model yang lebih praktis: Decommissioning atau Pembekuan Senjata.

Dalam skenario ini, Turki tidak menuntut Hamas untuk langsung menghancurkan senjatanya—sebuah langkah yang pasti ditolak oleh sayap militer Brigade Al-Qassam. Sebaliknya, Turki mengusulkan peran mereka sebagai penjamin keamanan.

Senjata-senjata Hamas akan diletakkan di gudang-gudang terkontrol yang diawasi oleh otoritas Turki atau pasukan internasional di mana Turki menjadi elemen intinya. Bagi Hamas, ini adalah cara “menjaga muka” agar tidak terlihat menyerah kalah; bagi Israel, ini adalah jaminan bahwa tidak akan ada roket yang meluncur selama masa transisi.

Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF): Masuknya Tentara Turki
Signifikansi pertemuan Miami juga terletak pada pembahasan pembentukan International Stabilization Force (ISF). Meski Israel secara historis menolak kehadiran militer Turki di dekat perbatasannya, tekanan dari Washington mulai mengubah dinamika ini.

Skenario masuknya Turki dalam ISF kemungkinan besar akan melibatkan:

* Pengawasan Teknis dan Engineering: Turki memiliki keahlian dalam pembersihan ranjau dan rekonstruksi cepat, yang menjadi kebutuhan mendesak di Gaza.
* Penyangga Ideologis: Sebagai negara Muslim dengan tentara terkuat di NATO, kehadiran Turki lebih bisa diterima oleh warga Gaza daripada pasukan Barat. Hal ini krusial untuk mencegah eskalasi antara penduduk sipil dan pasukan pengawas.
* Audit Keamanan: Turki berperan sebagai auditor yang menjamin kepada AS dan Israel bahwa dana rekonstruksi tidak bocor untuk membangun kembali infrastruktur militer Hamas.

Kesimpulan: Jalan Terjal Menuju Fase Kedua
Pertemuan Miami telah meletakkan fondasi bagi transisi Gaza dari wilayah perang menuju wilayah di bawah pemerintahan teknokrat. Keterlibatan aktif Turki adalah kunci untuk menjinakkan resistensi Hamas terhadap pelucutan senjata. Namun, keberhasilan rencana ini akan sangat bergantung pada seberapa jauh Israel mau memberikan kepercayaan kepada Ankara sebagai penjamin di lapangan.

Jika skenario “Miami” ini berhasil, kita mungkin akan melihat Gaza yang tidak lagi dipersenjatai oleh faksi, melainkan dijaga oleh konsorsium internasional di mana Turki memegang salah satu kunci utamanya.

Surya Fachrizal
Surya Fachrizal
Pimred Gaza Media, co-founder Timteng Podcast
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler